Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 8 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Pidana Baru: Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan (3): Pidana Mati

29 Mei 2024   18:33 Diperbarui: 29 Mei 2024   18:42 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada artikel Hukum Pidana Baru: Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan (2), telah tertuang bahwa pidana memiliki beberapa tiga spektrum utama yang kemudian memiliki jenis-jenis pidana. Spektrum pidana pokok memiliki setidaknya lima jenis pidana, spektrum pidana tambahan memiliki setidaknya enam jenis pidana, dan yang khusus disesuaikan dengan peraturan perundangan yang mengaturnya. Namun, ada satu jenis pidana yang layak untuk dibahas tersendiri, yaitu pidana mati.

Dalam KUHPB, pidana mati diatur dalam pasal 98 sampai dengan pasal 102. Pasal 98 sendiri berbunyi:

"Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat."

Kemudian, pada Penjelasan pasal 98 tersebut ada tertuang:

"Pidana mati tidak terdapat dalam stelsel pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana penjara seumur hidup."

Terkait dengan stelsel pidana pokok, maksud sangat sederhananya adalah lima pidana pokok yang sudah dijabarkan sebelumnya, walaupun bila dijabarkan dapat berdiri masing-masing menjadi setidaknya satu artikel, dan menjadi tidak santai karena akan masuk ke materi teoretis dan filosofis terhadap mengapa suatu tindakan dipilih sebagai suatu bentuk pidana. Kemudian, dari norma yang tertuang tersebut, menyiratkan bahwa sebisa mungkin tidak dilakukan pidana mati.

Bila melihat dalam penjelasannya, dikatakan bahwa pelaksanaan pidana mati dengan cara menembak terpidana adalah cara paling manusiawi, hingga kemudian disesuaikan dengan perkembangan zaman. Hal ini menjadi menarik, karena dengan demikian menembak seseorang hingga mati lebih manusiawi dari menyuntik euthanasia kepada seseorang tanpa menyebabkan rasa sakit, sekurangnya dari ditembak mati.

Kemudian, pasal 99 bicara tentang bagaimana pidana mati dapat diberlakukan. Bila grasi ditolak presiden, terdakwa baru kemudian dapat dipidana mati. Pelaksanaan pidana mati dilakukan secara tertutup, dan dilakukan dengan cara ditembak atau cara lain yang ditentukan oleh undang-undang.

Bila dilakukan terhadap terdakwa yang meliputi wanita hamil, Perempuan yang sedang menyusui bayi, atau orang sakit jiwa, maka pelaksanaan pidana mati dilakukan hingga keadaan mereka kembali normal, yaitu ketika wanita tersebut sudah melahirkan, Perempuan tersebut tidak lagi menyusui bayi, atau orang sakit jiwa itu sembuh.

Dalam pemberian putusan hakim terkait pidana mati, maka pidana mati harus dilakukan dengan mempertimbangkan hal meliputi:

  • Rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri;
  • Peran terdakwa dalam tindak pidana.

Kemudian, pengurangan terhadap tuntutan, bahkan setelah vonnis juga dapat dilakukan karena penerapan hukuman mati tersebut memiliki masa percobaan setidaknya selama 10 tahun, dan apabila terpidana dinilai menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, maka hukuman mati tersebut dapat berubah menjadi pidana seumur hidup. Apabila dalam masa percobaan ternyata tidak terlihat sikap dan perbuatan terpuji, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah jaksa agung.

Dari sini, dapat muncul suatu pertanyaan sederhana. Mana yang lebih manusiawi dan lebih etis, mempidana mati seseorang tanpa membuat orang itu merasa menderita, atau membuat seseorang merasa menderita, hingga memilih ingin mati? jawabannya penulis serahkan pada pembaca. Yang jelas, berdasarkan putusan hukuman mati seseorang, pidana mati terhadap terpidana kemudian menjadi hal yang mutlak menjadi kebijaksanaan hakim dan dilakukan tanpa tenggang waktu kedaluwarsa.

Adapun berdasarkan KUHPB, setidaknya bentuk perbuatan yang dapat diancam pidana mati meliputi tindak pidana makar, tindakan pada waktu perang, pembunuhan berencana, pencurian dengan kekerasan menyebabkan Luka Berat atau matinya orang, tindak pidana penerbangan, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, terorisme dan narkotika, serta bila ada tindak pidana lain yang mungkin diatur diluar KUHPB, atau yang mungkin terlewat oleh penulis.

Kemudian, dalam mempertimbangkan dasar penjatuhan hukuman mati, banyak yang dapat dilihat dari yuriprudensi Mahkamah Agung, dari dasar alasan yang sangat ringan dengan pendekatan lex talionis (mata balas mata, karena membunuh maka layak dihukum mati) sampai pendekatan yang begitu mendalam hingga putusan hakim tersebut dapat mencapai 700an halaman.

Masih terkait dengan pidana mati, kasus yang cukup terkenal di publik adalah kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh pejabat tinggi di salah satu Alat Negara terhadap anak buahnya sendiri, mengakibatkan dirinya kemudian divonnis hukuman mati, kemudian bandingnya sempat ditolak, dan kemudian diterima dan vonisnya berubah menjadi seumur hidup.

Terlepas dari kontroversi yang pasti diketahui oleh publik yang mengikuti, dalam kedua yurisprudensi tersebut, dapat ditemukan beberapa alasan penting yang mendasari pemberian pidana mati dan dapat ditemukan dalam yurisprudensi kasus tersebut, adalah meliputi:

  • Asas Ultimum Remedium, dimana pidana mati menjadi pilihan terakhir
  • Perlindungan Hak Asasi Manusia, dikarenakan salah satu hak paling krusial dalam kajian Hak Asasi Manusia adalah hak untuk hidup.
  • Tidak ada bukti konkret hukuman mati dapat mengurangi angka kejahatan.
  • Butuhnya prinsip kriminalisasi yang sangat ketat.

Demikianlah sedikit tentang pidana mati. Artikel ini termasuk artikel yang sangat singkat, selain karena kekurangan penulis juga karena kesederhanaan. Sebenarnya ada banyak yang dapat dikaji dari perihal pidana mati, dari segi teoretis, historis, penitensier, implementasi dan sebagainya, namun untuk menjaga artikel tetap santai dan tidak terlalu rumit bahkan bagi penulis sendiri, maka penulis harus akhiri sampai disini.

Bagaimanapun juga, kadang lebih baik sedikit memahami daripada banyak mengetahui. Setidaknya, artikel sudah sedikit menjelaskan bahwa pidana mati merupakan pidana yang diatur khusus dan bersifat alternatif dalam KUHPB itu sendiri. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.

Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

Acuan:

KUHPB.

Beberapa yurisprudensi terkait pidana mati. Diakses dari situs Mahkamah Agung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun