Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 7 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Pidana Baru: Ruang Lingkup

18 Mei 2024   12:44 Diperbarui: 18 Mei 2024   12:47 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ruang lingkup berlakunya ketentuan KUHPB diatur dalam Bab I. secara sederhana, ruang lingkup yang dimaksud dapat dibagi menjadi menurut waktu (locus) dan menurut tempat (tempus). Secara teoretis, kedua hal ini merupakan hal paling fundamental dalam menentukan suatu peristiwa hukum yang juga terkait dengan peristiwa pidana. Perlu ditegaskan bahwa pemakaian locus dan tempus dapat berdiri sendiri sehingga tanpa adanya delik (locus delicti atau tempus delicti) pemakaian kedua terminologi itu tetap tepat.

Ruang lingkup pidana menurut waktu terbagi menjadi 3 pasal utama, dan dibedakan dengan Waktu Tindak Pidana yang tertuang pada pasal 10. Adapun ruang lingkup pidana menurut waktu terwujud berdasarkan beberapa pondasi yang meliputi:

  • Asas legalitas interpretative. (pasal 1 dan pasal 2)
  • Perubahan Peraturan Perundangan (pasal 3)

Ruang lingkup menurut tempat dibagi menjadi beberapa spektrum, meliputi:

  • Asas wilayah atau territorial (pasal 4)
  • Asas perlindungan dan asas nasional pasif (pasal 5)
  • Asas universal (pasal 6 dan pasal 7)
  • Asas nasional aktif (pasal 8)

Dalam bab yang sama, tertuang juga pengecualian serta ruang lingkup berdasarkan waktu tindak pidana dan tempat tindak pidana.

Menurut Waktu

Menurut waktu yang dimaksud merujuk pada dua koridor yang berdasarkan prinsip utama hukum pidana, yaitu asas legalitas. Mengapa asas legalitas dimasukkan dalam bagian menurut waktu? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca. Yang jelas, asas legalitas yang mendasari hukum pidana disini berbeda dengan asas legalitas yang dahulu mengendap dalam KUHP lama.

KUHP baru ini meletakkan asas legalitas memberikan batasan terhadap penggunaan analogi. Secara teoretis, analogi tidak boleh diterapkan dalam Pidana Indonesia yang mengedepankan prinsip lex certa, dimana hukum itu harus pasti dan menyebabkan penerapan norma dalam kenyataan harus sama dengan bunyi peraturan perundangan.

KUHP baru ini kemudian dengan konkret menerangkan bahwa analogi tidak dapat dilakukan sepanjang kejadian atau peristiwa tersebut tidak diatur atau tidak disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang dan peraturan daerah. Hal ini menyebabkan suatu perbuatan yang mungkin dinyatakan sebagai suatu perbuatan pidana di suatu daerah dilakukan secara adat, atau dalam bahasa KUHPB, 'hukum yang hidup dalam masyarakat'.

Sebagai contoh konkret, hal yang bersifat kesusilaan, misalnya mabuk-mabukan. Di satu daerah mabuk di ruang publik dianggap tabu dan dapat pidana, sementara di satu daerah lain perbuatan tersebut tidak tabu sehingga tidak dianggap pidana, walaupun pada pasal 316 para pembabuk tersebut dapat dipidana denda paling banyak kategori II.

Kemudian, pengaruhnya dengan perubahan peraturan perundangan adalah, asas legalitas berpondasi dengan bunyi norma yang tertuang dalam peraturan. Maka, suatu peraturan perundangan yang berubah, secara otomatis nilai legalitas yang terkandung dalam norma tersebut ikut berubah.

Dalam hal ini, KUHPB pasal 3 dengan terang menyatakan bahwa bila perubahan peraturan perundangan terjadi, maka subjek yang sedang berperkara harus dikenakan norma yang lebih meringankan, hingga perkara tersebut harus dihentikan demi hukum apabila perbuatan tersebut tidak lagi dinyatakan sebagai perbuatan pidana.

Menurut Tempat

Ruang lingkup pidana menurut tempat terbagi menjadi beberapa koridor yang didasarkan oleh asas territorial. Pertama, didasarkan kepada territorial berkedaulatan, atau sederhananya, di dalam wilayah Indonesia itu sendiri. Dan kedua, penggunaan quasi territorial/territorial negara yang bergerak seperti halnya pesawat terbang atau kapal. Pasal 4 huruf c dengan terang mengatakan akibat perbuatan dalam wilayah teritorial Indonesia dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Kemudian, pada bagian menurut tempat yang lain juga terdapat asas perlindungan dan nasional pasif. Dalam hal ini, cukup terang bahwa perbuatan tersebut harus berdampak pada kepentingan negara, dimana setiap orang (baik orang perseorangan maupun korporasi, vide pasal 145).

Kepentingan negara sendiri dibagi menjadi beberapa poin, yang meliputi:

  • Keamaan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan;
  • Martabat presiden, wakil presiden, pejabat yang berada di luar negeri;
  • Mata uang, segel, cap negara, meterai, surat berharga yang diterbitkan pemerintah indonesia, kartu kredit;
  • Perekonomian, perdagangan, dan perbankan;
  • Keselamatan atau keamanan pelayaran dan penerbangan;
  • Keselamatan atau keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional atau negara;
  • Keselamatan atau keamanan sistem komunikasi elektronik;
  • Kepentingan nasional;
  • WNI berdasarkan perjanjian internasional.

Adapun kepentingan negara yang dilindungi disini bersifat limitative dan terbuka. Limitatif yang dimaksud merujuk pada untuk memberikan fleksibilitas praktik dan dalam perkembangan formulasi tindak pidana oleh pembentuk undang-undang pada masa yang akan datang. Sementara untuk deliknya, pada dasarnya bersifat bebas, atau sesuka pemerintah Indonesia tersebut untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan dengan sungguh-sungguh melanggar kepentingan hukum nasional yang dilindungi.

Adapun subjek dari pihak yang dapat dikenakan pidana, adalah Setiap Orang. Setiap Orang yang dimaksud adalah orang perserorangan, korporasi, dan secara khusus ditambahkan pada penjelasan pasal 5, bahwa subjek lain yang dapat melanggar kepentingan nasional adalah Warga Negara Indonesia ataupun berkewarganegaraan asing.

Selain itu, menurut tempat lainnya juga didasarkan oleh asas universal dan nasional aktif. Asas universal yang dimaksud pada intinya meletakkan Setiap Orang yang masih dianggap sebagai WNI tidak hanya diadili berdasarkan hukum pidana Indonesia, melainkan juga ketentuan hukum internasional, baik ketentuan itu sudah diratifikasi maupun belum diratifikasi. Hal ini akan terkait dengan ekstradisi.

Adapun asas universal dikatakan bukan hanya melindungi kepentingan hukum Indonesia semata, melainkan kepentingan hukum negara lain, yang disetujui berdasarkan konvensi yang meliputi:

  • Konvensi uang palsu;
  • Konvensi laut bebas dan hukum laut;
  • Konvensi kejahatan penerbangan dan sarana atau prasarana penerbangan;
  • Konvensi pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.

Sementara asas nasional aktif pada esensinya mengatakan tentang nasionalitas formal orang atau korporasi tersebut. nasionalitas korporasi biasa diketahui dari tempat dimana didirikannya badan hukum tersebut, sementara nasionalitas formal orang biasa diketahui dari KTP, Passport, atau identitas lain yang masih memiliki keterkaitan dengan negara, dalam hal ini Indonesia.

Waktu dan Tempat Tindak Pidana

Waktu(tempus) dan tempat (locus) tindak pidana pada intinya merujuk pada peristiwa pidana yang terjadi pada saat itu juga. Seperti yang sudah tertuang pada bagian sebelumnya, bahwa pidana tidak dapat dilepaskan dari ruang dan waktu. Hal ini kemudian didefinisikan secara konkret dalam pasal 10 dan pasal 11 KUHPB. Pasal 10 sendiri berbunyi:

"waktu tindak pidana merupakan saat dilakukannya perbuatan yang dapat dipidana."

Penjelasan pasal 10 sendiri memiliki bunyi yang pada intinya berkata bahwa waktu tindak pidana yang dimaksud misalnya saat perbuatan fisik dilakukan, saat bekerjanya alat atau bahan untuk menyempurnakan tindak pidana, saat timbulnya akibat tindak pidana, dimana ketentuan ini tidak membedakan antara tindak pidana formil dan pidana materiel.

Kemudian, pasal 11 berbunyi:

"tempat tindak pidana merupakan tempat dilakukannya perbuatan yang dapat dipidana."

Penjelasan pasal 11 tersebut menyatakan bahwa tempat tindak pidana yang dimaksud merujuk pada tempat perbuatan fisik dilakukan, tempat bekerjanya alat atau bahan untuk menyempurnakan tindak pidana, serta tempat terjadinya akibat dari perbuatan dikenakan pidana tersebut.

Secara sederhana, pasal ini dimaksudkan untuk mengadili bahwa suatu proses perbuatan juga termasuk menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana, yang menjadi bahan untuk menyatakan perbuatan pidana itu didukung oleh intensi dari subjek atau tidak.

Demikianlah sedikit tentang Ruang Lingkup Hukum Pidana Baru. Artikel ini jauh dari sempurna selain karena kekurangan penulis, juga karena kesederhanaan. Terutama, karena penulis tidak memasukkan teori-teori yang dapat digali dari buku-buku hukum pidana. Namun setidaknya, artikel ini dapat memberikan gambaran umum bahwa hukum pidana baru memiliki ruang lingkup keberlakuan yang konkret. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.

Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

Referensi:

KUHPB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun