[caption id="attachment_329459" align="aligncenter" width="576" caption="Mengaduk jamu godhog yang akan dikonsumsi. (Ilustrasi: Joshua Limyadi | Model: Tubagus Encep)"][/caption]
Citizen Journalism Report
Dalam perjalanan saya dan 9 orang Kompasianer lainnya pada Jumat (13/06/2014) lalu ke pabrik Deltomed di Wonogiri, saya mendapatkan bergudang-gudang ilmu dan inspirasi yang membuat saya semakin paham akan dinamika, fungsi, teknik serta khasiat herbal sebagai solusi pengobatan di dunia.
Meski terkesan tak mutakhir, obat-obatan herbal--terkhusus jamu--telah mendapat tempat tersendiri dalam ilmu pengobatan masa kini. Ketika gangguan kesehatan mulai muncul sebagai pertanda tidak seimbangnya keadaan fisik tubuh seseorang, cabang pengobatan herbal secara medis dapat digunakan sebagai terapi awal maupun terapi lanjutan. Pemikiran ilmiah ini turut mengilhami banyaknya pusat pengobatan medis yang menggunakan herbal sebagai obatnya. Pernyataan tersebut dikukuhkan direktur pengembangan bisnis Deltomed Dr. Abrijanto SB, M.Si., dalam demo membuat jamu godhog sederhana. Cara ini dapat diterapkan siapa saja di rumah. Namun ada beberapa disiplin yang harus diperhatikan dalam membuat jamu agar khasiatnya lebih terasa dalam tubuh.
Demo tersebut bertujuan untuk memberi wawasan bagaimana cara mengolah, mengonsumsi dan menyimpan hasil olahan jamu tersebut. Abri--sapaan akrab Abrijanto--mempraktekkan dan menjelaskan pengolahan herbal secara sederhana menggunakan tanaman obat yang dapat dijumpai di sekitar kita.
Bagi Abri, beruntungnya orang-orang tinggal di bumi Asia beriklim tropis seperti Indonesia, karena sangat mudah menemukan pelbagai jenis apotek hidup yang dapat dimanfaatkan. Semisal bangsa Korea Selatan boleh berbangga dengan ginseng yang bertumbuh subur ditanahnya, Brasil dengan tanaman-tanaman gurun berkhasiat afrodisiak semisal umbi maca (baca: maka), begitu juga Indonesia dengan diversifikasi tanaman obat yang lebih banyak. Jahe merahnya, cengkehnya, adasnya, dan lain sebagainya, merupakan kekayaan herbal yang memberi manfaat bagi masyarakat banyak. Tak heran jika pada zaman penjajahan dahulu, bangsa asing ingin menguasai sumber daya alam yang begitu melimpah ini, termasuk rempah-rempah dan tanaman obatnya.
"Bedanya membuat jamu sendiri dengan obat-obatan seperti di pabrik kami (Deltomed) hanyalah masalah standar. Bila membuat jamu di rumah pengolahannya hanya sebatas mencuci, merebus, meminum atau menyimpannya dalam wadah, kami menerapkan Cara Pembuatan Obat-obatan Tradisional yang Baik (CPOTB) sesuai ketentuan Kementerian Kesehatan RI, juga standar internasional seperti Good Manufacturing Produce (GMP)," tutur Abri yang juga merupakan seorang ahli herbal.
Menurutnya, pengolahan obat-obatan herbal sederhana seperti jamu di pabrik lebih rumit karena harus memenuhi standar-standar tertentu agar layak edar dan layak konsumsi. Oleh sebabnya jamu buatan sendiri harus segera dikonsumsi mengingat masa simpannya yang pendek agar manfaat jamunya tidak hilang karena terkontaminasi mikroba atau jamur.
[caption id="attachment_329463" align="aligncenter" width="576" caption="Dr. Abrijanto SB, M.Si. (kiri) saat mendengarkan pertanyaan Kompasianer Ngesti Setyo Murni (kanan). (joshualimyadi)"]
Bebas dari Pengotoran
Simplisia adalah bentuk sederhana sediaan bagian tanaman obat kering dalam bentuk serbuk. Umumnya ada yang langsung mengonsumsi simplisia tersebut dalam kapsul, tablet, sirup, larutan, maupun serbuk (pulvis).
Meskipun umumnya bagian tanaman obat diolah langsung tanpa dijadikan serbuk atau simplisia, bagian tanaman obat harus dipastikan bersih dari pengotoran yang kasat mata. Misalnya rimpang jahe (Zingiberis rhizoma) yang harus dicuci bersih dari sisa kotoran dan tanah sebelum diolah ke tahap selanjutnya.
Setelah bersih, ada baiknya bagian tanaman obat tersebut dikeringkan hingga benar-benar kering, baik dengan oven maupun dijemur dibawah sinar matahari langsung. Supaya kadar airnya menguap dengan sempurna, Abri menyarankan agar bagian tanaman obat yang hendak dijadikan jamu diiris-iris agar kandungan obatnya dapat larut dalam air dengan mudah saat direbus dan memudahkan pengeringan. "Walaupun sudah kering, bagian tanaman yang sudah diiris dan dijemur tetap harus dicuci kembali sebelum direbus. Hal ini untuk memastikan agar bahan baku bebas dari debu maupun jamur yang kasat mata," tutur Abri menambahkan.
Bagaimana dengan bagian tanaman obat yang hendak dijadikan jamu tercemar limbah padat seperti tinja? Tidak perlu kuatir untuk mengonsumsinya. Abri mengatakan, secara ilmiah tanaman melalui bagian akarnya dapat mengolah zat-zat dalam tinja yang mencemarinya menjadi lebih bermanfaat bagi tanaman itu sendiri. Oleh sebabnya Abri menganjurkan agar mencuci kembali bagian tanaman obat yang hendak dibuat jamu dari pengotoran yang kasat mata seperti tinja. "Tanaman itu canggih luar biasa. Tanaman bisa mengolah tinja, kecuali residu (ampas--red) kotoran, karena amoniak pada tinja atau limbah padat diserap untuk diolah tanaman menjadi zat turunan yang tidak termasuk dalam golongan amoniak. Jadi tidak perlu kuatir," terang Abri.
[caption id="attachment_329464" align="aligncenter" width="576" caption="Dalam gelas kaca: Cara perebusan jamu pereda batuk yang didemonstrasikan oleh Dr. Abrijanto SB, M.Si. (joshualimyadi)"]
Olah Jamu Secara Baik
Ahli herbal yang juga membuka klinik herbal di bilangan Serpong, Tangerang Selatan ini juga menyarankan agar sebaiknya bahan baku jamu direbus dalam suhu 60 derajat celcius. Hal ini demi menjamin higienitas karena dapat membunuh kuman-kuman dan mempertahankan zat aktif tanaman obat. Menurutnya, suhu yang terlalu tinggi dapat membuat zat aktif berkhasiat dari tanaman obat menghilang karena proses penguapan dan perubahan suhu yang tinggi.
Seraya memasukkan bahan-bahan herbal kedalam gelas kaca berisi air mendidih, Abri mengatakan, "Kita mengolah tanaman obat dengan tujuan untuk mendapatkan ekstrak zat aktifnya, bukan semata-mata mendapatkan airnya saja. Oleh karenanya cara pengolahan yang tepat juga penting. Ini terbilang sepele, yang perlu kita lakukan hanyalah cermat mengolahnya."
Abri menggunakan gelas kaca untuk mengekstraksi tanaman obat yang dikumpulkannya hingga berbentuk jamu cair siap minum. Ia beralasan gelas kaca tidak melepaskan partikel besi, alumunium atau zat lain yang mengendap pada saat pencucian panci atau wadah besi lain yang dapat digunakan untuk merebus. Gelas kaca mudah bereaksi terhadap panas dan mudah pecah, karenanya jangan lupa gunakan kawat kasa agar gelas kaca tidak secara langsung mengenai sumber panasnya.
Abri menambahkan, "Jangan pernah tutup panci perebusan dengan penutup, biarkan saja direbus secara terbuka, agar zat aktifnya tidak hilang."
Setelah ramuan jamu telah selesai diproses, ada baiknya ramuan tersebut segera dikonsumsi untuk mencegah tumbuhnya jamur maupun berkembangnya mikroba yang memicu penyakit tertentu, misalnya Escherichia coli penyebab diare atau Salmonella typhii penyebab demam tifus. "Idealnya jamu harus langsung dikonsumsi setelah diolah, bisa menunggu 1 atau 2 jam untuk menunggu ramuannya dingin jika ramuannya berupa air rebusan. Tapi jika hendak disimpan, simpanlah dalam botol atau wadah bertutup rapat," kata Abri menjelaskan. Jamu dalam bentuk air rebusan dapat disimpan dalam suhu ruangan selama beberapa hari. Jika ingin tahan lama, tempatkan saja dalam lemari es. Mudah, bukan?
Abri menampik bahwa meminum jamu dapat menyebabkan efek samping lebih banyak dari obat-obatan konvensional berbasis bahan kimia sintetik. Ia memberi contoh bahwa parasetamol yang dikonsumsi secara terus menerus akan mengakibatkan kerusakan fungsi hati. Selain khasiat, keamanan dalam meminum jamu tergantung dari bahan dan cara mengolahnya. Abri juga menyayangkan sebagian kecil kalangan yang mengonsumsi obat-obatan herbal atau jamu dalam dosis berlebih sehingga memperbanyak racun yang harus dikeluarkan tubuh.
"Herbal memang alternatif obat yang aman, tetapi seringkali orang mengonsumsinya secara berlebihan dan tidak sesuai dengan indikasi tanaman obat tersebut. Misalnya saja tanaman gambir. Daunnya dapat membuat kanker mulut dan faring jika ditelan mentah-mentah tanpa diekstraksi terlebih dulu," kata herbalis kelahiran Jakarta tahun 1966 tersebut.
Disamping itu semua, secara pribadi Abri merasa berbangga karena banyak negara yang belajar herbal dari Indonesia sebagai salah satu negeri dengan konsumsi herbal terbanyak di dunia. "Indonesia bisa besar karena rempah, dan juga bisa besar karena herbal. Herbal ini bukan hanya menjadi bisnis Deltomed, namun menghadirkan produk obat-obatan berbasis herbal berkualitas juga salah satu bentuk tanggung jawab sosial kami," kata Abri menutup diskusi.
.
Baca juga tulisan Joshua tentang wisata Solo lainnya, klik di sini.
.
KETERANGAN:
- "Godhog" (bahasa Jawa): merebus dengan air mendidih sambil diaduk sesekali.
- "Afrodisiak" (istilah medis): memicu gairah seksual.
.
Baca juga tulisan Joshua tentang wisata Solo lainnya dengan klik di sini
atau klik di sini untuk membaca bagian selanjutnya.
* * * * *
© Joshua Francis. All rights reserved.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H