Mohon tunggu...
Joshua
Joshua Mohon Tunggu... Konsultan - Akun arsip

Akun ini diarsipkan. Baca tulisan terbaru Joshua di https://www.kompasiana.com/klikjoshua

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Bijak Bertransaksi, Makroprudensial Terjaga

7 April 2020   20:34 Diperbarui: 7 April 2020   20:46 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi transaksi tabungan harian. © Joshua Marli

Mengherankan rasanya membayangkan ketidakpastian ekonomi domestik dan global dalam setahun, atau bahkan beberapa bulan belakangan. Saya sebagai orang yang awam makroekonomi bisa melihat pelbagai gejala yang tentu memaksa kita mengubah cara kita dalam mendapatkan, menyimpan, dan mengelola uang beserta aset kita dengan lebih bijak. 

Bukan cuma untuk menekan kerugian dan mengoptimalkan apa yang ada, namun kita perlu juga kesadaran untuk menjaga stabilitas sistem keuangan negara. Bayangkan saja, kalau sistem keuangan di negara kita tidak stabil, apa jadinya?

Bicara ekonomi memang tidak cuma soal fluktuasi suku bunga kredit perbankan dan keragaman bunga simpanan berjangka yang sewaktu-waktu berubah, tapi juga gejolak naik-turun kurs dolar terhadap rupiah, pergerakan nilai berbagai instrumen investasi, serta semakin banyaknya sarana membangun aset, yang membuat kita semakin berpikir, betapa mudahnya mengembangkan uang dan aset kita dalam kemajuan teknologi seperti hari-hari ini. 

Kesadaran untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan makroekonomi dengan prinsip kehati-hatian dalam bertindak, yang belakangan beken dengan nama makroprudensial, juga penting tuh.

Tapi, memikirkan ekonomi diri dan negeri tak perlu sampai meringis mengernyitkan dahi. Ada baiknya kita pahami, bahwa sebagai warga bangsa, kita juga adalah pemangku kepentingan yang terbesar dalam sektor keuangan. 

Tanpa disadari, puluhan, ratusan, bahkan ribuan triliun uang kita mengalir dalam jutaan arus transaksi setiap harinya, baik offline maupun online. Selalu ada pertukaran uang dengan barang atau jasa, di manapun, kapanpun, di seantero Indonesia. 

Membeli kebutuhan dapur di pedagang sayur dengan uang tunai, menempelkan kartu prabayar untuk membayar tiket commuter line dan mass rapid transit untuk berangkat dan pulang kerja, memindai kode QR kekinian untuk bayar makan dan minum, menggunakan dompet elektronik untuk membayar ojek, menggunakan kartu debit untuk berbelanja di pasar swalayan--itulah gambaran ragam transaksi yang membangun perekonomian negeri. 

Kalau ini semua tidak ada yang mengatur, mengawasi, dan melindungi, apa yang terjadi? Bisa-bisa ekonomi dalam scope besar ini tidak teratur dan kolaps. Sangat berbahaya, bahkan mengancam kesejahteraan seluruh rakyat.

Belum lama ini, ujian terberat sedang menerpa bangsa kita. Ketidakpastian ekonomi domestik dan global akibat wabah Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) menghantam perekonomian skala makro. 

Sebut saja penurunan Indeks Harga Saham Gabungan, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, serta lemahnya daya beli masyarakat dalam skala mikro akibat melambatnya laju industri dan terhambatnya aliran pasokan barang kebutuhan pokok di pasar. 

Jujur saja, saya sempat kuatir akan kondisi ini, apalagi jika wabah masih belum kunjung reda. Namun pikiran kuatir itu hanya sesaat saja dalam benak saya. 

Untungnya, Pemerintah Indonesia telah belajar dari krisis moneter yang telah terjadi di masa lalu, dan kini telah memiliki sistem keuangan yang berdaulat dan mandiri, yang diawasi oleh salah satunya berupa bank sentral bernama Bank Indonesia. 

Bersama tiga lembaga lain, Bank Indonesia juga membentuk jaring pengaman sistem keuangan untuk melindungi sistem keuangan agar tetap berjalan dan terus melayani masyarakat sebagaimana mestinya.

Tak banyak diketahui masyarakat, ternyata tugas Bank Indonesia amatlah penting dan berat. Selama ini, kita hanya tahu Bank Indonesia sebagai lembaga yang menjaga peredaran uang kita, yang bernama rupiah. 

Ada tugas mulia lainnya, yaitu mengatur dan mengawasi sistem pembayaran, termasuk sarana apa saja yang kita gunakan saat bertransaksi, apakah dengan kartu, uang elektronik, maupun kode QR. 

Belum lagi menjaga sistem keuangan agar tetap stabil dan melayani masyarakat, menetapkan kebijakan moneter, menjembatani transaksi kliring melalui sistem SKN dan RTGS, hingga mengawasi pasar dan memastikan berputarnya roda ekonomi bangsa.

Tindakan Masyarakat yang Bisa Mengganggu Stabilitas Sistem Keuangan

Saya sadar, ternyata dalam situasi yang tidak pasti seperti sekarang ini, mengamankan stabilitas sistem keuangan bukan hanya tanggung jawab Bank Indonesia sebagai salah satu lembaga yang termasuk dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan tersebut. 

Ada beberapa tindakan kita yang sebetulnya bertujuan untuk mencari selamat sendiri ditengah ketidakpastian, sampai bisa dibilang jika dilakukan oleh semakin banyak orang, tindakan-tindakan tersebut tidak bertanggung jawab dan bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan di negeri kita. Nah loh! Apa saja bentuknya? Berikut contoh-contohnya.

Pertama, adalah kegiatan mengumpulkan bahan-bahan kebutuhan pokok atau kebutuhan khusus untuk menangani suatu krisis, termasuk untuk mengatasi wabah, dengan tujuan untuk menimbun dan kemudian untuk dijual kembali dengan harga yang sangat mencekik. 

Tujuannya, tentu untuk mengeruk keuntungan secara tak wajar bagi pihak yang menimbun dan menjual barang-barang tersebut. Bisa dibayangkan, ditengah wabah penyakit menular yang membutuhkan banyak produk sabun antiseptik dan disinfektan kulit berbahan dasar alkohol seperti hand sanitizer, serta masker sekali pakai, sudah banyak pelaku yang ditahan dan menjalani proses hukum akibat kejahatan ekonomi yang satu ini. 

Tindakan tersebut bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan karena mengakibatkan lonjakan permintaan atas barang-barang tersebut dengan angka permintaan yang tidak wajar, yang tak sebanding dengan kemampuan untuk memenuhi permintaan tersebut. Kalaupun barangnya ada, harganya pasti sangat mahal dan tak akan sebanding dengan pasokan yang ada.

Kedua, adalah kegiatan penutupan besar-besaran atas produk investasi berjangka yang dimiliki masyarakat pada waktu lebih awal dari jatuh temponya, atau bahasa kerennya panic redeeming. 

Biasanya kejadian ini muncul pada pasar surat utang berjangka, tabungan berjangka di bank, atau instrumen investasi jangka panjang lainnya. Tindakan ini tentunya tidak akan membuat Anda untung lho, karena biasanya hasil investasinya tidak maksimal dengan ditandai sedikit atau tidak adanya imbal hasil yang maksimal sesuai harapan. 

Katakanlah Anda memiliki simpanan berjangka Rp 1 juta dengan imbal hasil sekian persen. Alih-alih cuan, Anda justru rugi karena menarik simpanan berjangkanya lebih awal. 

Lembaga yang mengelola investasi seperti perusahaan asuransi, bank, sekuritas dan semacamnya justru akan kerepotan untuk mencairkan deposito jangka panjang yang Anda titipkan kepadanya karena penarikan besar-besaran dan dalam waktu bersamaan. Alhasil, likuiditasnya ikut terganggu. Alih-alih cuan, rugi iya.

Ketiga, adalah penarikan dana tabungan besar-besaran pada lembaga perbankan, alias rush money. Dalam pandemi COVID-19 seperti sekarang, masih ada beberapa negara yang mengalami kejadian rush money seperti India, dimana masyarakatnya mengantre berjam-jam di bank dan mesin ATM untuk mengambil semua uang mereka yang tersisa di rekening tabungannya, sehingga turut mengganggu sektor riil. 

Bukan cuma Indonesia yang 'pasang kuda-kuda' mencegah hal ini, ada juga Singapura. Biasanya hal ini disebabkan oleh hoaks. Penarikan uang besar-besaran di bank bisa mengganggu kinerja dari bank tersebut secara signifikan, salah satunya adalah penyaluran kredit yang pada akhirnya akan mengganggu likuiditas bank.

Yuk Rawat Stabilitas Sistem Keuangan dengan Cara Ini!

Ditengah situasi yang masih serba tak pasti, sebenarnya kita masih bisa menerapkan beberapa cara untuk mengamankan uang dan aset kita, memperlancar transaksi, hingga turut berkontribusi dalam menjaga stabilitas sistem ekonomi nasional, lho! Berikut saya bagikan beberapa tips sederhana dengan alasan dan argumen yang moga-moga bisa meyakinkan Anda, Kompasianers! Langkahnya tentunya mudah dan bikin tenang.

Pertama, yang paling mudah, bertransaksilah secara elektronik dan kurangi penggunaan uang tunai, apalagi selama pandemi COVID-19 belum berakhir. Gunakanlah sarana pembayaran elektronik yang Anda senangi. 

Ada banyak sarana transaksi elektronik yang bisa digunakan, misalnya aplikasi perbankan pada gawai, kartu prabayar, aplikasi uang elektronik, dan lainnya. Misalnya, kalau Anda lebih nyaman menggunakan kartu debit, silakan berbelanja di gerai atau pasar swalayan dengan cukup men-'celup'-kan kartu debit pada mesin EDC, masukkan nominal belanja dan PIN, dan selesai.  

Apalagi sudah banyak bank yang menerapkan kartu debit berbasis cip dan berlogo Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Transaksi seperti ini mengurangi penggunaan uang kertas dan logam yang bisa saja mengandung banyak bakteri dan virus karena seringnya uang tunai dipindahtangankan. 

Kedua, berhemat dalam bertransaksi dan hindari memberi barang-barang yang tidak dibutuhkan dalam jumlah yang banyak, serta membeli barang kebutuhan dalam jumlah yang wajar. Coba bayangkan kalau ada dua botol hand sanitizer di rak gerai minimarket, jika Anda membeli dua-duanya, maka orang yang sangat membutuhkan itu jadi tidak kebagian. 

Ayolah berbela rasa dalam berbelanja dengan langkah sederhana ini. Selain untuk menunjukkan kepedulian, kita juga bisa menghemat pengeluaran kita. Asyik kan?

Ketiga, tarik uang tunai di bank atau mesin ATM secukupnya saja. Mesin ATM memang diciptakan untuk menangani kebutuhan uang tunai dalam jumlah yang terbatas, bahkan berbagai bank telah menerapkan limit maksimum transaksi penarikan dana secara harian dalam limit yang bervariasi.

Saya pribadi merasa tak nyaman jika membawa uang tunai pecahan seratus ribuan lebih dari lima lembar sehari. Selain untuk mencegah kehilangan dompet dan meningkatkan rasa aman, langkah ini juga lebih praktis dan membuat dompet Anda semakin tipis dan ringkas.

Keempat, tetap tenang dan produktif, cerdas berperilaku bijaksana dalam bertindak, dan jangan sebarkan kepanikan. Tetaplah yakin bahwa 'badai pasti berlalu', investasi kita aman tersimpan dan terkelola, dan bersama-sama kita semua bisa menghadapi dan melewati krisis yang ada, terutama pandemi COVID-19 dan ketidakpastian ekonomi. 

Jangan sampai kita menyebarkan berita bohong atau ajakan yang justru bukannya menyelamatkan kepentingan banyak orang, tapi membawa kerugian bagi lebih banyak orang atau masyarakat luas. 

Misalnya saja, dengan mengajak teman dan saudara kita untuk tetap tenang dan bertransaksilah seperti biasa. Apalagi dengan ajakan #DiRumahAja selama pandemi, kita tak perlu pergi ke mesin ATM atau kantor cabang bank untuk bertransaksi, cukup dengan gawai kita saja. Makroprudensial aman terjaga, sistem keuangan stabil untuk Indonesia maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun