Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 8 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pidana Internasional: Hubungan Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Internasional

25 Maret 2024   12:56 Diperbarui: 25 Maret 2024   14:19 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah tertuang dalam artikel pertama tentang Pidana Internasional bahwa ruang lingkup Hukum Pidana Internasional dibingkai dan pengkajiannya sangat tergantung sudut pandang, dimana Pidana Internasional dapat dilihat dari konteks hukum pidana atau konteks hukum internasional. Dan, menjadi suatu pertanyaan yang menarik tentang ragam pidana apa di Indonesia yang kemudian juga menjadi kejahatan internasional.

Dalam KUHPB (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru), ada 35 Bab yang mengatur Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, dan yang langsung terkait dengan Hukum Internasional berdasarkan penjelasan pasal 6 KUHPB pada beberapa bab, yang meliputi:

Bab XI (11) tentang Pemalsuan Uang dan Uang Kertas;

Secara terang dijelaskan terikat dengan konvensi internasional pemberantasan uang palsu beserta protokolnya (international convention for the suppression of counterfeiting currency and protocol) pada pasal 374.

Bab XXXI (31) tentang Tindak Pidana Pelayaran;

Tidak dituangkan secara terang dalam KUHPB, tidak dijelaskan alasannya. Sangat mungkin dikarenakan tindak pidana pelayaran juga termasuk ke dalam substansi hukum lain, yaitu Hukum Laut yang diatur dalam spektrum Hukum Laut Internasional (UNCLOS).

Bab XXXII (32) tentang Tindak Pidana Penerbangan dan Tindak Pidana terhadap Sarana serta Prasarana Penerbangan;

Bab ini juga langsung terkait dengan Konvensi The Hague 1970 tentang "The Suppresion of Unlawful Seizure of Aircraft."

Bab XXXV (35) tentang Tindak Pidana Khusus;

Di dalamnya Tindak Pidana Khusus terkandung Tindak Pidana Berat terhadap HAM, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana narkotika.

Terkait dengan Tindak Pidana Berat HAM, Indonesia telah membuat UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang didalamnya mengandung konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, tentang hak-hak anak, dan instrument internasional lain mengenai hak asasi manusia.

Terkait Terorisme, Indonesia pernah mengesahkan International Convention For the Suppresion of Terrorist bombing tahun 1997 menjadi UU 5/2006, dan Convention for the suppression of the financing of terrorism 1999 menjadi UU 6/2006. Pada perkembangannya pidana terkait hal ini berdiri sendiri dan diatur sebagian dalam KUHPB.

Terkait korupsi, Indonesia mengesahkan UN Convention against corruption 2003 menjadi UU 7/2006, yang pada perkembangannya dapat berdiri sendiri dalam segala urusan anti-korupsi.

Terkait Tindak pidana pencucian uang, tidak berdiri sendiri namun definisinya dapat ditemukan pada article 3 huruf b, yang kemudian terus berkembang menjadi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (uu 8/2010) dan dimutakirkan dengan KUHPB.

Terkait dengan tindak pidana narkotika, Indonesia telah mengesahkan United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances dengan bentuk UU 7 tahun 1997.

Kemudian, dalam hal keterkaitan KUHPB dengan konvensi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Anak, KUHPB juga menuangkan ketentuan umum pidana bagi anak dalam Bab III Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan Bagian Ketiga Buku Kesatu KUHPB. Konvensi internasional lain dimasukkan dalam KUHPB secara terang, adalah Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, yang kemudian diatur dalam pasal 530. Kedua konvensi ini kemudian juga tergabung menjadi satu kesatuan dengan UU HAM dan peraturan perundangan lain yang terkait.

Hubungan dengan Kejahatan Lain dan Unsur Asing.

Pada penjelasan Buku Kedua KUHPB nomor 3 dan nomor 4, dituangkan bahwa KUHPB juga mengadopsi berbagai konvensi internasional yang sudah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi. Tidak ada penjelasan mengapa yang belum diratifikasi kemudian juga dijadikan sebagai bahan perumusan norma-norma Tindak Pidana.

Yang jelas, akibat logis dari adanya konvensi yang belum diratifikasi tersebut membuat norma-norma Tindak Pidana nasional mempunyai koneksi kepada Tindak Pidana Transnasional dan Tindak Pidana Internasional. Misalnya, dalam keterkaitan dengan Convention of Cyber Crime (Budapest Convention). Konvensi ini belum diratifikasi oleh Indonesia karena satu dan lain hal, belum ada secara sah dalam PBB saat penulis mencari tentang kejelasan datanya sampai artikel ini dituangkan.

Tetapi kemudian, dalam KUHPB memberikan ketentuan pidana bagi subjek hukum yang memanfaatkan sistem elektronik untuk melakukan kejahatan. Misal pada pasal 333 huruf c KUHPB yang berbunyi:

"Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI, Setiap Orang yang: tanpa hak atau melampaui wewenangnya menggunakan atau mengakses Komputer atau sistem elektronik, baik dari dalam maupun luar negeri untuk memperoleh informasi dari Komputer atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara;"

Rumusan tersebut dengan terang mengatakan bahwa subjek hukum yang beroperasi di luar negeri, kemudian mengakses komputer atau sistem elektronik yang dilindungi negeri untuk memperoleh informasi dapat dipidana. Keberadaan subjek di luar negeri itu melakukan pidana yang memberi dampak langsug pada Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai salah satu 'unsur asing'.

Yang dikatakan sebagai 'unsur asing' secara teori terdiri dari beberapa jenis, misalnya perbedaan kewarganegaraan, domisili, tempat perbuatan, tempat benda berada dan sebagainya. Namun pada esensinya merujuk pada hal yang sama, yaitu memiliki campuran hegemoni hukum dari dan terhadap pihak bukan Negara Indonesia. Maka, kejahatan yang melibatkan 'unsur asing' secara langsung dalam KUHPB otomatis memberikan kewenangan terhadap Pemerintah Indonesia untuk mengurus perbuatan tersebut berdasarkan asas pada pasal 4 sampai dengan pasal 8 KUHPB, dan bentuk kejahatan demikian ada banyak.

Dan harus secara langsung, karena pidana sendiri menekankan asas legalitas serta kepastian hukum. Artinya, harus ada alat bukti yang pasti. Apabila kejahatan berunsur asing terjadi secara tidak langsung, maka masih termasuk dalam Hukum Internasional dan/atau Politik Hukum.

Yang membuat semakin menarik adalah, apabila ada perbuatan yang dikatakan sebagai kejahatan atas kebijakan Indonesia, namun bukan kejahatan di negara tertentu. Misal seperti kebijakan negara asing yang bermuara pada WNA menyiksa WNI di sana, apa WNA itu dapat dikenakan norma pidana penyiksaan yang berlaku di Indonesia? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.

Aturan Dasar Hukum Pengadilan Pidana Internasional.

KUHPB dalam pasal 599 huruf a cukup terang menuangkan bahwa dalam konteks kemanusiaan, yang melanggar aturan dasar hukum internasional dapat dipidana. Tapi apa aturan dasar hukum internasional dalam konteks pidana? Hal ini baru dapat dijawab berdasarkan sejarah dari adanya Pidana Internasional itu sendiri.

Secara singkat dan sederhana, Pidana Internasional datang dari The Nuremberg Trial and The Tokyo War Crimes trial pada tahun 1945-1948, yang tanpa ada kejelasan ketentuan pidana secara tertulis, negara yang dinyatakan sebagai penjahat perang kemudian diadili dalam pengadilan internasional ad hoc tersebut. Karena belum ada perangkat pasti untuk mengadili, pihak di sana kemudian menciptakan hukum berdasarkan hukum internasional yang tertuang dalam The Charter and Judgment of the Nurnberg Tribunal. Singkatnya, Jerman, Itali, dan Jepang didakwa atas empat dakwaan yang meliputi:

  • The common plan or conspiracy;
  • Crimes against peace;
  • War crimes;
  • Crimes against humanity.

Dimana keempat poin tersebut yang menjadi prinsip utama Pidana Internasional pertama. Dalam keadaan semangat geopolitik tinggi untuk memulihkan dunia, keempat prinsip itu kemudian terus berkembang bersama ketentuan internasional lain di PBB yang melahirkan UN Charter yang didalamnya memuat tentang ICJ (International Court of Justice) serta pada tanggal 17 juli 1998, tercetus Statuta Roma yang menciptakan ICC (International Criminal Court.)

Pengadilan Pidana Internasional.

Secara singkat, pengadilan pidana Internasional biasanya bersifat ad hoc, terutama karena melihat subjek hukumnya adalah negara, walaupun subjek hukum internasional tidak selalu itu. adapun pengadilan pidana Internasional ad hoc pernah terjadi di beberapa tempat, meliputi:

  • International Military Tribunal Nurenberg (IMTN) 1946;
  • International Military Tribunal Tokyo (IMTT) 1948;
  • International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) 1993;
  • International Criminal Tribunal for the Rwanda (ICTR) 1994;

Kemudian, pada tahun 1998, Statuta Roma terbit dan pada article 1 dengan jelas menyatakan Pendirian International Criminal Court (ICC) yang kemudian digunakan dalam menangani hal-hal yang secara spesifik terjadi antar orang. Berbeda dengan ICJ yang lahir dari UN Charter dengan objek yang meliputi negara, organisasi internasional, Palang Merah Internasional, Tahta Suci Vatikan, dan Belligerent karena berpondasi dari hukum internasional.

Mengingat bahwa KUHPB mengatur yang mengatur Tindak Pidana juga menyertakan perbuatan orang perseorangan atau badan hukum, maka tergantung daripada konteksnya, KUHPB kemudian dapat menjadi jembatan untuk membawa subjek hukum pidana ke ranah pengadilan pidana internasional, sepanjang delik tersebut memiliki unsur asing yang dapat dibuktikan dengan pasti.

Demikianlah, sedikit tentang ruang lingkup pidana internasional. Melihat begitu luas lingkup pidana internasional dengan begitu banyak peraturan yang dapat dibahas, yang mana isinya sangat menarik, jelas menjadikan pidana internasional adalah topik yang dapat dikembangkan dengan sangat luas.

Namun, artikel ini tidak sempurna, selain karena keterbatasan penulis, juga karena memotong banyak hal yang cukup penting untuk dibahas. Terutama karena pencarian sumber yang sangat banyak akan membuat artikel ini tidak akan selesai dibahas, sementara artikel yang baik adalah artikel yang dapat selesai walaupun banyak kekurangannya.

Juga, karena pencatuman sumber yang sangat banyak dan bersifat teknis, akan menyebabkan artikel ini kehilangan makna singkat dan sederhana. Setidaknya, ada gambaran umum terkait hubungan Pidana di Indonesia dan Hukum Pidana Internasional itu sendiri. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.

Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

Peraturan Perundangan:

KUHPB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun