Mohon tunggu...
Joseph Fajar Simatupang
Joseph Fajar Simatupang Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Mahasiswa

Mahasiswa FH-UB angkatan 2017, sedang berusaha memikirkan skrispi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pasal Karet 27 UU ITE dan 104 KUHP

22 April 2020   21:24 Diperbarui: 22 April 2020   21:25 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disclaimer: Tulisan ini sebelumnya sudah pernah diposting oleh penulis melalui media blogger pada 6 September 2019, namun diposting kembali oleh penulis di media ini guna kepentingan penulis, Terimakasih.

Karetnya Pasal 27 ayat 3 UU ITE/ UU No.19 tahun 2016 Tentang Atas Perubahan UU No.11 tahun 2008 dan Pasal Makar 104 KUHP

Undang-undang merupakan suatu bentuk hukum yang dalam pembentukannya dilakukan oleh DPR sebagai badan legislatif dengan perstujuan bersama Presiden sebagai lembaga eksekutif.

Undang-undang yang selanjutnya merupakan bagian dari perundang-undangan memiliki kekuatan sebagai otoritas untuk mengatur  kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan negara Indonesia.

Dalam pembentukan dan pelaksanaan undang-undang sebagai hukum tentunya diperlukan suatu kehati-hatian agar apa yang terkandung didalam suatu hukum terebut mengandung nilai keadilan berdasarkan kebenaran dan kepastian.

Begitu halnya dengan UU No.19 tahun 2016 Tentang Atas Perubahan UU No.11 tahun 2008 atau yang akrabnya disebut dengan UU ITE pada pasal 27 ayat 3 jika ditelaah pasal tersebut merupakan pasal karet yang memberikan pengertian multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum didalamnya.

Karena pada hakikatnya pelaksaaan setiap pasal dalam suatu legislasi harus lebih cermat dengan akurasi yang maksimal, sehingga hukum yang dibuat secara efektif memberikan suatu keadilan publik, karena pada dasarnya keberlakuan pasal 27 ayat 3 UU ITE memberikan penekanan terhadap demokrasi yang dianut negara Indonesia yang sudah dilindungi pada pasal 28 UUDNRI 1945 berdasarkan konsep rule of law didalam teori negara hukum modern.

Kendati dalam pelaksanaan demokrasi memiliki limitasi tersendiri, namun kebebasan berekspresi melalui media/dokumen elektronik dengan limitasi demokrasi yang terkandung dalam pasal 28 J UUDNRI 1945 tidak memiliki korelasi khusus dengan kasus yang telah dijerat oleh pasal 27 ayat 3 UU ITE tersebut, misalnya kasus ikan asin, kasus Ahmad Dhani, kasus Prita Mulyasari dll.

Dalam hal perkembangannya sudah dilakukan revisi terhadap UU ITE namun dianggap tetap tidak memberikan keadilan berdasarkan kebenaran dan kepastian pasalnya hasil revisi hanya memberikan dampak perubahan pengurangan tuntutan hukum yang semula maksimal 6 tahun menjadi maksimal 4 tahun tetapi tidak memberikan perubahan terhadap substansi hukum tersebut.

Demikiannya pasal makar yang terkandung dalam pasal 104 KUHP juga dianggap masih bersifat multitafsir sehingga hukum yang dibuat tidak mengandung kepastian. Karena pada dasarnya makar harus berdasasrkan pada aanslag (dalam kitab hukum aslinya Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch –indie) atau upaya berupa serangan untuk menghilangkan nyawa atau kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud untuk menjadikan mereka tidak cakap dalam memerintah.

Hal tersebut dapat kita ketahui dalam suatu contoh kasus misalnya HS yang terjerat kasus makar yang selanjutnya diaggap bahwa pengenaan pasal 104 atau pasal makar terlalu dipaksakan. Karena ancaman yang dilakukan oleh HS untuk memenggal kepala presiden tidak disertai dengan upaya lantaran yang bersangkutan tidak memiliki power untuk melakukan perbuatan tersebut

Perbuatan tersebut terlebih lagi dianggap sebagai tindak pidana penghinaan, namun alasnya berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah mencabut pasal 134, 136 bis, dan pasal 137 mengenai penghinaan terhadap Presiden, kerap selama ini pasal tersebut dijadikan aparat sebagai perangkat untuk menangkap seseorang ketika memakai hak nya untuk membuat kritikan kepada presiden sebagai kepala negara yang dianggap telah menghina presiden, maka untuk kelanjutan pidana penghinaan harus melalui delik aduan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun