Korupsi dalam dunia pendidikan adalah sebuah ironi yang mengguncang kepercayaan masyarakat. Tempat yang seharusnya menjadi ladang untuk menumbuhkan nilai-nilai luhur justru dicemari oleh praktik-praktik kotor. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu yang terlibat, tetapi juga oleh generasi mendatang. Kasus yang melibatkan mantan Rektor Universitas Lampung (Unila), Karomani, menjadi salah satu contoh nyata bagaimana korupsi dapat merusak integritas institusi pendidikan. Ironisnya, ketika seorang pemimpin akademik yang seharusnya menjadi teladan justru terlibat dalam praktik suap, hal ini memberikan pukulan berat bagi kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan.
Kasus ini mencuat ke permukaan pada Agustus 2022 ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Karomani. Dugaan suap terkait penerimaan mahasiswa baru di Unila ini langsung menjadi sorotan publik, mengingat posisi Karomani sebagai rektor yang seharusnya menjaga nilai-nilai integritas akademik. Barang bukti yang ditemukan, mulai dari uang tunai hingga emas senilai miliaran rupiah, menunjukkan betapa besarnya skandal ini dan semakin membuka mata publik tentang betapa seriusnya ancaman korupsi di lingkungan pendidikan. Lebih lanjut, keterlibatan pejabat tinggi Unila lainnya dan pihak swasta dalam kasus ini memperlihatkan betapa meluasnya praktik korupsi tersebut.
Selain dampak langsung pada individu yang terlibat, kasus ini juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses seleksi mahasiswa baru. Kecurangan semacam ini menimbulkan keraguan apakah seleksi masuk perguruan tinggi benar-benar adil dan berdasarkan meritokrasi. Akibat dari kasus ini sangat besar, tidak hanya merusak nama baik Universitas Lampung tetapi juga mencoreng citra dunia pendidikan secara keseluruhan. Untuk mencegah hal ini terulang, sistem pendidikan perlu diperbaiki dengan pengawasan yang lebih ketat dan aturan yang lebih jelas, sehingga dunia pendidikan bisa kembali menjadi tempat yang adil dan murni untuk belajar dan berkembang tanpa adanya praktik korupsi.
Meskipun penangkapan dan vonis terhadap Karomani merupakan langkah penting dalam penegakan hukum, mengandalkan pengawasan ketat dan penegakan aturan saja mungkin tidak cukup untuk mengatasi masalah korupsi di dunia pendidikan. Data dari Transparency International menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada tahun 2023 masih stagnan dengan skor 34, menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi tetap menjadi masalah besar di berbagai sektor, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif, yang mencakup reformasi budaya organisasi, pendidikan anti-korupsi sejak dini, serta sistem seleksi yang lebih transparan dan berbasis teknologi.
Lebih jauh lagi, keadilan dalam seleksi masuk perguruan tinggi bukan hanya soal memperketat pengawasan, tetapi juga tentang menciptakan sistem yang lebih adil. Menurut data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, persaingan untuk masuk ke fakultas-fakultas populer seperti Kedokteran sangat ketat, dengan tingkat penerimaan yang sangat rendah. Kondisi ini sering kali memicu praktik-praktik curang. Selain memperketat aturan, pemerintah dan institusi pendidikan perlu mengeksplorasi cara-cara baru untuk memperluas akses ke pendidikan tinggi. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kapasitas fakultas atau memperkenalkan jalur-jalur alternatif yang berbasis pada meritokrasi yang lebih adil dan transparan.
Namun, korupsi dalam pendidikan bukan hanya soal hukum dan sistem seleksi; ini juga masalah moral dan etika. Pendidikan seharusnya menjadi fondasi untuk menanamkan nilai-nilai integritas dan kejujuran, bukan tempat untuk mencontohkan perilaku yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut. Ketika seorang pemimpin pendidikan, seperti rektor, terlibat dalam korupsi, ini memberikan contoh buruk bagi mahasiswa dan masyarakat. Menurut penelitian dari UNESCO, korupsi di sektor pendidikan tidak hanya merusak kualitas pendidikan itu sendiri, tetapi juga berkontribusi pada penyebaran perilaku tidak etis di seluruh masyarakat. Oleh karena itu, pencegahan korupsi harus dimulai dengan memperkuat pendidikan karakter, memastikan bahwa nilai-nilai etika diajarkan dan diterapkan dengan konsisten di semua tingkat pendidikan.
Kasus korupsi yang melibatkan Karomani ini bisa diibaratkan seperti seorang dokter yang seharusnya menyembuhkan pasien, tetapi malah diam-diam meracuni mereka. Seorang rektor, seperti halnya seorang dokter, memiliki tanggung jawab besar untuk membimbing dan menjaga integritas lembaganya. Ketika seorang rektor justru terlibat dalam suap, itu sama saja dengan seorang dokter yang melanggar sumpahnya untuk menyelamatkan nyawa. Akibatnya, kepercayaan yang diberikan masyarakat hancur, dan reputasi universitas menjadi tercemar, seperti halnya seorang pasien yang tak lagi mempercayai dokter yang berkhianat.Selain itu, korupsi di dunia pendidikan bisa dianalogikan seperti rayap yang merusak fondasi sebuah rumah. Dari luar, rumah mungkin masih terlihat kokoh, tetapi di dalamnya, kerusakan sudah menyebar dan membuat bangunan itu rapuh. Jika tidak segera diberantas, rayap akan terus menggerogoti hingga akhirnya rumah runtuh. Begitu pula dengan korupsi; jika dibiarkan, ia akan mengikis nilai-nilai kejujuran dan integritas yang seharusnya menjadi dasar pendidikan, hingga akhirnya sistem pendidikan itu sendiri runtuh dan kehilangan kepercayaannya di mata publik. Kasus seperti ini menegaskan pentingnya upaya berkelanjutan untuk memperbaiki sistem dan memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi pilar utama dalam membangun masyarakat yang bersih dari korupsi.
Sebagai bangsa yang bercita-cita mewujudkan pendidikan yang adil, bermutu, dan bebas dari korupsi, kita tidak bisa mengabaikan kasus-kasus seperti yang melibatkan seorang guru besar. Ini adalah pengingat bahwa sistem pendidikan kita, yang seharusnya menjadi ajang terakhir dalam menanamkan nilai-nilai luhur, memerlukan perhatian dan perbaikan yang serius. Dengan menggabungkan penegakan hukum yang tegas, reformasi sistemik, dan pendidikan karakter yang kuat, kita bisa mencegah korupsi merusak generasi mendatang. Hanya dengan langkah-langkah ini, kita bisa memastikan bahwa pendidikan di Indonesia benar-benar menjadi fondasi bagi pembangunan bangsa yang berintegritas dan berkeadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H