Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 8 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pidana Internasional: Penerbangan

6 April 2024   09:26 Diperbarui: 6 April 2024   11:30 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bila pada artikel Pidana Internasional: Kelautan berbicara tentang hukum kelautan/kemaritiman yang juga mencakup Pidana Internasional secara cukup terang dalam UNCLOS, maka ketentuan Hukum Penerbangan Internasional dapat ditemukan dalam Chicago Convention yang membuat ICAO (International Civil Aviation Organisation) dan dimutakirkan dengan beberapa konvensi penting lainnya.

Ruang lingkup Hukum Penerbangan Internasional lebih kecil dari Hukum Kelautan Internasional. Hal ini menjadikan Hukum Penerbangan lebih sederhana, termasuk juga dalam spektrum pidana. Ruang lingkup yang kecil juga dipengaruhi karena tidak/belum ada objek yang dapat dikenakan hukum lebih daripada Pesawat Udara dan segenap yang dapat berada di dalamnya, Jalur Udara, Bandara, termasuk juga orang dan badan hukum yang terikat dengan hukum bisnis.

Kecuali, di masa depan nanti ada hal-hal yang saat ini masih dianggap diluar atau diambang batas kewajaran penalaran. Misalnya, ada Airborne Island atau Kepulauan Mengudara, atau ada pertambangan zat-zat di udara, infrastruktur anti-gravitasi, kedatangan ekstraterrestrial secara publik dan berkelanjutan, dan lain sebagainya.

Hal-hal demikian tidak/belum ada, kecuali mungkin kendaraan diduga kendaraan non-manusia, yang diklasifikasikan menjadi UFO/UAP (Unidentified Flying Object/Unidentified Aerial Phenomenon) yang dewasa ini dokumentasi formalnya masuk ke dalam pengadilan Amerika Serikat. Itupun sangat diragukan keabsahannya, sehingga masih layak dianggap diluar batas kewajaran penalaran.

Kemudian, dalam pengamatan yang dapat dilakukan terhadap Hukum Penerbangan Internasional, ada kesamaan yang kemudian juga digunakan sebagai pertimbangan penerapan yuridiksinya, inter alia, karena Pesawat Terbang merupakan benda bergerak yang dapat bermuatan dengan kapasitas cukup untuk dikategorikan sebagai zona quasi territorial, sehingga penerapan yuridiksinya menyerupai Kapal Laut.

KONSEP SEDERHANA PIDANA PENERBANGAN

UN sendiri mendirikan International Civil Aviation Organization lewat Chicago Convention 7 Desember 1944 sebagai lembaga tersendiri yang dapat menangani permasalahan-permasalahan aviasi, yang menitikberatkan pada pesawat terbang baik dalam tujuan niaga atau non-niaga, yang tertuang pada Preamble yang berbunyi:

"whereas the future development of international civil aviation can greatly help to create and preserve friendship and understanding among the nations and peoples of the world, yet its abuse can become a threat to the general security; and whereas it is desirable to avoid friction and to promote that cooperation between nations and peoples upon which the peace of the world depends; Therefore, the undersigned governments having agreed on certain principles and arrangements in order that international civil aviation may be developed in a safe and orderly manner and that international air transport services may be established on the basis of equality of opportunity and operated soundly and economically;"

Chicago Convention ini kemudian memberikan ketentuan-ketentuan umum yang mengatur penyelenggaraan pengunaan Pesawat Udara secara internasional. Kemudian, pada article 47 berbunyi:


"the organization shall enjoy in the territory of each contracting state such legal capacity as may be necessary for the performance of its function. Full juridical personality shall be granted wherever compatible with the constitution and laws of the state concerned."

Singkatnya, kapabilitas otoritas hukum yang dimiliki ICAO kembali pada negaranya masing-masing, termasuk juga Indonesia, mengingat Indonesia adalah bagian dari UN, kecuali ada penyampingan yang menyebabkan konvensi ini tidak berlaku bagi dan terhadap Indonesia.

Pidana Penerbangan dalam KUHPB

Kemudian, dari spektrum keindonesiaan, setidaknya pidana ruang udara dan aviasi diatur dalam Bab XXXII Tindak Pidana Penerbangan dan Tindak Pidana terhadap Sarana serta Prasarana Penerbangan pasal 575 sampai dengan pasal 590. Kemudian, bentuk-bentuk perbuatan pidana yang tertuang dalam pasal-pasal tersebut bila disederhanakan akan meliputi:

  • Perusakan Sarana Penerbangan dan Pesawat Udara;
  • Pembajakan Pesawat Udara;
  • Perbuatan yang Membahayakan Keselamatan Penerbangan;
  • Tindak Pidana Asuransi Pesawat Udara;

Lalu, pasal 579 menyatakan bahwa pembajakan di udara dapat dikenakan udara, yang dilakukan dengan cara merampas atau mempertahankan perampasan atau secara melawan hukum menguasai atau mengendalikan pesawat udara dalam penerbangan. Adapun penjelasan pasal 579 berbunyi:

"tindak pidana dalam ketentuan ini juga merupakan pembajakan udara sebagaimana diatur dalam konvensi The Hague 1970 tentang "the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (Pemberantasan Penguasaan Pesawat Udara Secara Melawan Hukum), yang diadakan di Den Haag Belanda tahun 1970.

Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971, sehingga sebagai negara peserta harus memenuhi kewajiban yang diatur dalam Pasal 2 Konvensi, yaitu bahwa setiap negara peserta konvensi wajib memidana perbuatan pembajakan udara dengan pidana yang berat. Tindak pidana tersebut merupakan Tindak Pidana internasional yang berarti bahwa setiap negara (peserta konvensi) mempunyai yuridiksi terhadap setiap pembajak udara, dengan tidak memandang nasionalitas pelaku maupun Pesawat Udara serta tempat (negara) terjadinya pembajakan. Ini berarti bahwa apabila pelaku pembajakan udara tersebut ditemukan di Indonesia maka Indonesia berwenang menuntutnya. Oleh karena itu, Indonesia juga wajib membuat ketentuan pidana untuk Tindak Pidana ini."

Dalam Konvensi Tokyo 1963 berjudul Convention on offences and certain other acts committed on board aircraft. Signed at Tokyo on 14 September 1963, secara terang langsung dikatakan bahwa konvensi ini bicara tentang perbuatan pidana, yang pada teks aslinya ada pada article 1 nomor 1 huruf b yang berbunyi:

"acts which, wheter or not they are offences, may or do jeopardize the safety of the aircraft or of persons or property therein or which jeopardize good order and discipline on board."

Kemudian, secara singkat dan sederhana, konvensi Tokyo ini kemudian meregulasi yuridiksi keberlakuan Hukum Aviasi, kewenangan komandan, perampasan (seizure) Pesawat Terbang, kewenangan negara-negara terhadap pesawat. Ketentuan-ketentuan ini diperjelas dalam Konvensi The Hague 1970 dalam bagian Preamble yang berbunyi:

"CONSIDERING that unlawful acts of seizure or exercise of control of aircraft in flight jeopardize the safety of persons and property, seriously affect the operation of air services, and undermine the confidence of the people of the world in the safety of civil aviation."

The Hague 1970 kemudian juga memutakirkan ketentuan pidana yang tadinya hanya Perampasan, menjadi seperti yang tertuang article 1 huruf a dan b yang berbunyi:

"Any person who on board an aircraft in flight: unlawfully, by force or threat thereof, or by any other form of intimidation, seizes, or exercise control of, that aircraft, or attempts to perform any such act, or is an accomplice of a person who performs or attempts to perform any such act."

Konvensi ini kemudian dengan tegas menyatakan bahwa ketentuan pidananya tidak berlaku bagi Pesawat Udara militer, Pesawat Udara Kepolisian, ataupun Pesawat Udara Custom. Secara singkat, Konvensi ini kemudian dimutakirkan lagi dalam Konvensi Montreal 1971 yang berjudul "Convention for the Suppresion of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation" sehingga keberlakuannya tidak lagi bicara tentang Pesawat Terbang (aircraft) saja, melainkan segenap tentang Penerbangan Publik.

Konvensi Montreal 1971

Dalam konvensi ini, yang dikategorikan sebagai offence/perbuatan pidana teruang dalam article 1 nomor 1 dan nomor 2. Pada intinya, pidana yang dimaksud adalah ketika subjek hukum dengan melawan hukum dan dengan intensi, termasuk percobaan, melakukan:

  • Tindakan kekerasan terhadap orang yang berada dalam Pesawat Udara ketika sedang mengudara;
  • Penghancuran Pesawat Udara atau perusakan yang menyebabkan Pesawat Udara tidak dapat mengudara atau setidaknya berbahaya digunakan untuk mengudara;
  • Peletakan benda atau substansi benda yang sekiranya dapat menyebabkan kehancuran Pesawat Udara, atau menyebabkan kerusakan yang membuat Pesawat Udara tidak dapat mengudara atau berbahaya digunakan untuk mengudara;
  • Penghancuran atau perusakan fasilitas navigasi udara atau penghalangan operasi nagivasi udara, yang menyebabkan berbahaya digunakan untuk mengudara;

Kemudian, article 5 konvensi montreal menerangkan yuridiksi keberlakuan tindak pidana tersebut yang dapat dilakukan setiap negara, yang secara sederhana meliputi:

  • Ketika pidana dilakukan dalam wilayah negara;
  • Ketika pidana dilakukan terhadap atau di dalam Pesawat Udara yang diregister di wilayah negara;
  • Ketika pelaku pidana masih di dalam Pesawat Udara, yang pesawatnya mendarat di teritori negara tertentu;
  • Ketika pidana dilakukan terhadap atau di dalam Pesawat Udara tanpa awak Pesawat Udara, dengan keadaan Pesawat Udara disewakan kepada penyewa yang memiliki bisnis terhadap Pesawat Udara tersebut, atau ketika penyewa tidak memiliki bisnis di tempat itu, atau di tempat tinggalnya, di negara tersebut.

Terhadap pidana keempat, secara sederhana menyatakan pidana dilakukan terhadap atau di dalam Pesawat Udara yang disewakan, dengan atau tanpa awak, kepada penyewa yang berbisnis penerbangan, didasarkan dengan tempat tinggal pebisnis itu. Dan konsisten, bahwa yuridiksi pidana ini kemudian diarahkan berdasarkan hukum nasional negara-negara yang meratifikasi.

Demikianlah sedikit tentang Pidana Internasional Aviasi dan menjadi akhir dari seri Pidana Internasional. Pada intinya, pidana dalam spektrum hukum penerbangan menekankan pada aspek ekonomi dan sosial yang berangkat dari kekhawatiran dalam penyalahgunaan teknologi penerbangan.

Sebagai akhir dari seri, perlu ditambahkan bahwa Pidana Internasional tidak terbatas pada yang sudah tertuang dalam artikel-artikel Pidana Internasional ini. Masih ada spektrum Pidana Internasional yang tidak dibahas misalnya Pidana Enviromental, Pidana Cyber, Luar Angkasa/Antariksa, perangkat penegakannya seperti INTERPOL. Ketidaksempurnaan ini juga berangkat dari kekurangan penulis, serta pendekatan kesederhanaan dan yang singkat-singkat saja. Setidaknya, cukup jelas secara umum bahwa dalam hal penerbangan, terdapat juga pidana di Indonesia yang dapat diterapkan secara terang dan jelas, tanpa perlu upaya untuk melakukan interpretasi. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.

Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

Peraturan perundangan:

KUHPB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun