Tak biasanya, suhu udara dingin menyelimuti seluruh penjuru Jogja. Dalam perangkat digital saya, tertera angka 21 derajat Celcius. Tidak terlalu ekstrim memang, namun dengan suhu seperti ini sudah cukup membuat AC mobil tidak perlu dinyalakan. Mungkin, suhu dingin ini terjadi karena pengaruh perubahan iklim atau karena supermoon yang sedang super-supernya.
Setelah selesai aktivitas pagi hingga hampir tengah malam ini, saya sengaja refreshing sejenak sembari menikmati suasana malam Jogja yang memang tidak pernah tertidur. Alun-alun Selatan Alun-alun Kidul, populer disingkat dengan Alkid) Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi pilihan yang saya jatuhkan pada kesempatan ini. Tidak mewah dan prestisius, tetapi udara terbuka seperti itu jauh lebih melegakan nafas saya jika dibanding dengan kafe tempat ngopi langganan saya yang biasanya sudah penuh dengan kepulan asap rokok.
Alih-alih mencari santapan malam, saya justru memarkir mobil di antara odong-odong (mobil-mobilan kayuh) yang bermahkotakan lampu LED warna-warni yang menyemarakkan keremangan Alkid. Mata saya berkeliaran memandang luasan area tersebut yang dipenuhi orang kurang kerjaan seperti saya. Saya dapat membayangkan, jika hari biasa saja suasana seramai ini apalagi pada saat liburan high season seperti lebaran kemarin. Jangankan mencari parkir mobil, pasti jalan yang melingkari lapangan kotak itu juga menjadi macet semacet jalanan ibukota.
Konon, menurut penuturan seorang teman yang memiliki usaha persewaan odong-odong di Alkid, dalam semalam beroperasi pada saat hari libur umum dia mampu meraup keuntungan hingga 2 juta rupiah. Fantastis! Karena Pegawai Negeri Sipil saja tidak akan menerima gaji 2 juta rupiah per hari. Namun, tentu saja momen seperti itu tidak akan datang setiap hari sepanjang bulan. Bisa-bisa saya memilih untuk berhenti sebagai jurnalis dan memilih menyediakan modal belasan hingga puluhan juta rupiah untuk membeli beberapa unit odong-odong lengkap dengan hiasan lampu dan sound system-nya. Tapi saya percaya, Tuhan sudah mengatur jalan rejeki untuk setiap umat-Nya. Pemilik odong-odong juga bekerja keras untuk meraih penghasilan tersebut.
Di seberang kiri dari arah saya memarkir mobil, terdapat sederet penjual makanan dan minuman yang khas tersedia di Alkid. Ada macam-macam roti dan jagung bakar, yang tidak pernah ketinggalan adalah wedang ronde. Minuman hangat aroma jahe dengan isian kolang-kaling, irisan roti, kacang goreng, dan moci bulat ini memang minuman klasik yang banyak dijumpai di sudut kota budaya ini. Membayangkan kehangatannya, saya pun tergoda dan memutuskan untuk keluar mobil dan memesan semangkuk minuman tersebut.
"Bu, wedang rondenipun setunggal njih!" (Bu, wedang rondenya satu ya!)
"Ngagem susu mboten Mas?" (Pakai susu tidak Mas?)
"Mboten Bu, biasa mawon." (Tidak Bu, biasa saja)
Sejenak menunggu sambil bersila di tikar yang digelar dipinggiran lapangan, datang juga wedang jahe pesanan saya. Karena memang udara dingin dan minuman masih panas, saya minum perlahan dengan sendok. Sesendok demi sesendok, sesekali saya berhenti sekedar membaca dan membalas pesan di telepon genggam saya. Namanya juga menikmati, tak apalah jika saya minum perlahan-lahan.
Lalu lalang pengunjung, diselingi dengan anak-anak muda yang mengamen dengan menyanyikan lagu-lagu yang bahkan bisa di-request, suara musik dari odong-odong yang terkadang bergenre house, terkadang dangdut koplo, benar-benar telah menyulap Alkid sehingga tidak terasa kalau ternyata waktu sudah hampir menuju pukul 11.oo malam WIB.
Wedang ronde saya hampir habis, ketika sepasang muda-mudi datang dan duduk hanya beberapa jengkal dari tempat saya. Mungkin, mereka mahasiswa dari luar kota, terdengar dari logat dan bahasa mereka. Asyik mengobrol berdua tentang apa saja, sementara saya sendirian dan kesepian kedinginan. Tak berapa lama, pesanan makanan dan minuman mereka tiba. Sebatang jagung bakar, dua mangkuk wedang ronde, dan sepiring entah apa lagi.
Terlihat mesra, percakapan hangat mereka sesekali diselingi dengan tawa dan sejurus kemudian hening. Sama sekali tak berniat mencuri-curi dengar karena memang jarak antara kami tak seberapa jauh, tampaknya mereka berdua adalah sepasang kekasih yang (mungkin) belum lama jadian dan sama-sama memiliki hobi memanjakan lidah. Bukan membuat geli lidah, namun menikmati berbagai makanan di berbagai tempat.
Mendengar obrolan mereka tentang makanan, perut saya seperti melakukan perlawanan, "Kenapa dari tadi, sebegitu lama duduk di sini cuma beli minuman doang sih.." seperti itu kalau perut saya bisa berkata-kata. Tanpa berfikir lama, saya memanggil pelayan dan memesan pisang-coklat-susu yang diperkirakan lumayan untuk membuat si perut 'tutup mulut'. sementara, pendengaran saya masih stay tune pada obrolan pasangan kekasih di sebelah tadi.
Makanan saya datang, dan saya bergegas menyantapnya. Sempat terhenti juga saat melihat pasangan kekasih tadi saling suap. Sayapun melanjutkan melahap makanan saya, menyuap diri sendiri.
Tanpa tersisa, makanan saya telah habis. Saya bangkit dan beranjak menuju gerobak penjual wedang ronde untuk membayar pesanan. Lalu dengan agak berat melangkah saya menuju mobil, kemudian meninggalkan area Alkid. 12.35 ketika saya melirik ke arloji saya. Artinya, itu masih 11.35 WIB, karena saya terbiasa set waktu dengan GMT +8.
Sepanjang perjalanan menuju rumah di daerah Jogja utara, masih tertancap di benak saya sosok sepasang kekasih yang gemar menghabiskan malam mereka dengan menyantap jajanan. Memiliki hobi yang sama, sama-sama mengasyikkan, mungkin dari sanalah benih-benih cinta mereka tumbuh. Pepatah Jawa mengatakan 'witing tresna jalaran saka kulina' yang berarti bahwa cinta mulai tumbuh karena terbiasa. Maka benarlah apa yang melanda pasangan kekasih muda-mudi itu, witing tresna jalaran saka kuliner!
Jogja, dini hari sebelum upacara Hari Pramuka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H