Mohon tunggu...
Gregory Josh Adrianto
Gregory Josh Adrianto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA Kolese Kanisius, Anggota ADK (Anak Desain Kanisius), Pengguna Aktif KRL

Desain menjadi bagian dari hidup saya, tidak luput dengan dunia K-POP yang kian mewarnai hidup saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lu Kira Ini Jalan Nenek Lo?

19 November 2024   13:08 Diperbarui: 19 November 2024   13:08 2567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ironi dari kejadian pagi itu begitu kentara. Sebuah gang kecil yang seharusnya menjadi alternatif untuk menghindari kemacetan justru berubah menjadi sumber masalah baru karena ulah satu orang yang memutuskan untuk memarkir mobil di tempat yang semestinya tidak ia gunakan. Tindakan ini mencerminkan kebodohan yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, mengambil jalan pintas tanpa memikirkan dampaknya terhadap orang lain. Ketika ruang publik disalahgunakan demi kenyamanan pribadi, kebodohan itu menjadi berlipat ganda, memunculkan dampak negatif yang tidak hanya memengaruhi pengendara lain tetapi juga menciptakan ketegangan sosial yang tidak perlu.  

Keegoisan seperti ini berakar pada pola pikir "ini milik saya" yang seringkali keliru diterapkan pada ruang publik. Jalan di depan rumah mungkin terasa seperti bagian dari properti pribadi, tetapi kenyataannya, jalan adalah fasilitas umum. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dengan jelas menyatakan bahwa jalan umum diperuntukkan bagi lalu lintas umum. Artinya, siapapun yang menggunakan jalan tersebut, termasuk pemilik rumah di sekitarnya, wajib memahami bahwa jalan itu tidak boleh dipakai untuk kepentingan pribadi yang menghambat hak pengguna lain. Sayangnya, banyak orang mengabaikan aturan ini dan hanya berpikir tentang kemudahan mereka sendiri.  

Ketidakpedulian terhadap undang-undang ini tidak hanya mencerminkan kebodohan tetapi juga kekurangan empati. Dalam kasus pagi itu, pemilik mobil yang dengan santai duduk di depan rumahnya menunjukkan sikap yang nyaris tidak peduli terhadap kesulitan yang ia sebabkan. Apakah ia benar-benar tidak menyadari dampaknya, ataukah ia hanya tidak peduli? Empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan tanpa itu, masyarakat tidak akan pernah bisa hidup harmonis. Tindakan kecil seperti memarkir mobil dengan benar sebenarnya dapat mencegah banyak konflik, tetapi ini hanya mungkin terjadi jika ada rasa empati.  

Apakah kita belum sepenuhnya berevolusi?

Sifat dasar manusia yang ingin menang sendiri, egois, dan sering kali tanpa empati dapat ditelusuri kembali ke naluri primitif kita untuk bertahan hidup. Dalam konteks evolusi, sifat ini mungkin pernah menjadi alat yang berguna untuk memastikan kelangsungan hidup individu dan kelompok kecil. Namun, dalam masyarakat modern yang semakin kompleks dan saling terhubung, sifat tersebut sering kali menjadi sumber konflik. Ketika seseorang lebih mengutamakan keuntungannya sendiri tanpa memikirkan dampaknya pada orang lain, hal itu bukan lagi tentang bertahan hidup, melainkan sebuah keegoisan yang merugikan harmoni sosial.  

Keegoisan ini sering kali muncul dari ketidakmampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Orang yang egois cenderung mengabaikan fakta bahwa tindakan mereka memiliki konsekuensi bagi orang lain. Ini adalah bentuk ketidakpedulian terhadap perasaan, kebutuhan, dan hak orang lain, yang pada akhirnya menciptakan lingkungan yang penuh dengan ketegangan. Dalam kasus parkir sembarangan, misalnya, pemilik kendaraan hanya melihat kenyamanan pribadinya tanpa mempertimbangkan bagaimana tindakannya dapat mengganggu lalu lintas atau memengaruhi jadwal orang lain.  

2246925816-673c2944ed6415770858e2a4.jpg
2246925816-673c2944ed6415770858e2a4.jpg
Mobil parkir di jalan umum | gridoto.com

Sifat ingin menang sendiri juga berakar pada keinginan manusia untuk merasa superior atau memiliki kontrol atas situasi. Ketika seseorang merasa bahwa kebutuhannya lebih penting daripada kebutuhan orang lain, mereka cenderung mengabaikan aturan dan norma. Ini bukan hanya masalah ego, tetapi juga refleksi dari kurangnya rasa tanggung jawab sosial. Padahal, di dalam masyarakat, setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan bersama. Sayangnya, tidak semua orang menyadari hal ini, sehingga muncullah konflik dan ketidakadilan.  

Kurangnya empati memperburuk keadaan. Tanpa empati, seseorang tidak akan mampu memahami atau merasakan penderitaan orang lain, bahkan jika mereka secara langsung menyebabkan penderitaan tersebut. Dalam dunia yang penuh dengan kecepatan dan kompetisi seperti sekarang, empati sering kali dianggap sebagai kelemahan daripada kekuatan. Padahal, empati adalah kunci untuk menciptakan hubungan yang lebih baik dan lingkungan yang lebih damai. Tanpa empati, orang akan terus memprioritaskan dirinya sendiri, bahkan jika itu berarti melukai orang lain secara emosional atau fisik.  

Jangan Lupa Bercermin

Sering kali kita begitu cepat menyalahkan orang lain atas tindakan besar yang merugikan, seperti korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan, tanpa menyadari bahwa akar dari tindakan tersebut seringkali berasal dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang kita abaikan. Misalnya, tindakan parkir sembarangan di jalan umum tampaknya sepele, tetapi jika dilihat lebih dalam, itu adalah cerminan dari perilaku yang sama dengan korupsi: mengambil sesuatu yang bukan hak kita demi kenyamanan pribadi. Jika kita sendiri masih sering melakukan hal-hal seremeh ini, bagaimana kita bisa dengan lantang mengutuk tindakan yang lebih besar?  

Ketika kita memarkir kendaraan sembarangan atau melanggar aturan kecil lainnya, kita sebenarnya sedang menunjukkan bahwa kita menganggap aturan itu bisa dilanggar jika menguntungkan kita. Ini adalah pola pikir yang sama dengan korupsi: mengabaikan norma untuk keuntungan pribadi. Bedanya hanya pada skala. Orang yang menyalahgunakan jalan umum dan orang yang menyalahgunakan anggaran publik sama-sama menunjukkan ketidakpedulian terhadap kepentingan bersama. Jika kita tidak bisa menjaga kedisiplinan dan tanggung jawab dalam hal kecil, kita sebenarnya tidak punya dasar moral untuk mengkritik mereka yang melakukan pelanggaran besar.  

Lebih jauh, perilaku kecil ini juga mencerminkan nilai-nilai yang kita pegang dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita terus membenarkan tindakan-tindakan sepele seperti parkir sembarangan, kita sedang membangun toleransi terhadap pelanggaran aturan. Toleransi ini bisa berkembang menjadi penerimaan terhadap pelanggaran yang lebih besar. Jika semua orang berpikir bahwa pelanggaran kecil bukan masalah, maka tidak ada yang akan menghentikan orang lain dari melakukan pelanggaran besar. Kita, sebagai bagian dari masyarakat, berperan dalam menciptakan budaya ini, bahkan jika kita tidak menyadarinya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun