Pada era modern seperti sekarang, Hukum terstigma sebagai norma-norma yang dikodifikasi menjadi beragam peraturan perundangan. Dan acap kali, dapat ditemukan norma-norma yang kemudian tidak lagi relevan, atau mungkin terjadi antinomi dengan peraturan perundangan lainnya, yang membuat ketidakpastian hukum terjadi, baik secara horizontal maupun secara vertikal.
Dalam teori hukum umum, dikenal asas lex superior derogat legi inferiori, dimana suatu peraturan dapat mengalahkan peraturan yang ada dibawahnya dan dengan demikian peraturan dibawahnya harus selaras dengan peraturan diatasnya. Asas ini sering digunakan dalam teori tata negara, terutama yang dikenal dalam teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky dengan skema piramida hierarki tata negara. Aplikasi teori tersebut juga dapat ditemukan di Indonesia, yang meletakkan Pancasila atau Konstitusi, sebagai norma tertinggi dan superior dari segenap peraturan perundangan yang ada.
Terlepas antara Pancasila atau Konstitusi yang kemudian menjadi norma tertinggi Negara Indonesia dan sangat panjang untuk didebat, kali ini penulis akan melihat pada undang-undang dan bagaimana suatu norma kemudian dinyatakan tepat, atau sebaliknya, tidak tepat dan dengan demikian dapat diadili sebagai suatu bunyi yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Dan untuk mengadili suatu norma, kita mengenal apa yang dinamakan Mahkamah Konstitusi. Terlepas dari banyaknya peristiwa yang terjadi belakangan ini, Mahkamah Konstitusi tetaplah suatu lembaga dengan kewibawaan dan martabat yang sangat tinggi. Tapi mengapa dikatakan berwibawa? Apa sebenarnya Mahkamah Konstitusi itu? Dan atas pertanyaan tersebut, penulis kemudian mulai membuat serial ini. Dan tentu saja, secara singkat, sederhana, dan lebih dekat kepada spektrum sosial budaya daripada spektrum hukum itu sendiri.
PEMBENTUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI.
Dari segi hukum positif, kata 'Mahkamah Konstitusi' muncul saat amandemen ketiga UUD NRI, dalam pasal 7B ayat 1 yang berbunyi:
"usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden."
Kemudian, dalam kewenangannya sebagai lembaga, Mahkamah Konstitusi kemudian tertuang pada Bab IX Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat 2 UU NRI Amandemen ketiga, yang berbunyi:
"Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi."
Lalu, pada amandemen keempat UUD NRI 1945, bagian Aturan Peralihan pasal III, ada tertuang:
"Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung."