Mohon tunggu...
Joshua
Joshua Mohon Tunggu... Konsultan - Akun arsip

Akun ini diarsipkan. Baca tulisan terbaru Joshua di https://www.kompasiana.com/klikjoshua

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Melihat Wajah Keraton dan Batik Solo Masa Kini (5-habis)

23 Juni 2014   01:58 Diperbarui: 6 Januari 2016   19:30 1380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_330376" align="aligncenter" width="576" caption="Pintu masuk menuju Keraton Solo. (joshualimyadi)"][/caption]

Citizen Journalism Report

Menemukan potensi wisata di sebuah daerah bukan hanya tergantung pada peta ataupun perangkat canggih dengan aplikasi peta saja. Saya percaya bahwa selain untuk berekreasi, menemukan potensi wisata adalah cara untuk melihat keberagaman disebuah negara yang diwakili oleh sebagian kecil pesona yang dapat dinikmati. Seperti halnya saya dan rekan-rekan Kompasianers yang turut serta dalam tur Kompasiana-Deltomed.

Setelah puas menjelajah dunia obat-obatan herbal dengan mengunjungi pabrik PT Deltomed Laboratories di Wonogiri, Jawa Tengah, pada Jumat (13/06/2014), Kompasianers juga dimanjakan dengan wisata Solo dan sekitarnya, Sabtu (14/06/2014). Yang menarik adalah saya dan rekan-rekan dapat mengunjungi beberapa destinasi wisata yang mungkin belum pernah dikunjungi sebelumnya.

Kami awali wisata kami dengan mengunjungi Candi Ceto, sebuah warisan purbakala di kaki Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah. Berada di ketinggian 1496 meter diatas permukaan laut, candi ini menyimpan cerita jejak penyebaran agama Hindu yang sempat masyur di kawasan tengah Pulau Jawa, hingga arsitektur nirmananya yang membelalak pelupuk mata. Lokasi candi yang dekat dengan kawasan wisata Air Terjun Grojogan Sewu di Tawangmangu membuat Candi Ceto mudah dijangkau, apalagi dengan jalanan desa yang mulus.

Turun gunung, kami ngaso dan beristirahat sambil minum teh di Rumah Teh Ndoro Donker. Meski namanya terkesan biru, teh yang disajikan pun tidak demikian warnanya. Kami mencicip teh dengan berbagai varian rasa yang menjadi favorit para pengunjung. Tak ketinggalan kami turut menyesap varian teh yang belum pernah diminum sebelumnya. Ditemani penganan kecil yang memanjakan lidah, saya dan rekan-rekan menikmati semilir angin pegunungan seraya berteduh di rumah teh berarsitektur kolonial Belanda. Rumah teh ini menjadi surga bagi pecinta teh untuk menikmati cita rasa teh dengan suasana pegunungan, kebun teh dan rumah sekaligus. Bahkan saya pun seolah enggan beranjak dari rumah teh itu.

[caption id="attachment_330375" align="aligncenter" width="576" caption="Iga gongso, menu andalan RM Indah, Karanganyar. (joshualimyadi)"]

14034320101381006014
14034320101381006014
[/caption]

Perjalanan dilanjutkan dengan menikmati makan siang di Rumah Makan Indah di Jalan Solo-Karanganyar, Desa Karangpandan. Berbagai sajian dan jamuan kuliner ala Jawa tersaji apik menggugah selera. Menu yang paling banyak dipesan oleh rekan-rekan Kompasianers, termasuk saya, adalah iga gongso. Iga gongso adalah iga sapi yang dimasak dengan cara ditumis dengan bumbu kecap serta bumbu yang digerus seperti cabai merah, cabai hijau, bawang putih dan bawang merah. Rasanya yang manis pedas gurih meresap dalam daging iga nan empuk. Cara memasaknya pun medium well, hingga saya masih bisa merasakan rasa manis alami dan warna merah muda dari dalam daging iganya. Jika Anda singgah di rumah makan ini, menu ini saya rekomendasikan untuk Anda coba.

Usai makan siang, rombongan kembali melanjutkan tur ke pusat Kota Solo. Perjalanan yang ditempuh relatif lebih cepat, kurang lebih 80 menit. Teriknya mentari membuat Solo terlihat terang benderang. Kami melewati Jalan Slamet Riyadi, salah satu jalan protokol di kota yang terkenal akan kulinernya yang khas seperti tongseng dan tengkleng ini. Ruas jalan ini dipenuhi pusat-pusat bisnis modern perkotaan seperti perkulakan elektronik, bank, sentra batik, pusat pemerintahan, serta merupakan akses menuju Keraton Kasunanan Surakarta.

 

[caption id="attachment_330377" align="aligncenter" width="576" caption="Pusat Grosir Solo. (joshualimyadi)"]

14034332441651862431
14034332441651862431
[/caption]

[caption id="attachment_330378" align="aligncenter" width="576" caption="Kain batik yang dijual di Pusat Grosir Solo. (joshualimyadi)"]

14034332721110241433
14034332721110241433
[/caption]

Bersama rombongan, saya mengunjungi Pusat Grosir Solo. Pusat perbelanjaan yang kerap disingkat PGS ini adalah surga berbelanja pakaian dengan harga terjangkau. Karena Solo merupakan kota batik, PGS juga menyediakan produk sandang batik. Segala jenis dan motif batik dapat Anda temukan di sini. PGS biasanya buka pada pukul 09:00-18:00 WIB pada hari Senin hingga Kamis, sedangkan pada hari Jumat hingga Minggu dan pada hari-hari libur nasional, jam tutupnya lebih lama yakni pukul 23:00 WIB.

Sementara yang lain tengah berbelanja batik, saya melihat beberapa orang rekan serombongan yang menumpang pada sebuah becak. Mereka yang antara lain Dzulfikar Al-A'la, Pendi Kuntoro dan Shulhan Rumaru hendak mengelilingi kawasan Keraton Kasunanan Surakarta yang gerbangnya berjarak hanya beberapa langkah dari PGS.

Jelajah Keraton

Saya tak mau ketinggalan menyusur pusat pemerintahan Solo pada masa lalu, tepatnya di Keraton Kasunanan Surakarta, sekaligus melihat peradaban yang semakin berkembang di keraton ini. Pusat perbelanjaan tradisional, kantor polisi, taman jajan, lapangan parkir, sekolah, hingga kampung batik, semua pusat-pusat aktivitas masyarakat ini mengelilingi Keraton yang tak lain merupakan pusat monarki pecahan Kerajaan Mataram ini. Dengan menumpang dua becak, saya bersama Adian Saputra dan Ratna Fadli menyisir kawasan Keraton berbekal dua kamera.

 

[caption id="attachment_330380" align="aligncenter" width="576" caption="Penulis tengah menumpang becak di Keraton Surakarta. (Fotografer: Adian Saputra)"]

1403434256122107132
1403434256122107132
[/caption]

 

[caption id="attachment_330379" align="aligncenter" width="576" caption="Supit urang yang kerap macet dekat Pasar Klewer. (joshualimyadi)"]

1403434219643502562
1403434219643502562
[/caption]

Mulat sarira angrasa wani. Berani berintrospeksi dan mawas diri, slogan itulah yang tertanam dalam jiwa setiap warga Solo, sama seperti semboyan kotanya. Masyarakatnya yang ramah dan santun melengkapi keberagaman harmonis yang mengakar kuat di tanah Solo. Mengitari alun-alun Keraton, saya mendengar bunyi permainan musik gamelan nan merdu yang menggugah telinga saya untuk terus mendengarnya. Saya menoleh ke arah alun-alun, menumbuhkan rasa bangga dalam hati bahwa seluruh keindahan budaya ini turut merajut Indonesia yang kuat dan merdeka hingga sekarang.

Keraton Kasunanan Surakarta dahulu dibangun oleh Pakoe Boewono II pada tahun 1745 Masehi sebagai akibat perpindahan keraton dari Kartosuro yang jaraknya kurang lebih 12 km dari lokasi Keraton Kasunanan saat ini. Keraton ini dilengkapi dengan galeri seni yang menyimpan beragam jenis benda-benda pusaka dengan nilai seni dan sejarah yang tinggi, misalnya artefak dan senjata. Letak keraton ini bersebelahan dengan Masjid Raya Keraton Surakarta.

Alun-alun Keraton sudah lewat, kini saatnya melewati supit urang, yakni sebuah lorong kecil arah masuk ke Kompleks Keraton Kasunanan Surakarta. Lorong ini terbilang sempit, tak jarang kendaraan yang berbondong-bondong melaluinya harus melaju tersendat. Memang, lorong ini kerap menjadi biang kemacetan. Muaranya tak lain dan tak bukan adalah Pasar Klewer, sebuah pasar tradisional ternama di Solo.

 

[caption id="attachment_330381" align="aligncenter" width="576" caption="Para guru SMP tengah menyaksikan langkah siswa-sisiwinya yang lulus ujian nasional. (joshualimyadi)"]

1403434409861599838
1403434409861599838
[/caption]

[caption id="attachment_330382" align="aligncenter" width="576" caption="Sepasang siswa-siswi tengah berjalan bak peragawan dan peragawati, hendak mengambil pengumuman kelulusan mereka di sebuah SMP dekat Keraton Surakarta. (joshualimyadi)"]

1403434457120366665
1403434457120366665
[/caption]

Laju becak kami hentikan setelah kami melihat sebuah fashion show digelar di sebuah SMP negeri. Para siswa berbeskap dan siswi berkebaya lenggak-lenggok perlahan menghampiri guru mereka untuk mengambil sebuah surat. Ternyata surat itu adalah pengumuman kelulusan ujian nasional yang belum lama digelar. Pemandangan ini sungguh sangat jarang terlihat di kota-kota besar seperti Jakarta. Biasanya, perayaan kelulusan dirayakan dengan cara negarif seperti corat-coret seragam sekolah. Lain halnya dengan kota budaya seperti Solo.

Seorang petugas kepolisian dari Polsek Pasar Kliwon, Sugeng Rudiatmo, kepada kami mengatakan, "Acara ini digelar pihak sekolah dalam rangka merayakan kelulusan para siswa-siswinya dengan cara yang positif. Mengingat lokasi sekolah ini berdekatan dengan Keraton Surakarta yang sangat kromo, hal ini bertujuan untuk mencegah cara-cara negatif merayakan kelulusan."

Sugeng juga menambahkan, pihaknya telah menyebar banyak petugas kepolisian untuk mengamankan pengumuman kelulusan di sekolah-sekolah yang letaknya berdekatan dengan keraton maupun sekitar Kecamatan Pasar Kliwon. Meski sekolah yang saat itu dijaganya baru pertama kali menyelenggarakan acara fashion show busana tradisional tersebut, sekolah tersebut akan menjadikannya tradisi yang digelar setiap tahunnya jelang pengumuman kelulusan.

[caption id="attachment_330383" align="aligncenter" width="576" caption="Penunjuk jalan di kawasan Kampung Batik Kauman. (joshualimyadi)"]

1403435257236508127
1403435257236508127
[/caption]

1403435300226374178
1403435300226374178

Keliling Kauman

Solo memiliki dua sentra kerajinan batik, antara lain di Laweyan dan Kauman. Setelah melihat fashion show sejenak di SMP itu, kami bertiga pun menuju sebuah kampung batik bernama Kauman. Kampung batik ini telah dikenal luas sejak zaman perpindahan Keraton Kartosuro ke Surakarta. Dahulu, kampung ini diisi oleh para ulama, penghulu tafsir anom hingga kaum.

Masyarakat kaum, umumnya disebut abdi dalem, mendapatkan latihan khusus dari Keraton untuk membuat beragam jenis batik mulai dari jarik dan sebagainya. Dengan kata lain, kaum yang hidup di Kampung Batik Kauman secara langsung mewarisi ilmu membatik dari Keraton, bahkan produk-produk yang dihasilkan di sana seringkali dipakai oleh pejabat-pejabat dalam Keraton, hingga batik yang dihasilkan abdi dalem disebut batik kaum, atau kauman. Hal ini mendasari pemberian nama "Kauman" pada kampung tersebut.

Ada dua sentra batik yang kami kunjungi, yakni batik tradisional di Batik Gunawan Setiawan, dan batik modern di Batik Kaoeman. Saat memasuki galeri Batik Gunawan Setiawan, kami disambut senyum ramah dari para pramuniaga. Kami pun dibolehkan melihat sendiri proses membatik di bagian belakang galeri. Proses membatiknya pun masih tradisional, menggunakan canting, malam dan pewarna alami dari kayu-kayuan seperti secang dan jambal.

 

[caption id="attachment_330387" align="aligncenter" width="576" caption="Para pembatik yang tengah membatik di Galeri Batik Gunawan Setiawan. (joshualimyadi)"]

14034360382080768256
14034360382080768256
[/caption]

Salah seorang pembatik kepada saya mengatakan, selembar kain batik membutuhkan waktu sekitar satu hingga dua pekan untuk selesai digambar. Itupun masih harus diwarnai dan dijemur. Selembar kain batik tulis dapat dibanderol minimal Rp. 700 ribu hingga Rp. 2 juta, tergantung kesulitan motif batiknya. Namun jangan ragu akan kualitasnya. Baik batik cap maupun batik tulis sama-sama akan tahan lama, tergantung cara pencucian dan penjemurannya. Sang pembatik menyarankan, untuk merawat sehelai kain batik, hendaknya untuk tidak menjemur kainnya dibawah sinar matahari langsung untuk mencegah pemudaran warna.

Harga batik yang dijual pada galeri Batik Gunawan Setiawan berkisar antara Rp. 70 ribu hingga Rp. 2 juta. Galeri ini turut menyediakan tas tangan dan dompet wanita yang dibuat dengan tangan, serta penganan seperti coklat dan dodol.

Melangkah ke sentra batik selanjutnya yakni Galeri Batik Kaoeman, suasana yang berbeda sedikit terasa dibanding anjungan sebelumnya yang kami kunjungi. Sementara rekan-rekan yang lain melihat-lihat, saya mencari sepasang batik bermotif sama yang hendak saya jadikan buah tangan untuk kekasih tercinta di Jakarta. Harga batik pasangan yang dijual di Batik Kaoeman cukup terjangkau, mulai dari Rp. 120.000,- hingga Rp. 580.000,- dan satu motif tersedia dalam beragam ukuran. Saya pun akhirnya membeli sepasang kemeja batik. Ada pula kemeja dan kaos yang dijual secara grosir, yang artinya Anda akan mendapatkan tiga potong pakaian batik dengan harga lebih terjangkau dibanding harga satuannya.

Berakhir di Stasiun Balapan

Beranjak dari kampung batik, saatnya kembali lagi ke PGS. Dalam perjalanan, saya melihat sebuah toko yang menjual atribut-atribut kampanye berupa kaos, kemeja, peci dan bros. Yang paling banyak diburu adalah kemeja kotak-kotak khas Joko Widodo, mantan Walikota Solo yang kini menjadi calon presiden RI. Satu potong kemeja tangan panjang dihargai Rp. 120 ribu. Menurut pedagang, warnanya dijamin tidak luntur dan nyaman dipakai. Turut dijual pula kaos polo berkerah dengan gambar Jokowi-Jusuf Kalla. Lekat benar sosok Jokowi pada benak dan ingatan mereka, baik saat masih menjadi orang nomor satu di Solo, maupun saat menjadi gubernur DKI Jakarta. Harapan mereka, Jokowi dapat memenangkan pemilihan umum presiden dengan hanya satu putaran saja, bahkan masyarakat Solo siap jika rekor jumlah suara lebih dari 90% untuk Jokowi akan terulang di Kota Solo saat pilpres digelar.

Terlepas dari betapa kentalnya wajah kota Solo dengan Jokowi saat ini, kota yang terkenal dengan Sungai Bengawan Solo-nya telah berubah menjadi kota modern berbasis budaya. Masyarakatnya masih tak ragu untuk bepergian dengan andong maupun becak, bangga menyandang batik saban hari, hingga banyak insan kelahiran Solo yang sukses menjadi pesohor negeri ini, termasuk Jokowi. Berbeda jauh saat kunjungan pertama saya sekitar enam tahun yang lalu. Kota Solo telah berbenah wajah. Kini, kota Solo yang dahulu gersang kini rindang dihiasi pepohonan, kota yang dulu sepi kini hiruk pikuk dengan masyarakatnya yang santun dan berbudaya, kota yang dulu bukan apa-apa kini menjadi sorotan dunia karena mantan walikotanya yang kini siap memimpin negeri.

Sebelum seluruh rangkaian tur kami akhiri dengan pulang ke kota masing-masing bersama kereta api malam, kami sempatkan untuk berbelanja penganan ringan nan lezat di Pasar Singosaren. Tak lengkap berwisata ke Solo tanpa menjinjing kardus atau tas plastik berisi oleh-oleh seperti keripik, kue basah, keripik belut, intip, hingga abon sapi pedas. Toko Era Jaya adalah pusatnya. Di sekitarnya pula terdapat kedai-kedai wedangan yang baru saja buka. Kalau di Jakarta sih, namanya kedai nasi kucing.

Menjelang petang, kami kembali ke guesthouse dengan semua oleh-oleh yang kami kumpulkan. Batik, makanan ringan, hingga pengalaman dengan kesan menyenangkan siap kami bawa dan bagikan bersama orang-orang tercinta, tak ketinggalan semua yang kami butuhkan untuk menulis reportase di Kompasiana. Kami kembali ke Guesthouse Griya Teratai, Mangkubumen, untuk berkemas dan check out.

Saya dan rekan-rekan kembali diantar menuju Stasiun Solo Balapan untuk pulang ke Jakarta dengan kereta api malam. Staf Deltomed, Agatha Nirbanawati, menyalami dan melepas kepulangan kami dengan penuh sukacita. Meski kami lelah berkeliling sepanjang hari, namun kami tak menyangkal rasa kehilangan akan momen dan kebersamaan yang tentunya memberi arti sepanjang tur Kompasiana-Deltomed selama dua hari belakangan. Pengetahuan, kebersamaan, dan kekeluargaan, adalah semua hal berharga yang saya kumpulkan selama tur, bukan semata-mata oleh-oleh atau wisatanya yang menjadi penting.

Beberapa menit lagi saya dan rekan-rekan akan meninggalkan Solo. Saat beberapa rekan Kompasianer lainnya tengah menikmati makan malam di stasiun, saya duduk lemas menunggu kereta yang hendak berhenti di peron lima. Air mata saya menetes berjatuhan, mengenang perjalanan penuh kesan selama dua hari.

Nang Stasiun Balapan, Kuto Solo sing dadi kenangan. Aku ninggal Solo, ra' troso netes peluh ning pipiku.

Kereta api malam Argo Dwipangga mengantarkan kami dari Stasiun Solo Balapan menuju Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, selama kurang lebih 9 jam dari pukul 19:25 WIB. Kami akhirnya tiba dengan selamat dan penuh syukur di Jakarta pada pukul 04:25 WIB dengan perhentian pertama di Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur. Adalah saya dan Pendi Kuntoro yang turun kereta lebih dulu.

Saya menghela nafas panjang saat meninggalkan Stasiun Jatinegara untuk diantar Pendi pulang, dengan membuncahnya rasa syukur di dada. Alhamdulillah. Tak lupa dari hati ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya untuk Kompasiana dan Deltomed yang telah memberikan saya kesempatan untuk mengunjungi Pabrik Deltomed di Wonogiri sekaligus wisata Kota Solo.

Kemudian bertanyalah saya dalam hati, kapankah gerangan saya akan tiba lagi di kota semangat Jawa ini? Semoga, Yang Maha Kuasa akan memberi saya kepanjangan umur dan kesempatan untuk bisa sowan lagi ke kota ini.

*** S E L E S A I ***

Baca juga tulisan Joshua tentang wisata Solo lainnya dengan klik di sini.

KETERANGAN:

    1. "Nang Stasiun Balapan, Kuto Solo sing dadi kenangan. Aku ninggal Solo, ra' troso netes peluh ning pipiku." (bahasa Jawa): Di Stasiun Balapan, Kota Solo yang jadi kenangan. Aku meninggalkan Solo, tanpa terasa menetes air mata di pipiku.
    1. "Sowan" (bahasa Jawa): berkunjung, bersilaturahim.

* * * * *

© Joshua Francis. All rights reserved.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun