Jakob Oetama. Salah satu nama selain PK Ojong yang selalu muncul di bagian paling atas pada halaman terdepan Harian Kompas, merek dan nama koran harian nasional setiap pagi sejak saya masih bersekolah. Ia dikenal sebagai salah satu dari dwitunggal pendiri dan perintis Harian Kompas, koran harian nasional terbesar di Indonesia saat ini.
Jangankan bertemu, saya belum mengenal mendiang pada saat itu, yang biasa kita sapa sebagai Pak JO, baik di lingkungan kantor di Kompas Gramedia, maupun menjadi nama panggilan yang akrab dalam dunia kewartawanan dalam negeri. Wajar saja, pada tahun 2003 saat saya masih sekolah dulu, kemajuan internet belum sepesat sekarang. Belum ada e-paper ataupun e-pub yang menggantikan rupa penyajian koran dengan gaya kekinian saat lembaran kertas berubah wujud menjadi data berukuran sekian kilobita. Kompasiana sebagai portal blog waktu itu juga belum ada.
Ketika internet sudah mulai digunakan secara luas dan sporadis di Tanah Air mulai tahun 2008, dimana musim online sudah banyak bermunculan, saya berpindah dari menulis di atas selembar kertas menjadi ketikan komputer. Pada tahun itulah saya mengenal Blogspot dan Wordpress, dua platform blogging yang populer hingga sekarang. Namun di Indonesia, muncul pula satu platform media blogging bernama Kompasiana yang waktu itu diisi secara terbatas oleh jurnalis di lingkungan Kelompok Kompas Gramedia.
Buah Pikir dalam Platform Digital Kompas
Seingat saya, Kompas-lah yang terlebih dahulu memulai revolusi pers digital Indonesia, dengan membentuk Kompas Cyber Media (KCM) pada 1995. Ini merupakan tonggak sejarah baru, dimana apapun yang dimuat oleh Harian Kompas pada hari itu juga terbit dalam situs resmi Kompas, yang kini kita kenal sebagai Kompas.com. Pada masa itu pula, internet masih terbatas dan eksklusif, sehingga tidak diperlukan biaya berlangganan untuk bisa mengakses Kompas versi daring. Maklum, pengakses internet dimasa lalu merupakan orang-orang berpendapatan menengah keatas dan eksekutif yang membutuhkan kecepatan informasi dalam pengambilan keputusan.
Dalam kaitannya dengan kelahiran Kompas.com, ketika mengingat nama Pak JO, yang muncul dalam benak saya tentang yang mengarsiteki transformasi digital Kompas itu, tentu saja Pak JO. Setelah itu, muncul pula portal berita lain yang meramaikan jagat bisnis media daring, semisal Detikcom, Kapanlagi, dan masih banyak yang lainnya.
Ketika bicara soal Kompasiana, saya pun juga mengingat ada tangan dingin Pak JO dalam pembentukannya. Mengapa? Katakanlah, nama Kompasiana bukanlah dirancang oleh Pak JO, melainkan oleh PK Ojong sahabatnya dengan buku tulisannya berjudul sama. Namun tentu ada pemikiran besar dalam diri Pak JO yang baru saya sadari sekarang setelah 9 tahun menjadi penulis di Kompasiana dengan akun ini: Memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara untuk menciptakan konten yang bermanfaat dan mempersatukan bangsa dengan segala kemajemukannya.
Di sisi lain, Pak JO bisa saja berpikiran, bahwa jiwa jurnalisme tidak hanya muncul dari mereka yang memang benar-benar bekerja sebagai wartawan, melainkan bisa muncul dari warga biasa ketika menemukan satu kejadian yang memang menarik dan harus bisa disimak. Banyak kejadian penting di Indonesia yang justru dicover oleh warga terlebih dulu dalam jurnalnya, kemudian disusul oleh wartawan media arus utama, sebut saja Bom Bali 1 dan Bom Bali 2, hingga yang terkesan buat saya yakni upaya penanggulangan aksi terorisme di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, pada 2016.
Pak JO pastinya tahu betul, kemajuan bermedia dengan disrupsi digital bisa saja mengancam keberlangsungan bisnis. Apalagi bisnisnya adalah bisnis yang ia tekuni selama puluhan tahun. Alih-alih kuatir, saya melihat Pak JO justru tidak bersikap pesimistik atau skeptistik. Pak JO malah merangkul kemajuan itu dengan diversifikasi produk digital Kompas Gramedia, yang kini kita bisa ketahui sebagai Grid untuk menjangkau mass market yang belum sempat terjangkau pada awal pembentukannya.
Selain itu, ditangan dingin Pak JO pulalah, jurnalisme warga mendapat perhatian yang serius. Bukan hanya Kompasiana, Kompas Gramedia dibawah kepemimpinannya juga pernah membuat platform kolaboratif bernama K-Report berupa aplikasi BlackBerry. Selain itu, muncul pula Kompasiana Freez dalam versi cetak di Harian Kompas, dimana tulisan saya pernah dua kali dimuat. Yang paling bersejarah, artikel saya tentang kejatuhan media sosial Friendster terpampang dalam Kompasiana Freez edisi pertama. Ini luar biasa! Bukan saya, tetapi Pak JO sebagai mastermind Kompasiana.
Tokoh Inspiratif
Tidak banyak kesan mendalam saya tentang Pak JO sampai pada suatu hari, 9 September 2011, saya mendapatkan undangan untuk menghadiri Simfoni Semesta Raya, sebuah konser dan seremoni peresmian mengudaranya Kompas TV secara nasional, di Jakarta Convention Center, Senayan. Tanpa saya duga, Pak JO ternyata datang dan duduk di kursi VIP di lantai bawah.
Karena saya datang di tempat acara lebih awal, saya sempat bertemu dengan Pak JO sebelum masuk ruangan. Sayalah yang memberi salam padanya lebih dulu. Ia bertanya nama saya dan tersenyum sumringa saat menjabat tangan saya. Sayangnya momen tersebut tidak sempat saya abadikan mengingat saya memiliki gawai yang mengalami galat saat itu. Hingga kemudian beliau masuk bersama dengan tamu VVIP lainnya, termasuk ayah asuh saya saat itu yang sekaligus Ketua DPR RI, Marzuki Alie.
Ditahun yang sama, Pak JO meluncurkan biografinya yang ditulis oleh St. Sularto dengan judul Syukur Tiada Akhir. Meski belum pernah membaca bukunya, dari kiprahnya di dunia pers, setidaknya saya bisa mengambil beberapa poin positif yang sering dibagikan beberapa karyawan Kompas Gramedia yang berteman dengan saya. Ada juga cerita menarik dari beberapa diantara mereka yang pernah bertemu secara langsung dan mengobrol bersama Pak JO. Dari cerita mereka semua, saya kemudian pernah punya cita-cita bergabung menjadi jurnalis di Kompas Gramedia, terkhusus di Kompas TV, meskipun jalan karir saya kini berlainan dengan cita-cita saya dahulu.
Tercermin dari produk jurnalistiknya, Pak JO terkesan "menuhankan" kemanusiaan. Hal ini terbukti dengan tidak adanya gambar yang menjijikkan dan perlu disensor, seperti memar dan cipratan darah atau semacamnya. Selain itu, gambar kerusuhan pun juga tidak pernah nampak dari visual Harian Kompas selama puluhan tahun saya membacanya. Bagi Pak JO, hanya satu hal yang bisa mempersatukan manusia selain oleh karena agama dan ideologi, yaitu rasa kemanusiaan yang kuat. Memang terbukti, kepedulian dan empati kepada sesama manusia tidak mengenal batasnya.
Kita masih punya banyak tokoh pers yang prominent dalam berkarya namun jarang terekspos, seperti Adam Malik, Tan Malaka, hingga Tirto Adi Soerjo, tapi bagi saya, saya justru merasa seperti mendapatkan spiritual connection dengan Pak JO ketika saya berbicara tentang beliau. Dari sejarah hidupnya yang bukan wartawan, melainkan bercita-cita sebagai seorang rohaniwan, jalan hidup justru mengubahnya menjadi wartawan sukses hingga memimpin lebih dari 20.000 orang karyawan dibawah manajemennya. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, adalah semangat Pak JO dalam mengembangkan usaha penerbitannya hingga Kompas Gramedia bisa merambah bidang usaha lain secara pesat.
Jiwa kewirausahaan yang berpadu dengan semangat membela kebenaran dalam pers, membentuk karakter unik seorang Jakob Oetama, yang seharusnya bisa jadi teladan bagi kita semua, termasuk bagi anak muda yang meledak-ledak gairah hidupnya. Beliau tidak mau dipanggil pengusaha, namun hanya ingin dikenal sebagai wartawan (tanpa tambahan kata "senior" dibelakangnya meski semua tahu beliau adalah tokoh pers senior nasional).
Dalam rangkuman, saya mencatat Pak JO sebagai sosok berjiwa wirausaha, wartawan ulung, pejuang kemanusiaan, pembela kebenaran, teladan rohani, guru pengayom, atasan yang ramah terhadap bawahan, pribadi yang kreatif dan inovatif, dan adaptif terhadap kemajuan peradaban. Itulah Jakob Oetama, dengan segala atribut tersebut, yang menjadi inspirasi saya selama ini dalam menulis di Kompasiana dan menjadi Kompasianer.
Mendengar kabar beliau wafat siang tadi, hati saya sakit bagai teriris. Saya kembali kehilangan legenda hidup yang tetap mengilhami saya untuk terus menulis bagi Indonesia. Duka yang dialami Kompas Gramedia dan bangsa ini karena kehilangan sosok Pak JO, juga adalah duka saya.
Kini, tidak ada lagi sosok ramah senyum, yang halus tutur bahasanya, sang sesepuh, tokoh yang menyejarah dalam perjalanan jurnalisme Indonesia. Ia telah meninggalkan dunia demi sowan gusti, menemui tuhan yang menciptakannya, menuju hidup abadi yang telah dijanjikan baginya dengan meninggalkan semangatnya bagi kita yang masih berjuang di dunia, khususnya mereka yang membela kebenaran dalam jalan pers.
Selamat jalan, Pak JO.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H