Suatu undang-undang yang enak dibaca biasanya selalu mengatur tentang subjek hukum yang berperan didalamnya, termasuk juga dalam hal Mahkamah Konstitusi. Tanpa ada norma tentang hakim konstitusi itu sendiri, maka MK sebagai lembaga bermartabat tidak dapat berjalan optimal. Dan dengan demikian, ketentuan tentang Hakim Konstitusi itu juga perlu diatur agar lembaga ini dapat terselenggara sejalan dengan harapan.
Adapun pengaturan tentang Hakim Konstitusi, pasal 15 sampai dengan pasal 27 UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur tentang hal tersebut di bawah judul Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Konstitusi. Adapun pengaturan tersebut terbagi menjadi:
- Pengangkatan Hakim Konstitusi (pasal 15-pasal 21);
- Masa Jabatan Hakim Konstitusi (pasal 22);
- Pemberhentian Hakim Konstitusi (pasal 23-pasal 27);
Terhadap masa jabatan yang ada pada pasal 22 UU 24/2003, ketentuan ini dicabut pada UU 7/2020 (perubahan ketiga UU MK) sekaligus meleburkannya dalam norma yang terkandung pada pasal 4 UU yang sama.
PENGANGKATAN HAKIM KONSTITUSI
Pada dasarnya, Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, adil dan seorang negarawan. Sementara syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi diatur pada pasal 16, yang kemudian dirubah menjadi satu bagian dengan pasal 15 dalam UU 8/2011 Perubahan Pertama UU MK. UU perubahan pertama itu menghapus pasal 16 dan membuat pasal 15 memiliki tambahan ayat dimana pasal 15 ayat 2 mengatur syarat utama pengangkatan hakim konstitusi, dan pasal 15 ayat 3 mengatur syarat administratifnya.
Pasal 15 ini terus berubah hingga dan sebisa penulis mencari tiba pada perubahan ketiga dalam UU 7/2020 tentang Perubahan Ketiga MK. Adapun secara singkat dan sederhana, pasal 15 ayat 2 yang menentukan syarat utama Hakim Konstitusi adalah:
- WNI;
- Berijazah doktor (strata tiga) dengan dasar sarjana (strata satu) yang berlatar belakang pendidikan di bidang hukum;
- Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
- Berusia paling rendah 55 tahun;
- Mampu secara jasmani dan Rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban;
- Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
- Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan
- Mempunyai pengalaman di bidang hukum paling sedikit 15 tahun dan/atau untuk calon hakim yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagai hakim tinggi atau hakim agung.
Adapun persyaratan administratif yang tertuang pada pasal 15 ayat 3 UU 7/2020 pada intinya penyerahan beberapa keterangan yang meliputi:
- Surat pernyataan kesediaan untuk menjadi hakim konstitusi;
- Daftar Riwayat hidup;
- Menyerahkan fotokopi ijazah yang dilegalisasi;
- Menunjukkan ijazah asli;
- Laportan harta kekayaan dan sumber penghasilan ditambah dokumen pendukung yang sah dari lembaga berwenang;
- NPWP.
Apabila kemudian melakukan perbandingan antara perubahan kedua (UU 4/2014) dan perubahan ketiga (UU 7/2020), maka akan ditemukan bahwa huruf (i) tidak masuk ke dalam perubahan ketiga. Pasal 15 ayat 2 huruf (i) dalam UU 4/2014 itu sendiri berbunyi:
"tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7(tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi."
Bunyi tersebut tidak ada dalam perubahan ketiga. Ini menjadi menarik, karena biasanya bila suatu perubahan perundangan dilakukan, maka seluruh komponen pembentuk norma itu harus diikutsertakan agar terjadi kepastian hukum. Itu juga yang menyebabkan perubahan pada pasal 15 mengikutsertakan huruf-huruf lain, walaupun tidak semua norma dalam huruf berubah.
Hal yang sama juga terjadi pada syarat administratif dimana dalam perubahan kedua MK pasal 15 ayat 3 huruf (f) UU 4/2014 yang berbunyi: "surat pernyataan tidak menjadi anggota partai politik." Dimana persyaratan ini tidak ada lagi dalam UU 7/2020. Hal ini semakin menarik karena pada pasal 17 UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi:
"hakim konstitusi dilarang merangkap menjadi: pejabat negara lainnya; anggota partai politik; pengusaha; advokat; atau pegawai negeri."
Maka, ketika norma pasal 15 ayat 2 huruf (i) dan pasal 15 ayat 3 huruf (f) itu tidak disertakan dalam perubahan ketiga, dapat dipertanyakan kekuatan norma tersebut. Pertanyaan sederhana saja, kenapa norma dalam pasal 15 ayat 2 huruf (i) dan pasal 15 ayat 3 huruf (f) tidak disertakan? Bilapun tidak berlaku, mengapa sempat dituangkan atau mengapa tidak dinyatakan dicabut seperti peraturan perundangan lain?
Apa mungkin, hakim konstitusi boleh merangkap sebagai anggota partai politik dengan pola penalaran bahwa pelarangan pasal 17 dimaknai secara alternatif dan bukan kumulatif? Untuk jawabannya, penulis serahkan ke pembaca.
Kemudian, Pasal 18 membunyikan norma yang pada intinya merupakan komposisi Hakim Komposisi. 3 orang diajukan oleh MA, 3 orang diajukan oleh Presiden, 3 orang diajukan oleh DPR. Pada perkembangannya, pasal 18 kemudian menyisipkan dan menambah normanya menjadi pasal 18A, pasal 18B, dan pasal 18C. Hal ini dilakukan dalam UU 4/2014 Perubahan Kedua MK.
Pasal 18A pada intinya bicara tentang uji kelayakan dan kepatutan Calon Hakim Konstitusi yang dilaksanakan oleh Panel Ahli. Calon Hakim Konstitusi diajukan oleh Kepresidenan/DPR/MA. Apabila calon itu dinyatakan lulus, maka calon itu menjadi Hakim Konstitusi. Apabila tidak lulus, maka Kepresidenan/MA/DPR dapat memajukan nama lain, dimana pengajuan calon hakim konstitusi dapat dilakukan sebanyak tiga kali. Pemajuan calon hakim juga ditentukan atas kebutuhan Hakim Konstitusi yang diperlukan.
Yang menarik adalah, kekosongan norma saat uji seleksi hakim konstitusi sudah dilakukan tiga kali, namun tidak ada yang menembus kriteria uji kelayakan dan kepatutan dari Panel Ahli. Apabila tidak ada yang lulus uji seleksi, dengan demikian tidak ada hakim konstitusi? atau hakim konstitusi aktif kemudian tidak diganti hingga akhirnya ada yang dinyatakan lolos ujian seleksi, walaupun hakim konstitusi aktif tersebut tidak dapat lagi menjadi hakim konstitusi? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.
Dalam 18C UU 4/2014 Perubahan Kedua MK, dikatakan bahwa komposisi panel ahlipun terdiri atas tujuh orang, dengan 3 orang masing-masing dari Presiden, DPR, dan MA, ditambah 4 orang dari Komisi Yudisial dengan persyaratan mendetil tertuang pada peraturan Komisi Yudisial.
PEMBERHENTIAN HAKIM
Pemberhentian Hakim diatur pada pasal 23 sampai dengan pasal 27 dalam UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Secara sederhana, pemberhentian hakim dibagi menjadi dua kategori, yaitu diberhentikan dengan hormat, dan diberhentikan dengan tidak hormat. Format kategori tidak berubah sampai pada perubahan ketiga yaitu UU 7/2020. Adapun secara singkat, pemberhentian dengan hormat dilakukan atas dasar:
- Meninggal dunia;
- Mengundurkan diri;
- Telah berusia 70 tahun;
- Sakit jasmani atau Rohani yang dibuktikan dengan surat dokter;
Tidak dijelaskan tentang maksud Sakit rohani, apa sakit rohani yang dimaksud berada dalam ranah psikologikal atau di dalam lingkup spiritual, atau dalam spektrum lain. Terutama, karena rohani sendiri memiliki dua pandangan, dimana ada yang menyatukan keadaan spiritual dan keadaan psikologis adalah sama, sementara ada yang membedakan keadaan spiritual dan keadaan psikologis.
Pada pandangan yang memisahkan keadaan psikologis dan keadaan spiritual, keduanya memiliki terminologi yang dekat dengan pemaknaan dokter, antara psikiater secara medis, atau dukun putih/pemuka agama secara metafisis (mengingat hukum pidana Indonesia juga memasukkan delik santet yang sangat unik, namun hal ini perkara lain.)
Dan dengan demikian, penulis serahkan pada pembaca dalam memaknai sakit rohani yang dapat dibuktikan dengan surat dokter. Yang jelas, pada intinya keadaan sakit jasmani dan sakit rohani dalam ketentuan tersebut harus bermuara pada keadaan tidak menjalankan tugas selama tiga bulan secara terus menerus.
Kemudian, pasal 23 ayat 2 UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjelaskan tentang pemberhentian hakim dengan tidak hormat. Pada intinya, pemberhentian hakim dengan tidak hormat dilakukan karena:
- dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
- Melakukan perbuatan tercela (melakukan perbuatan yang dapat merendahkan martabat hakim konstitusi);
- Tidak hadir persidangan selama 5 kali berturut-turut tanpa alasan sah (persidangan dalam pemeriksaan perkara);
- Melanggar sumpah atau janji jabatan;
- Dengan sengaja menghambat MK memberi putusan (dalam hal putusan pendapat DPR terhadap Presiden);
- Melanggar larangan pasal 17(yang mengatur tentang larangan bagi hakim konstitusi);
- Tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi.
Kemudian dalam perkembangannya, pasal 23 ayat 2 ini mengalami perubahan, hingga pada perubahan ketiga, yaitu UU 7/2020, merubah beberapa rumusan, yang pada intinya meliputi:
- Untuk huruf (a), tidak lagi mensyaratkan pidana berdasarkan jangka waktu pemenjaraan. Artinya, selama pidana tersebut adalah pidana penjara, maka hakim konstitusi dapat diberhentikan secara tidak hormat;
- Penambahan huruf (h) yang berbunyi: "melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi."
Hakim konstitusi diberi kesempatan membela diri dalam hal pemberhentian tidak hormat yang berkaitan dengan perbuatan tercela, tidak hadir dalam persidangan pemeriksaan perkara 5 kali berturut-turut, melanggar sumpah atau janji jabatan, sengaja menghambat putusan MK terhadap pendapat DPR tentang presiden, merangkap menjadi pejabat negara lain, anggota partai politik, pengusaha, advokat, atau pegawai negeri, tidak memenuhi syarat sebagai Hakim Konstitusi, atau melanggar kode etik. Pembelaan hakim konstitusi ini dilakukan dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Demikianlah sedikit tentang Pengangkatan dan Penghentian Hakim Konstitusi. Artikel minimalis ini tidak sempura karena menekankan kesederhanaan dan karena keterbatasan penulis, sehingga ada banyak hal yang tidak dapat tertuang. Namun penulis harap artikel ini dapat memberikan gambaran umum tentang bagaimana seorang hakim itu dapat diangkat menjadi Hakim Konstitusi ataupun diberhentikan. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.
Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Peraturan perundangan:
UU 24/2003 tentang MK
UU 8/2011 tentang perubahan pertama MK
UU 4/2014 tentang perubahan kedua MK
UU 7/2020 tentang perubahan ketiga MK
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H