Bila bicara tentang studi hukum, pikiran penulis biasa langsung menjurus kepada dokumen atau buku berisikan naskah kehidupan manusia atau pemikiran manusia yang bertebarkan kata-kata mutiara, dituangkan dengan begitu rumit, bertele-tele, dan cocok digunakan sebagai pengantar tidur karena membosankan, bila tidak melelahkan.
Dan karena samudera morfem, frasa, dan diksi tersebut, terkadang penulis kira sangat wajar bagi banyak pekerja hukum yang hidup dari hukum dengan pendekatan politik hukum daripada hukum politik, karena berpolitik jauh lebih praktis dan lebih dinamis daripada berhukum.
Terlepas atas penyelenggaraan hukum yang dilakukan atas preferensi dan selera para pemangku kepentingan, hukum itu sendiri tidak berubah. Dia (hukum) akan dan pasti selalu memiliki suara yang terukir pada lembaran nurani manusia dan mengandung kekuatan 'magis' yang cukup, bahkan untuk menggerakkan dunia. Suara tersebut adalah yang dikenal sebagai norma.
Bicara tentang norma, norma dapat berbentuk tidak tertulis atau tertulis. Ketika norma itu tidak tertulis, maka norma tersebut merambah secara sporadis dan samar-samar menjadi keyakinan atas nilai-nilai, yang didalamnya juga memiliki perangkat proses dan hasil lalu dinyatakan sebagai 'hukum'. Norma jenis ini sering juga dikenal sebagai nomos. Ketika norma itu tertulis, maka itu yang biasa dikenal secara pasti sebagai hukum positif.
Penulis tidak akan masuk pada romantisme hukum, dogma ataupun teori yang 'seksi' itu. Sebaliknya, penulis hanya akan menuliskan kembali hal yang lebih santai, dengan cara yang lebih santai, singkat dan sederhana, yaitu bagaimana peraturan perundang-undangan itu dibuat di Indonesia. Di Indonesia, norma hukum positif kemudian biasa digunakan dengan dasar undang-undang 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang singkatnya disebut UU P3.
Penalaran pembuatan undang-undang 12/2011 tentang P3.
Pada bagian pertimbangan, apabila dibaca lebih khusuk, maka dapat ditemukan bahwa bagian Menimbang dapat dibagi menjadi dua spektrum. Pada angka 1 dan angka 2 menunjukkan Rechtidee dimanifestasikannya undang-undang ini, atau secara sederhana, alasan kenapa undang-undang ini diciptakan. Sementara pada angka 3 dan angka 4 merupakan pertimbangan formal karena tanpa angka 3 dan angka 4 undang-undang ini tidak dapat dimanifestasikan.
Lalu, ide dari UU ini sendiri juga terbagi menjadi dua, yang dituang dengan bunyi:
a. "Bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan UUD NRI tahun 1945."
b. "bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan dengan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan."
Dua hal tersebut kemudian bermuara pada tata cara pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional, yang dilaksanakan dengan cara dan dengan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membentuk peraturan perundangan itu sendiri. Penalaran yang demikian, apabila ditarik ke UU sebelumnya, yaitu UU 10/2004, akan memiliki semangat yang selaras, yang tertuang jelas dengan bunyi:
"bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan."
kemudian penalaran yang mendasari suatu peraturan perundangan harus dibuat secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan secara konsisten tertuang dalam perubahan pertama dan perubahan kedua UU P3 ini. Dalam Pertimbangan huruf a perubahan pertama UU 15/2019 Perubahan Pertama P3 berbunyi:
"Bahwa pembangunan hukum nasional yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan harus benar-benar mencerminkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan UUD NRI tahun 1945."
Serta dalam Pertimbangan huruf a perubahan kedua UU 13/2022 Perubahan Kedua P3 berbunyi:
"bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan dalam mendukung tercapainya arah dan tujuan pembangunan hukum nasional dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan untuk mewujudkan kepastian hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat sebagaimana diamanatkan UUD NRI tahun 1945."
Pertimbangan huruf b kemudian sedikit lebih mendalami ide tentang 'terencana, terpadu, dan berkelanjutan' yang dimaksud, dengan bunyi:
"bahwa untuk mewujudkan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan dibutuhkan penataan dan perbaikan mekanisme Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sejak perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan hingga pengundangan dengan menambahkan antara lain pengaturan mengenai metode omnibus dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang berkmakna."
Bila ditarik dalam premis yang singkat-singkat saja, maka dapat ditemukan bahwa gagasan besar dalam Pembentukan peraturan perundangan akan memiliki dua spektrum pengaturan, yang meliputi:
- dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban masyarakat; yang merujuk pada eksternalisasi keberlakuan ketentuan peraturan perundangan. Sederhananya, UU yang disahkan seyogianya memberikan perlindungan terhadap masyarakat luas.
- dilaksanakan dengan cara dan dengan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga berkewenangan membuat peraturan perundangan; yang merujuk pada internalisasi keberlakuan ketentuan peraturan perundangan. Misal, bila DPR mau membuat undang-undang, maka harus mengikuti ketentuan dalam UU ini.
Kemudian, isi Bab dari undang-undang 12/2011 UU P3 secara sederhana meliputi:
Kemudian, isi Bab dari undang-undang 12/2011 UU P3 secara sederhana meliputi Ketentuan umum; Asas Jenis, hierarki, materi muatan peraturan perundangan; Perencanaan peraturan perundangan; Penyusunan peraturan perundangan; Tehnik penyusunan peraturan perundangan; Pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang; Pembahasan dan penetapan rancangan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten kota; Pengundangan; Penyebarluasan; Partisipasti masyarakat; Lain-lain; Penutup;
Bab-bab demikian kemudian diberikan penjelasan pada bagian akhir undang-undang.
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Adapun undang-undang 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada awalnya berangkat dari UU 10/2004. Penjelasan UU 10/2004 menyatakan bahwa sebagai konsekuensi pengadopsian Hukum Belanda serta terjadinya beberapa kali perubahan tata pemerintahan dari masa awal pendirian negara, Republik Indonesia Serikat, masa kedaruratan, dan peta perpolitikan, maka terjadi fenomena tumpang tindih peraturan perundangan.
Undang-undang 10/2004 kemudian dirubah dengan UU 12/2011 yang masih biasa digunakan sebagai acuan dalam pembuatan peraturan perundangan. Adapun UU 12/2011 menyatakan kekurangan UU 10/2004 yang meliputi:
- Materi UU 10/2004 banyak menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan kepastian hukum;
- Rumusan tidak konsisten;
- Terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum;
- Kurang sistematisnya UU 10/2004 sehingga perlu diatur lebih rigid;
Dan seiring berjalannya waktu, UU 12/1011 kemudian dimutakirkan lagi dengan UU 15 tahun 2019 tentang Perubahan Pertama, dan UU 13/2022 tentang perubahan kedua. Materi yang perubahan dalam UU 15/2019 meliputi Perubahan definisi; perencanaan peraturan perundangan; Perubahan dalam hal penyusunan peraturan perundangan, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah provinsi; Perubahan dalam hal Pembahasan rancangan undang-undang; Perubahan dalam pengundangan; Perubahan dalam penyebarluasan; Perubahan tentang Bab pemantauan dan peninjauan terhadap undang-undang; Perubahan tentang ketentuan peralihan.
Kemudian, dalam UU 13/2022 perubahan yang terjadi lebih banyak lagi, yang materi pokoknya meliputi:
- Penambahan metode omnibus;
- Perbaikan kesalahan teknis;
- Penguatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna;
- Pembentukan peraturan perundangan secara elektronik;
- Pengubahan sistem pendukung dari peneliti menjadi pejabat fungsional lain yang memiliki ruang lingkup tugas terkait P3;
- Pengubahan tehnik penyusunan naskah akademik;
- Pengubahan tehnik penyusunan P3;
- Dan lain-lain.
Namun pertanyaan menarik adalah, apabila kemudian norma-norma dalam undang-undang ini tidak dipatuhi oleh pemangku kewenangan saat membuat peraturan perundangan, menyebabkan undang-undang di Indonesia menjadi tidak sesuai koridor yang disepakati dan ditetapkan, hukuman apa yang dapat ditetapkan bagi mereka? Penulis serahkan jawabannya kepada pembaca.
Demikianlah sedikit tentang pembentukan peraturan perundangan. Artikel ini jauh dari sempurna selain karena kekurangan penulis, juga karena mengutamakan kesederhanaan. Setidaknya, dalam artikel ini diketahui bahwa dalam membuat peraturan perundangan, ada aturan yang konkret sehingga norma dalam undang-undang itu sendiri tidak dapat dibuat secara semena-mena. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.
Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Acuan:
UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H