Ruang lingkup berlakunya ketentuan KUHPB diatur dalam Bab I. secara sederhana, ruang lingkup yang dimaksud dapat dibagi menjadi menurut waktu (locus) dan menurut tempat (tempus). Secara teoretis, kedua hal ini merupakan hal paling fundamental dalam menentukan suatu peristiwa hukum yang juga terkait dengan peristiwa pidana. Perlu ditegaskan bahwa pemakaian locus dan tempus dapat berdiri sendiri sehingga tanpa adanya delik (locus delicti atau tempus delicti) pemakaian kedua terminologi itu tetap tepat.
Ruang lingkup pidana menurut waktu terbagi menjadi 3 pasal utama, dan dibedakan dengan Waktu Tindak Pidana yang tertuang pada pasal 10. Adapun ruang lingkup pidana menurut waktu terwujud berdasarkan beberapa pondasi yang meliputi:
- Asas legalitas interpretative. (pasal 1 dan pasal 2)
- Perubahan Peraturan Perundangan (pasal 3)
Ruang lingkup menurut tempat dibagi menjadi beberapa spektrum, meliputi:
- Asas wilayah atau territorial (pasal 4)
- Asas perlindungan dan asas nasional pasif (pasal 5)
- Asas universal (pasal 6 dan pasal 7)
- Asas nasional aktif (pasal 8)
Dalam bab yang sama, tertuang juga pengecualian serta ruang lingkup berdasarkan waktu tindak pidana dan tempat tindak pidana.
Menurut Waktu
Menurut waktu yang dimaksud merujuk pada dua koridor yang berdasarkan prinsip utama hukum pidana, yaitu asas legalitas. Mengapa asas legalitas dimasukkan dalam bagian menurut waktu? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca. Yang jelas, asas legalitas yang mendasari hukum pidana disini berbeda dengan asas legalitas yang dahulu mengendap dalam KUHP lama.
KUHP baru ini meletakkan asas legalitas memberikan batasan terhadap penggunaan analogi. Secara teoretis, analogi tidak boleh diterapkan dalam Pidana Indonesia yang mengedepankan prinsip lex certa, dimana hukum itu harus pasti dan menyebabkan penerapan norma dalam kenyataan harus sama dengan bunyi peraturan perundangan.
KUHP baru ini kemudian dengan konkret menerangkan bahwa analogi tidak dapat dilakukan sepanjang kejadian atau peristiwa tersebut tidak diatur atau tidak disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang dan peraturan daerah. Hal ini menyebabkan suatu perbuatan yang mungkin dinyatakan sebagai suatu perbuatan pidana di suatu daerah dilakukan secara adat, atau dalam bahasa KUHPB, 'hukum yang hidup dalam masyarakat'.
Sebagai contoh konkret, hal yang bersifat kesusilaan, misalnya mabuk-mabukan. Di satu daerah mabuk di ruang publik dianggap tabu dan dapat pidana, sementara di satu daerah lain perbuatan tersebut tidak tabu sehingga tidak dianggap pidana, walaupun pada pasal 316 para pembabuk tersebut dapat dipidana denda paling banyak kategori II.
Kemudian, pengaruhnya dengan perubahan peraturan perundangan adalah, asas legalitas berpondasi dengan bunyi norma yang tertuang dalam peraturan. Maka, suatu peraturan perundangan yang berubah, secara otomatis nilai legalitas yang terkandung dalam norma tersebut ikut berubah.
Dalam hal ini, KUHPB pasal 3 dengan terang menyatakan bahwa bila perubahan peraturan perundangan terjadi, maka subjek yang sedang berperkara harus dikenakan norma yang lebih meringankan, hingga perkara tersebut harus dihentikan demi hukum apabila perbuatan tersebut tidak lagi dinyatakan sebagai perbuatan pidana.