Mohon tunggu...
DR. JOSÈ RIZAL JOESOEF
DR. JOSÈ RIZAL JOESOEF Mohon Tunggu... Ekonom, Penilai (Appraiser) dan Dosen Univ. Gajayana, Malang -

Assalamu'alaikum dan salam sejahtera. DR. JOSÈ RIZAL JOESOEF (JRJ) adalah Caleg DPRD KOTA MALANG dari DAPIL LOWOKWARU, diusung oleh PARTAI SOLIDARITAS INDONESIA (PSI). JRJ lahir di Kota Malang pada 4 Mei 1966, meraih Sarjana Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan dari Univ. Brawijaya (lulus 1993), Magister Sains Ilmu Ekonomi dari Univ. Gadjah Mada (lulus 1998), dan Doktor Ilmu Ekonomi dari Univ. Brawijaya (lulus 2010) ..

Selanjutnya

Tutup

Money

Situasi Saling Mengunci

9 Juli 2015   22:25 Diperbarui: 9 Juli 2015   22:25 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara umum, seseorang tidak dapat hidup di dalam kesendirian, me­la­inkan, disu­kai atau tidak, sering harus terlibat dalam interak­si so­sial (so­cial interaction) dengan orang lain. Apabila dua pihak bertemu, dan setiap pihak sadar akan keha­diran pi­hak lain yang menyebabkan peru­bahan-pe­ru­­bah­an dalam pera­sa­an mau­pun pi­kir­an pihak-pihak yang ber­sang­kutan, yang disebab­kan oleh, inter alia, suara berjalan, bau minyak wangi, bau ke­ri­ngat, dan se­bagainya (sehingga me­nen­tukan tin­dakan apa yang akan dilaku­kannya), maka inter­aksi sosial dimulai pa­da saat itu (Manski 2000). Mere­ka saling memandang, saling menegur dan berjabat ta­ngan, saling berbicara atau saling berdiam diri, apalagi saling berdebat atau berkelahi, adalah bentuk-bentuk interaksi sosial.

Di samping interaksi sosial, seseorang kadang terlibat dalam in­ter­aksi strategis (strategic interaction) dengan orang lain. Apabila dua orang—sebelum masing-masing me­nen­­tu­kan tin­­dak­an apa yang dipilihnya—sa­ling menebak-nebak apa yang sudah, se­dang, dan akan dila­kukan oleh pihak sa­tu terhadap pihak lainnya, saling menduga-duga apa yang disukai atau tidak disu­­kai oleh pihak satu terhadap pihak lainnya, dan saling membaca apa yang diharapkan atau tidak diharapkan oleh pihak satu terhadap pihak lainnya, maka interaksi strategis terjadi pada saat itu (van Damme & Weibull 1995).

Pendek kata, interaksi sosial bermakna pertemuan antar-individu, se­­dangkan inter­aksi strategis bermakna pendugaan meskipun tidak terjadi pertemuan. Di dalam interaksi sosial dimungkinkan terjadi interaksi strategis atau sa­ling men­duga, sedangkan di dalam interaksi strategis belum tentu terja­di pertemuan (in­ter­aksi sosial).

Baik di dalam interaksi sosial dan/atau interaksi strategis, kita pas­ti per­nah melihat atau merasakan situasi di mana setiap orang saling menung­gu dan saling mengharapkan orang lain supaya terlebih dahulu meng­ambil inisiatif untuk melakukan sesuatu. Contoh:

  1. Segera setelah menjelaskan materi kuliah kepada para maha­sis­wanya, sang dosen ingin mengajak diskusi dan mengawalinya de­ngan perta­nyaan: "Sudah jelas? Ada pertanyaan?" Yang terja­di ke­mu­­­dian adalah setiap maha­siswa menundukkan kepala se­ra­ya sa­ling mengharapkan mahasiswa lain menga­cung­kan jarinya un­tuk ber­tanya kepada dosen itu. Setiap maha­siswa mengharapkan te­man­­nya yang akan meng­acungkan jari telunjuk­nya, sedemikian rupa se­hing­­­ga akhirnya tidak ada satu pun maha­siswa yang bertanya dan semua mahasiswa menundukkan kepala.
  2. Ini cerita dua anak saya, Alif dan Nabila, yang harus ber­ko­or­di­na­si untuk mencuci piring pada setiap hari Minggu. Pada suatu ketika, Alif mengharapkan Na­bila un­tuk mencuci piring, dan pada saat yang sama Nabila meng­harapkan Alif untuk mencuci piring. Sede­mi­kian rupa sam­pai piring-piring kotor itu menumpuk di dapur.
  3. Suami dan istri terlibat adu mulut dan kemudian saling membisu. Ma­sing-masing tidak ingin berlama-lama dalam kebisuan itu. Kebi­su­an itu akan pecah jika salah satu pihak memulai percakapan. Tetapi, sang suami meng­harapkan istrinya untuk memulai perca­kap­an, dan pa­da saat yang sama sang istri mengharapkan suami­nya untuk mem­buka percakapan, sedemikian rupa sehingga sepa­sang suami-istri itu sela­ma be­be­rapa hari saling membisu tanpa kata-kata (speech­­­less).
  4. Saya dan anda secara spontan menjamu seorang tamu di resto­ran pada jam makan siang. Setelah perjamuan makan siang sele­sai, me­re­ka ber­­ti­ga ber­san­­­tai dulu, bercakap-cakap ngalor ngidul sambil meng­­habis­kan minuman masing-masing.­ Di da­lam suasana santai itu, saya meng­ha­­rap­kan anda se­ge­ra me­nu­ju ke kasir untuk mem­bayar makanan, pa­da saat yang sama anda meng­harap­kan saya untuk mem­ba­yar­nya, pada saat yang sama pula, tamu itu meng­­ha­rapkan saya atau anda untuk membayarnya. Sede­mikian rupa sampai setiap orang selama be­be­­­rapa saat terjebak di dalam sua­sana saling meng­harapkan orang lain yang membayar semua makanan.

Di samping situasi saling mengunci (interlocking) tersebut di atas, di antara kita mung­kin pernah terjebak, atau paling tidak melihat situasi saling tidak per­caya (mutually untrust) di mana satu pihak tidak mem­percayai pihak lain. Contoh:

  1. Setiap negara menyukai outcome di mana rivalnya melucuti senjata nu­klir­nya, semen­tara ia merasa perlu menyimpan sen­ja­ta nuklir­nya untuk ber­ja­ga-jaga (just in case). Ketika ia me­lucuti sen­jata semen­ta­ra rivalnya tetap menyiagakan senjata nuklir­nya, maka ia akan berada di bawah an­caman. Karena itu, apapun yang di­la­ku­kan rival­nya, setiap negara lebih suka me­nyi­a­ga­kan senjata nuklir­nya.
  2. Setiap negara menyukai outcome di mana negara lain tidak mem­proteksi pa­sar domestiknya, sementara ia sen­diri memproteksi pa­sar domes­tiknya. Ketika suatu negara meliberalisasikan pa­sar do­­­mes­tik­nya se­men­­­tara pasar domestik negara lain te­tap ter­pro­teksi, maka ia berada dalam posisi siap-siaga untuk ‘diserbu’ oleh produk-produk dari negara-negara lain. Karena itu, apapun yang akan di­la­ku­kan negara-negara lain, setiap negara lebih suka mem­pro­tek­si pa­sar domes­tiknya.
  3. Setiap orang menyukai outcome di mana orang lain tidak mem­bo­rong $, sementara ia sendiri menyimpan $ untuk berjaga-jaga. Ke­tika ia menjual $ sementara yang lain te­tap menimbun $, maka itu adalah tindakan keliru. Karena itu, apapun yang di­lakukan orang lain, setiap orang lebih suka menyimpan dan bahkan mem­borong $.
  4. Setiap orang menyukai outcome di mana orang lain tidak mem­buang sam­pah di sungai, sementara saya merasa berun­tung mem­bu­ang sam­pah di sungai. Ketika saya tidak mem­buang sampah di sungai sementara orang lain mem­buang sampah di sungai, maka itu tentu tidak adil. Karena itu, apapun yang dilakukan orang lain, setiap orang lebih beruntung mem­buang sampah di sungai.
  5. Setiap orang menyukai outcome di mana orang la­in tidak me­nyuap aparat birokrasi, sementara saya akan mendapatkan per­la­kuan isti­mewa jika me­­nyuap aparat itu. Ketika saya bertekad tidak menyu­ap sementara orang lain menyuap, maka tindakan itu adalah keli­ru. Karena itu, apapun yang dila­kukan orang lain, setiap orang le­bih berun­tung menyuap aparat birokrasi.

Situasi saling mengunci (inter­locking) dan/atau  situasi saling tak percaya (mutually untrust) yang digam­barkan di atas, menurut literatur ekono­mika, dinamakan masalah prisoner’s dilemma (Tullock 1967).

Bagaimanakah kita dapat keluar dari masalah prisoner’s dilemma? Saya akan men­jawab pertanyaan ini dengan memasukkan dimen­si waktu dalam interaksi sosial dan interaksi strategis tersebut di atas.

Sekarang, bayangkan dua orang yang masing-masing bernama Joni dan Rudi. Joni berin­teraksi dengan Rudi, di mana inter­ak­si itu bersifat one-shot, yaitu yang pertama dan yang terakhir. Tidak ada hari esok bagi Joni dan Rudi untuk berinteraksi lagi. Jika demikian, di dalam interaksi itu, Joni mung­kin ber­pi­kir: ”Buat apa saya sekarang harus berbaik-baik dengan Rudi, kalau besok, lu­sa, dan hari-hari setelahnya saya tidak lagi bertemu de­ngan dia?” Jika tidak ada hari esok di antara Joni dengan Rudi, tidak ada insentif bagi Joni untuk me­ngu­­bah reputasinya sehingga tampak lebih baik dari sebe­lumnya, atau mem­per­tahankan reputasi baik Joni (jika ada), supaya menge­sankan Rudi. Ka­lau perlu, Joni seka­rang mencurangi Rudi, sebab besok, lusa, dan hari-hari sete­lah­nya, Rudi sudah tidak ada lagi di hadapan Joni. Dipi­kirkan oleh se­orang game theo­rist: “If there is no tomorrow, why should I care!”

Apabila, di dalam suatu interaksinya, Joni dan Rudi sama-sama me­wu­jud­kan ide “No tomorrow, I don’t care,” maka seca­ra intuitif out­come da­­ri inter­ak­si itu dapat diduga, yaitu keduanya saling me­nya­kiti, di ma­na Joni mencurangi Rudi dan Rudi mencurangi Joni. Sekali lagi, di dalam in­teraksi one-shot—di mana tidak ada hari esok untuk in­ter­aksi berikutnya dan setelahnya, Joni tidak mempu­nyai insentif untuk mem­­ba­ngun repu­tasinya di satu sisi, dan Rudi tidak mempu­nyai in­sentif un­tuk mem­percayai apapun yang dilakukan atau diucapkan oleh Joni di sisi lain.

Bagaimana jika one-shot interaction diizinkan untuk berlangsung ber­ulang-ulang (repeated)? Di dalam repeated interaction, ada ruang bagi siapa­pun untuk mem­ba­­ngun atau mengubah reputasinya. Yang dimaksud reputasi adalah suatu kesan (im­age) atas diri pihak satu, yang menancap di dalam pikiran pihak lain. Ba­yang­­kan sekarang Joni ber­in­teraksi de­ngan Rudi, di mana interaksi itu ada­lah yang pertama dan be­sok, lusa, dan hari-hari berikutnya, Joni dan Rudi masih akan ber­in­ter­ak­si lagi. Jika demi­ki­an, Joni se­karang mungkin berpikir: ”Saya se­karang harus ber­baik-baik de­­ngan Rudi, ka­rena besok, lusa, dan ha­ri-hari sete­lah­nya, sa­ya akan bertemu lagi de­ngan dia?” Karena ada ha­ri esok, Joni seka­rang memiliki insentif untuk ber­baik-baik de­­ngan Rudi, atau Joni me­ngubah reputasinya supaya besok Rudi lebih ter­pukau oleh Joni.

Intinya adalah perlunya kita menyadari—dan bahkan mewas­padai—adanya no-tomorrow effect dalam interaksi sosial. Tahu tidaknya Joni akan akhir dari rentetan inter­ak­si sosialnya dengan Rudi, dapat mengubah peri­la­ku Joni terhadap Rudi. [Perubahan perilaku karena adanya no-tomorrow effect dapat dicontohkan sebagai beri­kut: (1) Sebuah tim sepakbola pada babak pertama berusaha bermain can­tik dengan memper­ton­ton­kan permainan menyerang yang indah dan mene­gangkan. Tetapi, ke­ti­­ka tim itu su­dah unggul di menit-menit awal babak kedua, maka men­jelang pertandingan ber­akhir, tim itu mung­kin akan mem­buang-bu­ang waktu dengan sering menendang bola ke luar lapangan; dan (2) Seorang petinju pada ronde-ronde awal mungkin menjaga reputasinya dengan memper­ton­ton­kan teknik tinju yang indah. Tetapi, pada ronde-ronde terakhir, dia akan memukul sekenanya atau bah­kan ngawur.]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun