Mohon tunggu...
Joshua Michael Ahuluheluw
Joshua Michael Ahuluheluw Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis | Life Coach | Grafolog

Joshua Michael Ahuluheluw, M.Psi., Psikolog, CMHA merupakan seorang pribadi yang aktif dan suka sekali berbagi pengalaman dengan berbagai golongan. Joshua yakin bahwa setiap orang memiliki keunikannya tersendiri. Dengan keunikannya, individu mampu bangkit menjadi pribadi yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Kuchisabishi: Fenomena "Makan Berlebihan" Ketika Kesepian

3 April 2023   12:10 Diperbarui: 3 April 2023   12:09 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah Anda merasa lapar ketika sedang merasa sedih atau bahkan kesepian? Padahal sudah kenyang, tapi mulut rasanya masih ingin mengunyah makanan. Fenomena ini adalah emotional eating.

Emotional eating adalah konsumsi makanan sebagai respons terhadap perasaan atau emosi yang dialami, seperti stres, kesepian, atau kecemasan, yang tidak disebabkan oleh kelaparan fisik (Sztainer, 2018). Konsumsi makanan ini biasanya tidak terkontrol dan seringkali mengarah pada konsumsi makanan yang tidak sehat dan berlebihan. Uniknya lagi, individu yang merasa kesepian dan terisolasi cenderung mencari kenyamanan dan dukungan melalui makanan yang mengandung gula atau lemak (Frayn et al., 2017). 

Dalam menggambarkan konsumsi makanan berlebih, ada sebuah istilah dari negeri Jepang yaitu KUCHISIBASHI yang berarti perasaan kesepian atau merasa sendiri. Kesendirian dan kesepian sering dianggap sebagai perasaan yang umum dialami oleh masyarakat Jepang. Dampaknya, mereka yang merasa sepi melakukan emotional eating sebagai sebuah upaya untuk mencari kenyamanan dan kebahagiaan dari makanan. (Nakayama et al., 2017). 

Emotional eating dan kuchisabishi seringkali berdampak buruk bagi kesehatan, karena dapat menyebabkan obesitas, masalah kardiovaskular, dan masalah mental. Selain itu, konsumsi makanan yang berlebihan dan tidak terkontrol juga dapat memperburuk perasaan dan menyebabkan rasa bersalah dan malu. Perilaku ini juga dapat dialami oleh siapa saja, tidak terbatas pada usia, jenis kelamin, atau latar belakang sosial ekonomi.

Penyebab dari gangguan perilaku makan ini bisa muncul secara internal maupun eksternal. Ada pun beberapa penyebabnya antara lain (Werner, 2018) : 

Penyebab Internal Emotional Eating :

  • Rendahnya kesadaran diri untuk merefleksikan/menginstropeksi pikiran dan perasaan pribadi
  • Alexithymia (rendahnya kemampuan untuk memahami, memproses dan mendeskripsikan emosi yang muncul)
  • Ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi (emotion dysregulation) 
  • Kondisi respon Hipotalamus Hipofisis Adrenal (HPA) terbalik, sehingga respons kortisol (hormon stress) kurang aktif terhadap stres

Penyebab Eksternal Emotional Eating :

  • Tekanan di tempat pekerjaan
  • Kekhawatiran akan kondisi finansial yang tidak menentu
  • Hal yang berkaitan dengan kesehatan fisik
  • Kondisi hubungan interpersonal yang kurang memuaskan / bermasalah (relationship struggle)

Meskipun masih ada banyak lagi kondisi lain yang menyebabkan emotional eating, kondisi makan berlebih bukanlah hal yang dapat kita sepelekan. Maka dari itu, ada beberapa cara yang dapat dilakukan utnuk mengatasi fenomena ini, antara lain (Nakayama et al., 2017; Vancampfort et al., 2017; Sztainer, 2018; Werner, 2018) :

  • Mengenali dan mengatasi pikiran/perasaan yang mendasari keinginan untuk makan.
  • Mencari dukungan dari teman atau keluarga.
  • Mencoba aktivitas alternatif seperti berolahraga atau menulis .
  • Belajar mengatasi stres dengan teknik relaksasi seperti yoga atau meditasi.
  • Mengatur pola makan dan memastikan untuk makan dengan teratur dan seimbang.
  • Jika mengganggu kehidupan sehari-hari, maka diperlukan bantuan profesional, seperti konseling atau terapi.

Emotional eating dan kuchisabishi adalah fenomena yang sering dialami oleh banyak orang, namun dengan memahami dan mengatasi perasaan yang mendasarinya, kita dapat meminimalisir dampak negatif dan menjaga kesehatan secara keseluruhan. Sebagai kesimpulan, kunci utama untuk bisa terlepas dari masalah ini adalah kemampuan individu untuk menyadari, memahami dan menerima setiap pikiran/perasaan yang hadir sebagai media untuk memahami diri seutuhnya.

Semoga artikel ini bermanfaat, sehat dan sukses selalu untuk kita semua!

Referensi:

  • Frayn, M., Knäuper, B., & McColl, E. (2017). Emotional eating and weight in adults: A review. Current Psychology, 36(2), 350-362.
  • Nakayama, H., Kogure, M., & Sudo, N. (2017). Social isolation and emotional eating in Japanese university students: A cross-sectional study. Nutrition Journal, 16(1), 58.
  • Sztainer, M. (2018). Emotional eating: A common pathway to obesity and binge eating disorder. Journal of Adolescent Health, 62(6), 678-679.
  • Vancampfort, D., Vanderlinden, J., De Hert, M., Adámkova, M., Skjaerven, L. H., & Catalán-Matamoros, D. (2017). A systematic review on physical therapy interventions for patients with binge eating disorder. Disability and Rehabilitation, 39(9), 839-846.
  • Werner, C. (2018). Emotional Eating: What You Should Know. Healthline. Diakses pada 13 Februari 2023, dari https://www.healthline.com/health/emotional-eating

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun