Dear nona, Wanita yang membuatku terlena walaupun terkadang keahlian ngebutmu membuatku sedikit tersiksa...
Â
Taukah kamu ekses dari semua ini (Martabak yang semakin terkenal) adalah munculnya penganut martabakisme yang menghbiskan sebagian sel otaknya, berdebat tentang martabak.Â
Â
Beberapa mendebatkan apa nama yang lebih tepat, untuk sebuah martabak berbentuk bulat yang dipotong tengahnya, dengan kondimen kacang, coklat, atau keju. Sebagian bilang namanya terang bulan, sebagian lagi dengan dalil dan hukum permartabakan yang tak kalah sahih, tidak mau kalah dengan menyebutnya martabak manis,  ada juga yang  menyebut namanya martabak Bandung, entah apa yang menjadi dasar mereka untuk berdebat.
Masih kurang? Tidak nona mereka juga masih dengan kurang kerjaannya menghadirkan perdebatan tentang martabak mana yang paling enak, termasuk cara makan yang benar, untuk martabak asin. Kita sama-sama tau martabak di Sumatra sana disajikan dengan kuah, baik kuah kari ataupaun kuah cuka manis dengan irisan rawit dan bawang bombay, sementara di Jawa acar lebih dari cukup untuk menemani sepotong martabak asin.
Masih perlu kutambahi lagi nona, kelucuan ini?. Baiklah... aku pernah mendengar perdebatan tentang suku bangsa mana yang punya privilege sebagai penyaji martabak enak. Sebagian bilang orang Bangka karena nama martabak yang melegenda itu, sebagian lagi bilang orang Bandung karena disanalah jajanan dengan liarnya menggoda lidah, sebagian lagi berpendapat bahwa warga keturunan Arab atau India-lah yang memiliki privilege itu.
Dear nona, Wanita yang membuatku terlena walaupun terkadang keahlian ngebutmu membuatku sedikit tersiksa...
Selain itu sebagian manusia ngehek yang (sok) paham perpolitikan, ribut soal dua putra presiden yang julan martabak, persis seperti yang aku tulis diatas, Aji Mumpung katanya. Tapi aku bingung nona, masak iya itu namanya Aji Mumpung, lah bapak khan bapak mereka sendiri kenapa sewot. Mau berpose sambil makan martabak kek, atau mau berpose apapun dengan latar martabak, khan ndak dosa toh. Tidak ada yang salah, dengan mengajak orang tua sendiri merayakan keberhasilan kita (dalam hal ini jualan martabak) atau turut serta menjadikanya sebagai sarana promosi. Ahhh nona, hidup dijaman kalabendu, memang membuat manusia terpaksa berpikir serba ngehek, termasuk berburuk sangka mungkin saja duit rakyat dipakai untuk modal jualan martabak dan mengembangkan bisnis martabak. Duhhh... Sudzon, gag baik.
Dear nona, Wanita yang membuatku terlena walaupun terkadang keahlian ngebutmu membuatku sedikit tersiksa...
Maafkan ayangmu yang khilaf ini bercerita ngalor ngidul tentang martabak sampai ke pemahaman politik dan brand Aji Mumpung. Apalah ayangmu ini, mau sok-sokan membahas martabak dari sudut pandang kultur sosiologi dan politik Indonesia, gelar Sarjana Ekonomi saja harus ditebus dalam waktu tujuh tahun
Diantara perdebatan yang menguras habis oksigen itu, aku tidak mau menambah topik perdebatan lainya, dalam prespektifku yang bodho ini, pokoknya makan martabak itu enaknya sama kamu, saling menatap, saling menyuapi dengan tidak lupa mengajak Lala turut serta dalam berpersta (martabak), yang berakhir dengan kekahawatiran akan lemak jahat yang menghantui, lalu akhirnya satu porsi lagi kamu simpan untuk dijadikan sarapan keesokan hari.
Dear nona, Wanita yang membuatku terlena walaupun terkadang keahlian ngebutmu membuatku sedikit tersiksa...