Al-kalaf...
Aku terduduk menahahan getir, pahit dan kehancuran yang dengan terpaksa kusaksikan sendiri, semuanya nyata didepan mata. Semuanya hancur remuk dihantam ladam, lalu hilang dan kosong, habis.
Apa yang bisa kulakukan, saat jarak begitu semena-mena menginjak-injak harapanku bertemu dan menenangkan resah, menenangkan rindu yang meronta-ronta atau sekedar hadir untuk mengobati rasa jenuh dengan hubungan seperti ini, hubungan yang terlalu berat untuk dijalani hanya lewat sepersekian karakter media chat atau sebuah alat komunikasi buatan Alexander Graham Bell bernama telepon.
"It's just a past"Â katamu...
Itu bagimu, lalu bagaimana denganku, saat semua yang kuperjuangkan adalah kamu, masa depanku. Lewat tiap doa lewat tiap usaha yang mungkin tidak terlihat jelas apakah aku benar-benar berusaha, sampai akhirnya kamu tidak lagi menemukan "alasan berbahagia" dalam wujud manusia rapuh ini. Bahagia itu pilihan begitupun saat kita memilih untuk tidak berbahagia. Mungkin segalanya menjadi mudah bagiku karena darimu kutemukan sejuta alasan berbahagia yang selalu menyemangatiku, sementara aku tak punya itu, alasanmu untuk berbahagia
"Cinta itu rapuh, yang bisa kita lakukan hanya berusaha agar benda yang rapuh ini tidak rusak, saat kita berusaha menjaganya"
Begitu kata Steve Miller yang diperankan oleh Greg Kinnear dalam sebuah sinematografis Hollywood karya Juliane Ann Robinson lewat filmnya berjudul "The Last Song's", saat Milley Cyrus belum seliar saat ini.
Mungkin aku gagal menjaga benda rapuh itu...
Maafkan tiap kealpaan saat diriku benar-benar kamu butuhkan. Buat semua pelukan hangat yang paling mewah hanya kutitipkan lewat doa, atau gandengan tangan menjaga, yang paling nyata hanya bisa kukirimkan lewat karakter chat atau media sosial.
Dan untuk segala rasa sakit dan kosong yang tersisa aku tak punya cara lain selain mensyukurinya, seberat apapun itu. Pasti ada pelajaran ditiap luka, dan saat ini aku diajarkan melirih perih untuk luka ini, karena (saat ini) tak ada yang dapat kupelajari selain sakit yang terlalu. Entah nanti, entah kapan aku bisa dengan dewasa memahami luka.Â