[caption id="attachment_329887" align="aligncenter" width="576" caption="Candi Ceto, Karanganyar, Jawa Tengah, saat saya kunjungi, Sabtu (14/06/2014) lalu. (joshualimyadi)"][/caption]
Citizen Journalism Report
Azan Subuh membangunkan saya dan rekan-rekan Kompasianer yang lain pada Sabtu (14/06/2014) pagi di guesthouse Griya Teratai, Mangkubumen, Solo. Keadaan langit masih gulita manakala masyarakat Solo sudah mulai beraktifitas. Denyut nadi kehidupan perkotaan mulai terasa disaat banyak kendaraan mulai berlalu-lalang menyusuri ruas demi ruas jalanan kota. Saya dan Kompasianers lain segera bersiap untuk melanjutkan petualangan berkeliling ke tempat-tempat wisata budaya dan alam seputar Kota Solo.
Kunjungan ke pabrik Deltomed di Wonogiri kemarin masih belum lepas dari ingatan. Sambil menikmati sarapan pagi, beberapa Kompasianers sudah terlebih dulu berkumpul di meja makan sambil bercengkerama dan bersenda gurau, termasuk saya. Seduhan teh dan kopi melengkapi obrolan pagi kami, seraya menunggu staf Deltomed datang menjemput kami untuk perjalanan hari ini.
Saat sinar mentari benderang menerangi langit Solo, kami berangkat menuju sebuah warisan purbakala di sekitar kota Solo. Beruntung, Kota Solo berada di Provinsi Jawa Tengah yang memang menjadi surganya warisan budaya purbakala, apalagi kalau bukan candi-candi?
Memang, Solo tak memiliki candi, namun dengan berkeliling diluar Kota Solo, Anda dapat dengan mudah mencarinya. Borobudur, Prambanan, atau Sukuh? Tinggal cari saja candi yang ingin Anda kunjungi. Jawa Tengah memang terkenal dengan candi yang telah menjadi landmark dan keajaiban dunia seperti Candi Prambanan atau Candi Borobudur. Kebetulan, Solo berbatasan dengan beberapa kabupaten secara langsung antara lain Karanganyar dan Boyolali.
Tujuan saya dan rekan-rekan adalah mengunjungi Candi Ceto yang berlokasi tak jauh dari Air Terjun Grojogan Sewu Tawangmangu, Karanganyar. Candi Ceto juga tak begitu jauh dari Candi Sukuh. Perjalanan dengan mobil dari pusat Kota Solo  membutuhkan waktu dua jam lamanya untuk sampai ke lokasi candi. Kebetulan candi ini berada pada ketinggian 1496 meter diatas permukaan laut. Ketinggian yang cukup tinggi untuk sampai ke kaki Gunung Lawu yang terkenal berkabut dan berudara sejuk.
Untuk sampai di sana, kami harus melewati jalan berkelok-kelok. Tapi tak usah kuatir jenuh atau mabuk, karena disekeliling jalan Anda juga dapat melihat pemandangan kebun teh yang luas seperti yang kami lihat. Rasa lelah seakan terbayar saat tiba di kawasan Candi Ceto yang terletak di Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar ini.
Tak perlu merogoh kocek terlalu dalam untuk memasuki areal candi sepanjang 190 meter dan berlebar 30 meter ini, karena hanya perlu membayar Rp. 3.000,- per orang untuk wisatawan lokal dan Rp. 10.000,- untuk wisatawan asing. Untuk kendaraan yang hendak melewati akses menuju Candi Ceto, cukup membayar Rp. 10.000,- per mobil dan Rp. 5.000,- per sepeda motor.
Keadaan di dalam kawasan candi cukup tertata rapi. Nyaris tak ada sampah terlihat di sekeliling candi. Pengunjungnya begitu tertib semakin menambah suasana yang bebas gaduh. Yang ada hanyalah punden-punden berundak dilengkapi arca-arca dan bebatuan berpahat relief yang menggambarkan kehidupan sekitar kaki Gunung Lawu pada zaman pertengahan. Meski tergolong candi kecil seperti Candi Sukuh, beberapa keunikan Candi Ceto membuat candi beraliran Hindu yang diperkirakan dibangun pada tahun 1475 Masehi ini begitu unik dan berbeda dibandingkan candi-candi kecil lainnya yang tersebar di Jawa Tengah.
[caption id="attachment_330325" align="aligncenter" width="576" caption="Rombongan Kompasiana-Deltomed tengah menapaki anak-anak tangga menuju kawasan candi."]
Jika arca-arca yang terdapat pada candi-candi yang tersebar di daerah lain diserupakan dengan tokoh-tokoh suci maupun dewa-dewi, lain halnya dengan arca-arca di Candi Ceto yang menggambarkan tokoh pewayangan. Belum ada arca yang diidentifikasi berbentuk manusia. Cerita Samudramanthana dan cerita Garudewa merupakan mitologi purbakala yang melatarbelakangi bentuk filosofis dari arca-arca di candi ini.
Memasuki kawasan Candi Ceto, Anda akan terbuat terkagum oleh arsitektur nirmananya. Candi Ceto memiliki 13 teras berbentuk punden berundak-undak yang merupakan ciri khas candi-candi kecil di Tanah Air. Anda akan melihat tiga aras setelah melalui gapura. Aras pertama setelah gapura masuk (yaitu teras ketiga) merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman. Pada aras ketiga terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi yang tak lain adalah leluhur masyarakat Dusun Ceto.
[caption id="attachment_330311" align="aligncenter" width="576" caption="Iseng-iseng, penulis menyapa sang arca dan ber-selfie. "]
[caption id="attachment_330313" align="aligncenter" width="576" caption="Susunan arca berbentuk kura-kura. (Fotografer: Adian Saputra)"]
Â
[caption id="attachment_330374" align="aligncenter" width="576" caption="Relief candi pada satu titik yang masih menggambarkan kura-kura dan ukiran batu yang menceritakan kehidupan masyarakat di kaki Gunung Lawu."]
Saat menaiki tangga menuju teras demi teras areal candi ini, mata Anda akan dibuat terbelalak oleh susunan bebatuan yang menyerupai kura-kura dalam sayap garuda. Bentuk bebatuan menyerupai kura-kura ini diilhami dari cerita Samudramanthana yang mengisahkan kedua istri Kasyapa yaitu Kadru dan Winata pada pengadukan lautan susu untuk mencari air kehidupan. Gunung Mandara dipakai sebagai pengaduknya. Dewa Wisnu menjelma menjadi kura-kura dan menopang Gunung Mandara. Kadru menebak bahwa ekor kuda yang membawa air kehidupan berekor hitam, sementara Winata menebak kuda berekor putih. Tebakan Winata tak meleset. Kuda yang membawa air kehidupan berekor putih, tapi anak-anak Kadru yang berwujud ular menyemprotkan bisanya sehingga warna ekor seketika menghitam. Karena kecurangannya, Kadru berhasil menjadikan Winata sebagai budaknya.
Pada mitologi Garudewa menceritakan sang anak yang tak tinggal diam untuk menyelamatkan ibundanya. Garudewa meminta para ular yang nota bene adalah anak-anak Kadru untuk membebaskan Winata dari perbudakan ibunda mereka. Para ular akan menyanggupi jika Garudewa memenuhi syarat yang mereka ajukan kepadanya, yakni ia bersedia menukarkan ibunya dengan air kehidupan. Air kehidupan, selanjutnya disebut air amarta, adalah sejenis air suci yang disimpan dalam sebuah tempat yang dijaga para dewa. Setelah berhasil mendapatkan air amarta dan menyerahkannya kepada para ular, barulah Garudewa dapat menyelamatkan Winata.
Keunikan Candi Ceto tak sebatas arca kura-kuranya. Jika Anda perhatikan dengan teliti, maka Anda akan menemukan arca berbentuk phallus atau alat kelamin pria yang disatukan dengan alat kelamin wanita. Arca ini merupakan simbolisasi dari rasa syukur yang tak terhingga atas panen yang melimpah di tanah setempat, serta perlambang kesuburan, sedangkan arca kura-kura melambangkan proses penciptaan manusia.
[caption id="attachment_330355" align="aligncenter" width="576" caption="Arca berbentuk phallus (kelamin pria) dan vagina (kelamin wanita) yang menggambarkan kesuburan."]
Setiap hari-hari besar agama Hindu digelar, Candi Ceto tak pernah sepi. Salah seorang warga Dusun Ceto yang tinggal di sekitar candi, Yanto (43), mengatakan kawasan Candi Ceto sejatinya adalah kawasan wisata religi. Pengunjung bisa bermeditasi, berdoa, dan berwisata di candi ini. Misalnya pada hari raya Galungan atau bila ada hajat khusus, para pendoa memasuki candi ini untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa agar keinginan mereka lekas terkabul.
"Candi Ceto juga berfungsi sebagai tempat ibadah, oleh sebab itu para wisatawan yang berada dalam kawasan candi dihimbau untuk tidak merokok ataupun berbicara dengan kata-kata yang kurang susila," saran Yanto. Ia turut menyarankan agar mereka mengawasi anak-anak supaya tidak berlarian atau memanjat candi maupun reliefnya.
[caption id="attachment_330302" align="aligncenter" width="576" caption="Wisatawan asing yang sedang berkunjung ke Candi Ceto."]
Memanjakan Mata Wisatawan
Perjalanan jauh dari berbagai kota seakan takkan terasa apabila wisatawan telah sampai ke kawasan candi. Maklum saja, dari kerumunan wisatawan yang saya lihat, nampak sepasang turis asing asal Belanda yang menyempatkan diri untuk menikmati keindahan Candi Ceto. Mereka ditemani seorang pemandu wisata.
Ada pula pemandu wisata lain yang sempat saya ajak mengobrol santai. Agus Winarto (37), pemandu wisata asal Solo ini misalnya. Dalam sepekan ia dapat membawa sedikitnya 1 rombongan dengan jumlah minimal 5 orang untuk bertandang ke candi yang berada di Dusun Ceto tersebut. Alasannya, kunjungan tersebut menjadi salah satu pilihan yang umumnya dipilih wisatawan yang memilih paket tur wisata solo pada agensi tempat ia bernaung. "Biasanya saya mengantarkan turis asing, tapi belakangan memang banyak turis lokal yang penasaran dengan Candi Ceto," jelas Agus yang telah menjadi pemandu wisata sejak 14 tahun silam lalu.
Menurutnya, belum banyak wisatawan yang memilih Candi Ceto sebagai destinasi wisata dalam paket perjalanan yang ditawarkannya. Rata-rata para pelancong memilih Candi Sukuh karena tak perlu susah payah memacu kendaraan dengan jalan yang terlalu landai berkabut tebal dan jarak yang begitu jauh. Meski alasan tersebut menjadi kelemahan Candi Ceto di satu sisi, namun bagi para pelancong yang hobi berpetualang alam, hal tersebut tak begitu berpengaruh. Agus menambahkan pihaknya siap memfasilitasi siapapun pelancong yang hendak menyusuri keindahan Candi Ceto.
Beberapa Kompasianer tak ketinggalan menjadikan Candi Ceto sebagai objek dan latar belakang untuk berfoto-foto ria dengan kamera mereka. Hal yang menarik perhatian, tentu saja kabut putih yang kerap kali mengaburkan pemandangan. Selain dingin dan sejuk, kabut putih yang kaya akan oksigen diyakini membantu meringankan stres sepanjang perjalanan. Saya langsung unjuk kebolehan dengan pose menantang kabut yang kemudian diabadikan salah seorang rekan Kompasianer, Adian Saputra.
[caption id="attachment_330286" align="aligncenter" width="576" caption="Penulis mencoba pose menantang kabut. (Fotografer: Adian Saputra)"]
Pesonanya turut memikat mata para bikers atau kelompok penunggang sepeda motor jenis sport. Dwi Wiyanto wisalnya. Pria asal Madiun, Jawa Timur ini bersama 10 orang rekan-rekannya sesama anggota klub motor Mandiri Bikers Club sudah berniat mengunjungi Candi Ceto sejak beberapa hari sebelum mereka mengadakan tur bersama. Ia memilih merekomendasikan candi ini kepada rekan-rekannya setelah sebelumnya mengunjungi candi ini tanpa rombongan. "Ini adalah kali pertama saya berkunjung bersama teman-teman," terang Dwi.
Perjalanan darat yang mereka tempuh selama 3 jam dari Madiun dengan menggunakan sepeda motor tak terasa saat mereka menapaki setiap anak tangga pada kawasan candi. Menurutnya, rasa lelah yang ia dan rekan-rekannya rasakan terbayar lunas manakala melihat kemegahan candi yang masih kokoh berdiri meski beberapa kali candi ini dipugar oleh Pemerintah melalui Dinas Konservasi Warisan Purbakala Provinsi Jawa Tengah.
Dengan ekspresi sumringah, Dwi menambahkan, "Dilihat dari jarak, perjalanan Madiun-Karanganyar memang tak sejauh Madiun-Jakarta. Jadi bagi yang sedang berwisata ke daerah Solo dan sekitarnya, tak ada salahnya untuk mampir ke sini. Tempatnya indah, lokasi bagus dan pemandangan yang tidak menjemukan membuat saya rindu untuk sesekali mampir ke sini."
Dwi dan rekan-rekannya sontak secara bergantian mengabadikan momen wisata mereka baik dengan kamera maupun gadget seperti ponsel pintar. Tawa dan canda seakan menjadi karib dalam kebersamaan mereka. Tak ketinggalan, sepasang kekasih yang turut menjadi anggota bikers club terjepret kamera saya. Gambar mereka seolah-olah seperti foto pre-wedding saja, meski mereka tak sadar kalau saya abadikan.
[caption id="attachment_330328" align="aligncenter" width="576" caption="Anak candi yang dahulu belum selesai dikerjakan, namun dipugar oleh Pemerintah."]
[caption id="attachment_330316" align="aligncenter" width="576" caption="Anggota Mandiri Bikers Club yang tengah berfoto di kawasan candi."]
[caption id="attachment_330305" align="aligncenter" width="576" caption="Ini dia nih, pasangan kekasih yang saya jepret secara candid, alias tersembunyi, di kawasan Candi Ceto."]
Rekan-rekan Kompasianers yang melihat-lihat merasa takjub melihat suasana alam sekitar Candi Ceto yang asri, ditambah lagi relief-relief bebatuan yang tak lain adalah anak-anak candi atau arca-arca yang tak selesai dibangun pada masa konstruksinya dulu. Ada Shulhan Rumaru dan Pendi Kuntoro, tim Kompasiana yang sibuk mengerjakan titipan memotret dari Kompasianer. Suasana jadi semakin hangat ditemani senda gurau diantara kami dalam rombongan Kompasianers dan Deltomed.
[caption id="attachment_330320" align="aligncenter" width="576" caption="Kenang-kenangan saya dan rekan-rekan Kompasianers dan Deltomed. (Fotografer: Pendi Kuntoro)"]
Satu jam berada di candi ini serasa belum cukup bagi saya untuk mengagumi dan menjelajah keindahannya. Namun apa daya, saya dan rekan-rekan Kompasianers harus 'turun gunung' untuk menikmati sajian teh segar yang langsung dipetik dari kebunnya, makan siang bersama, hingga kembali ke Kota Solo untuk menjelajah kota. Sebuah ukuran sejarah yang akhirnya dapat saya tapaki, hingga bertanya-tanya dalam hati, bagaimana petualangan yang akan berlanjut di Solo? Ikuti dalam tulisan selanjutnya.
.
Baca juga tulisan Joshua tentang wisata Solo lainnya dengan klik di sini
atau klik di sini untuk membaca bagian selanjutnya.
Â
* * * * *
© Joshua Francis. All rights reserved.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H