Pandemi yang sudah berlangsung lebih dari 1 Tahun berdampak langsung pada dunia pendidikan. Menteri pendidikan berpendapat bahwa jika kondisi pendidikan dibiarkan seperti ini terus, akan mengancam pembinaan generasi penerus bangsa. Tapi nyatanya tak banyak yang bisa dilakukan dengan terjangan pandemi yang datang secara tiba-tiba, yang tak memberikan kesempatan bagi setiap sektor untuk bersiap, yang ada hanya adaptasi perlahan yang bisa dilakukan.
Sebenarnya sudah ada usulan wacana kebijakan untuk membuka sekolah secara terbatas pada tahun ajaran baru, Â Juli mendatang. Sebelumnya pun ada kebijakan untuk menolong para pelajar dengan dibuatnya kurikulum baru yang lebih disederhanakan. Kurikulum ini dibuat agar pembelajaran dilaksanakan lebih mengacu pada esensi setiap mata pelajaran, agar lebih sederhana. Hal ini juga diperuntukan agar orang tua lebih bisa mengikuti pembelajaran yang dilakukan anak.
PJJ atau pembelajaran dari rumah yang saat ini masih dilakukan sebenarnya membukakan mata kita. Kurikulum yang selama ini dipakai dalam pembelajaran di sekolah ternyata sudah terlalu memberatkan pelajar dan juga guru. Â Beban berat itu kali ini ditambah lagi saat adaptasi penggunaan teknologi dengan segala keterbatasannya.
Orang tua juga sedikit banyak merasakan masalah yang hampir sama saat harus mengajari atau mengawasi anaknya yang sedang belajar di rumah. Selama ini orang tua banyak yang protes ke pihak sekolah saat merasa anaknya tak diperlakukan sesuai harapan. Padahal jika dilihat lagi, guru mungkin tak bisa melakukan sesuai yang diharapkan orang tua, mengingat ada puluhan anak di satu kelas yang harus 'dilayani' guru. Di kondisi seperti inilah yang akhirnya bisa merasakan bagaimana susahnya mengajar anak. Kalau gampang, mengapa tak semua orang saja jadi guru?
Sebenarnya guru pun tak bisa berbuat banyak, karena tugas guru hanyalah mengajar sesuai kurikulum yang ada. Guru mengajar sesuai buku paket/modul yang dibuat sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Â Jadi jika ada harapan agar guru bisa lebih dengan dengan masing-masing murid dan lebih banyak berinteraksi, sepertinya sangat sulit bagi guru jika masih menerapkan kurikulum yang ada. Hal ini juga sebenarnya bisa menjadi pelajaran yang diambil oleh para orang tua, agar ikut campur juga dalam pendidikan anak.
Mendengar hal ini mungkin banyak orang tua yang kuatir dan kewalahan. Kebanyakan orang tua langsung menghindar saat pertama kali mendengar tentang mengambil bagian dalam pendidikan, banyak yang beralasan keterbatasan pengetahuan yang mereka miliki. Tapi sebenarnya pendidikan dan pembelajaran tak hanya merujuk pada materi pembelajaran seperti matematika, biologi, atau geografi.
Pembelajaran pendidikan yang identik dengan pelajaran di sekolah seperti mempersempit arti dari pendidikan itu sendiri. Malahan arti pendidikan itu sendiri sudah bergeser jika hanya mematok pada teori-teori sains semata. Sementara pendidikan itu sendiri memiliki esensi atau arti yang mendasar.
Mengenal nilai
Pendidikan yang sesungguhnya adalah mengenali nilai-nilai yang benar. Seperti fungsinya, keluarga adalah lingkungan yang menjadi tempat pendidikan pertama bagi seorang anak. Tak hanya dari orang tua/keluarga, lingkungan sekolah juga berfungsi untuk penanaman dan penerapan nilai.
Nilai-nilai seperti menghormati orang yang lebih tua, saling menyayangi, rajin, kesopanan, dll, menjadi sesuatu hal yang harus terus dilatih dan diterapkan di sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Mengenal diri
Sebenarnya ada sesuatu yang lebih penting dari sekedar mengenal dan menguasai ilmu pengetahuan, yaitu mengenali diri. Seharusnya keluarga dan sekolah difungsikan untuk menghantarkan setiap anak untuk dapat mengenali dirinya. Â Pendidikan formal di sekolah yang diterima murid, jika digambarkan sebagai apa yang bisa dilakukan, dengan mengajarkan berbagi teori dan ilmu pengetahuan. Sedangkan banyak anak yang akhirnya kebingungan saat selesai sekolah atau kuliah, apa yang harus mereka lakukan.
Pada akhirnya, yang sekarang dilakukan adalah para murid diperkenalkan terlebih dahulu kepada ilmu pengetahuan, sedangkan mereka belum kenal siapa diri mereka. Ibaratnya kamu diberikan pengetahuan untuk memakai sebuah laptop, tapi kamu tidak memiliki laptop. Mengapa saya tidak memberikan laptop terlebih dahulu baru mengajari cara menggunakannya? Saat laptop sudah ada, saya akan mengajari ulang kamu, karena saat saya memberi kamu teori, kamu belum terbayang apa saja isi laptop itu.
Membantu seorang anak untuk mengenali dan memahami dirinya terlebih dahulu akan lebih baik, karena pada akhirnya saat seseorang yang nantinya mulai tahu siapa dirinya dan apa potensi atau bidang pekerjaan nya selepas sekolah, orang itu cenderung belajar lagi dari awal, karena sudah lupa dengan pelajarannya di sekolah.
Mengenal sekitar dan saling membantu
Saat kita sudah bisa mengenal diri sendiri, adanya kecenderungan mempunyai pendapat pribadi. Tugas keluarga dan guru di sekolah adalah mencoba untuk memberikan kesempatan setiap anak untuk mengungkapkan pendapat dan mengarahkannya.
Kejelian seorang anak untuk dapat melihat suatu masalah dan persoalan dan menyatakan pendapat untuk menilai menurut pengamatannya, yang harus terus didorong dan diarahkan. Saat seorang anak sudah terlatih untuk jeli melihat permasalahan yang ada di sekitarnya, mereka akan memilki keamampuan dan kemauan untuk peduli dengan kondisi di sekitarnya, yang mungkin saja sedang tak baik-baik saja, dan memerlukan keterlibatan mereka untuk dapat menyelesaikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H