Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 8 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pidana Internasional: Kejahatan terhadap Kemanusiaan

28 Maret 2024   13:22 Diperbarui: 28 Maret 2024   17:21 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang membuat manusia dihimbau untuk tidak, hingga dilarang membunuh sesama manusia, walaupun diperbolehkan, pun dibatasi, untuk membunuh binatang dan alam, atas nama kehidupan? Penulis serahkan jawabannya pada pembaca. Yang jelas, membunuh adalah salah satu hal yang dilarang di Indonesia dan menjadi bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan.

Banyak yang menarik dalam pembicaraan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, dan layak untuk terus menerus dipertanyakan dan diperdebatkan. Misal, suatu pertanyaan sederhana, apa yang membuat manusia adalah manusia? mana lebih utama antara manusia, hak asasi manusia, nyawa manusia, atau ketiganya tidak penting karena yang penting ada normanya? Dan sebagainya, yang jawabannya kembali penulis serahkan pada pembaca.

Tetapi, terlepas dari persimpangan konsep penalaran untuk masuk ke dimensi filosofis dan teoretis tentang manusia itu sendiri, membunuh tetap menjadi satu dari banyak peraturan yang terkandung dalam Kejahatan terhadap Kemanusiaan itu sendiri. Dan, secara singkat dan sederhana, kejahatan terhadap kemanusiaan dapat ditemukan dalam Statuta Roma dan KUHPB.

Crime against Humanity dalam Statuta Roma.

Pada article 7 number 1 Statuta Roma, ada tertulis:

"for the purpose of this Statute, "crime against humanity" means any of the following acts when committed as part of a widespread or systematic attack directed against any civilian population, with knowledge of the attack:

a. Murder; (pembunuhan)

b. Extermination; (eksterminasi/pemusnahan.)

c. Enslavement; (perbudakan)

d. Deportation or forcible transfer of population; (deportasi atau pemindahan paksa populasi)

e. Imprisonment or other severe deprivation of physical liberty in violation of fundamental rules of international law; (pemenjaraan atau perampasan kemerdekaan fisik menggunakan kekerasan.)

f. Torture; (penyiksaan)

g. Rape, sexual slavery, enforced prostitution, forced pregnancy, enforced sterilization, or any other form of sexual violence of comparable gravity; (pemerkosaan dsb yang memiliki gravitasi yang sama)

h. Persecution against any identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic, cultural, religious, gender as defined in paragraph 3, or other grounds that are universally, recognized as impermissible under international law, in connection with any act referred to in this paragraph or any crime within the jurisdiction of the court; (persekusi)

i. Enforce disappearance of persons; (penghilangkan paksa orang)

j. The crime of apartheid; (apartheid)

k. Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health. (tindakan tidak berperikemanusiaan lain)

Pada Article 7 number 2, masing-masing dari poin tersebut diberikan definisi. Adapun berdasarkan Statuta Roma, dijelaskan bahwa yang dimaksud "attack directed against any civilian population" merujuk pada prosedur penyerangan bersifat TSM (Terstruktur Sistematis Masif) menyebabkan beberapa kali peristiwa terhadap populasi penduduk, yang dilakukan oleh negara atau kebijakan organisasi untuk menyelenggarakan serangan itu.

Eksterminasi/pemusnahan bicara tentang proses dan hasil pembinasaan/pelenyapan, termasuk juga intensi menimbulkan hal itu dalam kondisi kehidupan, inter alia perampasan akses makanan dan obat-obatan, yang terukur demi membawa kehancuran terhadap populasi tertentu.

Enslavement atau Perbudakan bicara tentang pendayagunaan setiap atau seluruh kekuatan untuk memaksakan kepemilikan terhadap orang, termasuk juga penyelundupan serta perdagangan terhadap orang, wanita dan/atau anak-anak.

'Deportation or forcible transfer of population' bicara tentang pemaksaan pemindahan kelompok dengan cara pengusiran atau tindak koersif lain dari area tempat mereka berhak untuk hidup secara hukum, yang mana pemindahan tersebut juga tidak memiliki dasar Hukum Internasional.

'Torture' atau penyiksaan bicara tentang intensi menimbulkan luka berat atau penderitaan berat secara fisik dan/atau mental, terhadap orang dalam penahanan atau dalam kontrol pihak tertuduh, kecuali perbuatan menimbulkan luka berat atau penderitaan berat itu merupakan sanksi.

Pada huruf g tentang Perkosaan dan/atau kejahatan sejenis, article 7 number 2 huruf f Statuta Roma menerangkan tentang 'Forced Pregnancy' merupakan tindakan perampasan kemerdekaan wanita yang dipaksa untuk hamil, dengan maksud mempengaruhi komposisi genetik etnis tertentu dalam suatu populasi. Definisi yang diberikan ini tidak mempengaruhi hukum bangsa tentang kehamilan.

Persecution/persekusi bicara tentang maksud dan perampasan berat hak-hak fundamental kelompok atau perkumpulan tertentu, yang bertentangan dengan Hukum Internasional.

Kemudian apartheid didefinisikan sebagai tindakan tak berperikemanusiaan yang menyerupai dengan tindakan penyerangan bersifat TSM terhadap orang atau kelompok tertentu, dengan tujuan mempertahankan dominasi dan/atau rezim kekuasaan orang atau kelompok tertentu.

Dan terakhir, 'enforced disappeared of person' didefinisikan sebagai tindakan menangkap, mengurung, atau menculik orang atas dasar perintah pemerintah, negara, atau organisasi bersifat politis, yang diikuti oleh pengingkaran terhadap pengakuan perbuatan tersebut dengan cara pengurangan kebebasan informasi terhadap nasib orang itu, dengan tujuan pemburaman hingga penghilangan perlindungan hukum untuk orang itu dalam jangka waktu tertentu.

Kemudian dari norma-norma tersebut, dapat diketahui ada kesamaan norma yang juga tertuang dalam KUHPB, yang secara garis besar termakthub dalam Bab XXXV Tindak Pidana Khusus, pasal 599, huruf a sampai dengan huruf d yang berbunyi:

"Dipidana karena Tindak Pidana terhadap kemanusiaan, Setiap Orang yang melakukan salah satu perbuatan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan terhadap penduduk sipil, berupa:

a. Pembunuhan, pemusnahan, pengusiran, atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain yang melanggar aturan dasar hukum internasional, atau kejahatan apartheid, dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun;

b. Perbudakan, penyiksaan, atau perbuatan tidak manusiawi lainnya yang sama sifatnya yang ditujukan untuk menimbulkan penderitaan yang berat atau luka yang serius pada tubuh atau kesehatan fisik dan mental, dengan pidana paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun;

c. Persekusi terhadap kelompok atau perkumpulan atas dasar politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, kepercayaan, jenis kelamin, atau persekusi dengan alasan diskriminatif lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; atau

d. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa, atau bentuk-bentuk Kekerasan seksual lain yang setara, atau penghilangan orang secara paksa, dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun."

Pada bagian penjelasan pasal 599, tertuang bahwa pasal 599 huruf d menerangkan bahwa yang dimaksud dengan 'kekerasan seksual lain yang setara' adalah perbuatan untuk melakukan pemaksaan seksual yang serius sebagai bentuk Tindak Pidana terhadap kemanusiaan, dan sisanya dikatakan 'cukup jelas'.

Dari Tindak Pidana Khusus ini, kemudian dapat dikhususkan lagi menjadi beberapa pasal. Dalam keterkaitannya dapat ditemukan bab-bab dalam Buku Kedua KUHPB, misalnya meliputi:

Bab V Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum.

Secara spesifik dalam pasal 244-245. Terutama pada pasal 245 yang berbunyi:

"setiap orang yang melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, perkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan Kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga.)

Rumusan 'dapat ditambah 1/3' merujuk pada pasal 244 yang pada intinya bicara tentang ketentuan awal tentang tindak pidana atas dasar diskriminasi ras dan etnis.

Bab VII, Tindak Pidana terhadap Agama, Kepercayaan, dan Kehidupan Beragama atau Kepercayaan.

Secara spesifik adalah tindak pidana yang tertuang dalam pasal 303 ayat 2 dan ayat 3. Pasal 303 ayat 2 sendiri berbunyi:

"setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan mengganggu, merintangi, atau membubarkan pertemuan keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III."

Pada pasal 303 ayat 3 memiliki bunyi yang menyerupai, kecuali tindakan pidana yang dilakukan, dilakukan ketika kegiatan keagamaan sedang berjalan. Dua jenis pidana yang ada hanya sebagian kecil tindak pidana yang mengandung unsur Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang berlaku di Indonesia.

Tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Indonesia lebih konkret dibahas pada serial artikel Hukum Pidana Indonesia. Terutama karena Kejahatan terhadap Kemanusiaan juga diatur secara khusus dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana HAM sendiri memiliki pengadilannya sendiri yang diatur dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Demikianlah sedikit tentang Kejahatan Terhadap kemanusiaan, dalam konteks yang dapat dilihat dari Statuta Roma. Artikel ini tentu tidak sempurna, selain karena kekurangan penulis, juga agar artikel ini dibungkus secara singkat dan sederhana sehingga terkesan memotong hal-hal yang penting. Namun, sekiranya cukup untuk menunjukkan bahwa Statuta Roma memiliki norma-norma yang dapat dijustifikasikan ke dalam hukum nasional, vice versa. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.

Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

Peraturan perundangan:

KUHPB

UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia

UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun