Pada tahun 1997/1998 merupakan saat-saat krisis moneter, dimana mata uang rupiah berada pada titik terendah dan pada tahun tersebut merupakan era yang sangat penuh cobaan bagi para pelaku usaha "Korporasi" dalam menjalankan bisnisnya, baik itu korporasi manufaktur maupun korporasi jasa.
Berdasarkan pernyataan Sri Mulyani Menteri Keuangan RI pada saat menjadi pembicara kunci dalam acara Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD) bahwa pentingnya tata kelola sebuah perusahaan baik besar maupun menengah harus berbasis good corporate governance (GCG), Indonesian termasuk negara yang beberapa kali terimbas kondisi global yang kemudian mempengaruhi kinerja korporasi di Indonesia, sebagai contoh banyak perusahaan di Indonesia bangkrut pada saat krisis moneter tahun 1997-1998 yang disebabkan karena tidak memiliki tata kelola dengan baik, sehingga mudah terdampak.
Menurut penulis sendiri dalam melakukan tata kelola yang baik dalam suatu korporasi tak hanya berdasarkan aspek kekuatan produksi dalam arti alat kerja, sarana kerja, dan manusia maupun hubungan produksi dalam arti pembagian kerja, tata kelola kerja, dan kepemilikian kompetensi akan tetapi juga dipengaruhi oleh suprastruktur dalam arti pengaturan/regulasi dan politik hukum bisnis.
Hal tersebut dapat dilihat sejak reformasi para korporasi berusaha untuk melindungi kepentingan bisnisnya melalui aspek hukum dan ibaratnya para advokat merupakan instrumen penegak hukum sebagai main gate korporasi sebagai pelindung bisnisnya.
Dalam mengembangkan bisnisnya korporasi tidak terlepas dari adanya hubungan kerjasama dengan korporasi lain ataupun individu yang mana dituangkan dalam suatu perjanjian berdasarkan asas pacta sunt servanda. Dalam hubungan kerjasama bentuk perjanjian seringkali korporasi tidak terlepas dari yang namanya sengketa.
Penyelesian sengketa yang dikenal pada umumnya ialah litigasi atau jalur pengadilan, namun dalam melakukan usaha-usaha penyelesaian sengketa yang lebih mudah dan efisien banyak korporasi beranjak pada penyelesaian sengketa melalui jalur Arbitrase yang dianggap sebagai penyelesaian sengketa alternatif dan tentu saja sudah ada Undang-Undang yang melegitimasi pelaksanaanya yaitu UU Nomor 30 Tahun 1999.
Jika merujuk pada pendapat Prof. Subekti Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh arbiter dan jika merujuk pada Pasal 1 UU Nomor 30 Tahun 1999, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
Dalam hal pembuatan perjanjian tertulis perlunya para pihak memahami setiap klasula yang ada dan menuangkan setiap maksud dengan bahasa yang lugas dan tegas.Â
Biasanya dalam bab terakhir pembuatan perjanjian perlu membuat suatu klausula terkait penyelesaian sengketa apabila terdapat salah satu pihak yang terikat melakukan wanprestasi dan pada umumnya para korporasi yang memiliki arah politik hukum bisnis lebih mengutamakan arbitrase dalam penyelesaian sengketa. Apabila para pihak tidak membuat klausula penyelesaian sengketa dalam perjanjian, maka dapat membuat akta kompromis.
Alasan korporasi lebih mengkhendaki jalur arbitrase dibandingkan jalur litigasi sebagai jalur penyelesaian sengketa yang dihadapi:
1. Lebih Cepat/ Tidak boleh melebihi 180 hari