Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 8 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Hukum Pidana Baru: Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum (1)

12 Juni 2024   11:53 Diperbarui: 12 Juni 2024   13:34 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Artikel kali ini akan menuangkan tentang tindak pidana terhadap ketertiban umum. Dalam UU 1/2023 atau KUHPB, tindak pidana terhadap ketertiban umum diatur dari pasal 234 sampai dengan pasal 277. Artinya, ada 43 pasal yang mengatur tentang perbuatan yang dapat dikenakan pidana dalam spektrum ketertiban umum. Dan mengingat ada begitu banyak substansi daripada kamar pidana terhadap ketertiban umum ini, maka topik ini akan dibagi ke beberapa artikel.Tapi, apa yang dimaksud dengan ketertiban umum?

Tidak ada kepastian makna tentang apa yang dimaksud dengan ketertiban umum, sebagaimana kepastian tersebut datang dari definisi, semisal 'ketertiban umum adalah bla bla bla' dan tertuang jelas sekurangnya pada pasal 1 undang-undang tertentu. Hal ini menyebabkan orang dapat menginterpretasikan ketertiban dengan dinamis. Kasar kata, sesuka orang saja mengartikan apa itu ketertiban umum tanpa ada batasan konkret. Namun, apa benar demikian?

Naskah Akademik RUU-KUHP

Merujuk pada naskah akademik RUU-KUHP pada tahun 2015, tindak pidana yang terkait dengan ketertiban umum dalam KUHP lama masih relevan, sehingga norma dalam KUHP Baru dimodifikasi sekaligus dimutakirkan. Termasuk juga, memisahkan delik menyangkut kehidupan beragama, penambahan aturan tentang penyiaran berita.

Rasio-legis yang diberikan dalam hal pemutakiran norma tindak pidana ini adalah bahwa pasal-pasal KUHP lama dianggap opresif dan menganggap bahwa beberapa ekspresi masyarakat merupakan tindakan oposisi terhadap pemerintah. Namun kembali lagi, tidak ada definisi konkret terkait ketertiban umum. Dan dengan demikian, dibutuhkan interpretasi.

Setidaknya, ada 14 metode interpretasi yang dapat digunakan dalam memaknai hukum, serta tergantung juga dari jenis hukumnya sendiri. Dalam pidana, mengingat adanya asas legalitas dan pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi:

"tidak ada satu perbuatanpun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan."

"dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang menggunakan analogi."

Maka, otomatis penekanan penggunaan interpretasi dalam menemukan makna 'ketertiban umum' merujuk pada interpretasi teleologis yang menekankan pada kebutuhan masyarakat, sekurangnya interpretasi gramatikal yang intinya menekankan apa yang tertulis, atau sistematis yang intinya bicara tentang keterkaitan tentang peraturan perundangan, disesuaikan dengan kebutuhannya.

Oleh karena itu, dengan memaknai rumusan pasal-pasal yang ditujukan dan dimaksudkan dalam tindak pidana ini, dapat disimpulkan suatu definisi sementara. Dalam mencapai definisi tersebut, maka perlu diketahui tindak-tindak pidana apa yang ada dalam spektrum ketertiban umum ini. Tindak pidana terhadap ketertiban umum dibagi menjadi tujuh bagian yang meliputi:

Penghinaan terhadap simbol negara, pemerintah atau lembaga negara, dan golongan penduduk.

Diatur dari pasal 234 sampai dengan pasal 245, spektrum tindak pidana terbagi menjadi beberapa lingkup kecil yang meliputi Penodaan terhadap bendera negara, lambang negara, dan lagu kebangsaan (234-239), Penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara (240-241), Penghinaan terhadap golongan penduduk (242-243), Diskriminasi ras dan etnis (244-245).

Penghasutan dan Penawaran untuk melakukan tindak pidana.

terbagi menjadi dua paragraf, yang meliputi penghasutan untuk melawan penguasa umum (246-248)  dan penawaran melakukan tindak pidana (249-252).

Tidak melaporkan atau memberitahukan adanya orang yang hendak melakukan tindak pidana.

terbagi menjadi dua paragraf, meliputi tidak melaporkan adanya pemufakatan jahat (253), dan tidak memberitahukan kepada pejabat yang berwenang adanya orang yang berencana melakukan tindak pidana (254).

Gangguan terhadap ketertiban dan ketentraman umum.

terbagi menjadi sembilan paragraf, yang meliputi penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, demonstrasi (256), memasuki rumah dan pekarangan orang lain (257), penyadapan (258-259). memaksa masuk kantor pemerintah (260), turut serta dalam organisasi yang bertujuan melakukan tindak pidana (261), melakukan kekerasan terhadap orang atau barang secara bersama-sama di muka umum (262), penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong (263-264), gangguan terhadap ketentraman lingkungan dan rapat umum (265-267), gangguan terhadap pemakaman dan jenazah (268-271).

Penggunaan ijazah atau gelar akademik palsu.

diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 272.

Tindak pidana perizinan.

terbagi menjadi empat paragraf, yaitu gadai tanpa izin (273), penyelenggaraan pesta atau keramaian (274), menjalankan pekerjaan tanpa izin atau melampaui kewenangan (275), pemberian atau penerimaan barang kepada dan dari narapidana (276).

Gangguan terhadap tanah, benih, tanaman, dan pekarangan.

Diatur pada pasal 277 saja.

Dari bagian-bagian tersebut, dapat diketahui bahwa rasio-legis yang menjadi pondasi adanya 'ketertiban umum' adalah keteraturan masyarakat dibawah hukum nasional dalam lingkungan kehidupan bersama demi mencapai kepentingan umum, setidaknya itu yang dapat digunakan sementara, kecuali ada peraturan perundangan, lebih konkretnya dalam hukum pidana itu sendiri ada bunyi yang menyatakan "ketertiban umum adalah...".

Putusan MK

Mahkamah Konstitusi dalam kapasitasnya sebagai The Final Interpreter of the Constitution juga dapat menjadi pertimbangan terkait pencarian makna 'ketertiban umum' dalam hukum pidana. Hal ini dikarenakan MK memiliki kewenangan tertinggi yang setiap interpretasinya harus dianggap sah dan meyakinkan sebagai interpretasi yang dapat digunakan dalam segala macam peraturan perundangan.

Dalam kapasitas MK untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, dapat ditemukan bahwa 'ketertiban umum' tertuang dalam pasal 28J ayat 2 yang berbunyi:

"dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."

Beberapa putusan yang didasarkan pasal ini kemudian beragam, mulai dari HAM, ITE, perniagaan, pidana semacam pornografi, dan sebagainya, yang cukup mudah untuk dicari secara daring. Namun penulis sendiri belum menemukan bahwa ketertiban umum merupakan hal yang dapat berdiri sendiri, melainkan selalu melebur dengan hal lain seperti pertimbangan moral, nilai agama, dan keamanan, walaupun rumusan deliknya menyiratkan pilihan konteks yang dapat dipertimbangkan (nilai agama bisa berdiri sendiri, begitu juga nilai moral dan sebagainya.)

Adapun putusan yang paling konkret terkait dengan ketertiban umum, sebisa penulis cari, adalah putusan MK nomor 36/PUU-XX/2022 yang sedang membahas tentang ITE. Di dalam fundamentum petendi, ketertiban umum didefinisikan oleh para pemohon dengan bunyi:

"bahwa mengenai ketertiban umum, pembatasan untuk menjamin ketertiban umum perlu diletakkan dalam konteks atau substansi yang dibatasinya. Pembatasan dengan alasan ketertiban umum hanya dapat dilakukan bila memang ada situasi atau tindakan yang berpotensi menimbulkan suatu ancaman serius bagi khayalak umum dan bukan digunakan untuk melindungi kepentingan politik pemerintah."

Permohonan ditolak seluruhnya dikarenakan menurut MK pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum, dan hal tersebut wajar.  

Dan hal ini menjadi menarik karena dalam kenyataan terdapat contoh kasus yang dapat ditarik menggunakan hal ini. Semisal saja, penyerangan terhadap pegawai perusahaan tertentu, atas nama negara tertentu. Apa pelaku penyerangan tersebut juga dapat dikategorikan sebagai pelaku yang mengganggu ketertiban umum? penulis serahkan jawabannya pada pembaca.

Demikianlah sedikit tentang tindak pidana terhadap ketertiban umum. Melihat dari banyaknya spektrum yang diatur, maka agar lebih 'santai', artikel tentang tindak pidana ini akan dibelah menjadi beberapa bagian. Penulis sendiri belum tau mau bagi menjadi beberapa bagian, namun yang jelas, artikel kali ini sudah cukup memberikan sketsa umum tentang tindak pidana terhadap ketertiban umum. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.

Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

Acuan:

KUHPB; Naskah Akademik RUU KUHP, putusan MK nomor 36/PUU-XX/2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun