Menurut Black Law Fourth Edition, Actio Arbitraria adalah "action depending on the discretion of the judge. In this, unless defendant would make amends to plaintiff as dictated by the judge in his discretion, he was liable to be condemned". Dalam Bahasa Indonesia, actio arbiraria dapat diartikan sebagai perbuatan hukum berdasarkan keputusan hakim.
Perbuatan hukum berdasarkan keputusan hakim yang dimaksud merujuk pada paksaan agar tergugat memulihkan kerugian kepada penggungat sesuai dengan keputusan yang ditetapkan oleh hakim, apabila tergugat tidak melaksanakannya, tergugat tersebut boleh untuk tetap dipersalahkan hingga melaksanakan keputusan hakim.
Penjabaran tentang asas ini dapat ditemukan dalam A Systematic and Historical Exposition of Roman Law karya Hunter. Penjabaran yang beliau lakukan membagi fungsi actio arbitraria menjadi fungsi khusus dan fungsi umum. Fungsi khusus actio arbitraria merujuk pada hukum kontrak.
Dalam koridor hukum kontrak, actio arbitraria memiliki tempat sebagai salah satu unsur pembentuk kontrak. Unsur pembentuk kontrak sendiri terbagi menjadi beberapa segmen, yaitu unsur Tempat (locus), Waktu (tempus), dan Keadaan (conditio) yang kemudian membatasi perbuatan antara peranan dan tanggung jawab termasuk perbuatan yang bersifat memaksa atau tidak memaksa.
Actio arbitraria sendiri kemudian masuk pada segmen Tempat pada unsur pembentuk kontrak. Dalam buku tersebut, ada tertuang bahwa "when a man has stipulated that something shall be given him in a certain place, and then claims it in another place, without making intention of the place in which he stipulated it should be given him...when, therefore, a claim is made elsewhere, an actio arbitraria is given to the claimant, in which account is taken of the advantage that would have been open to the promiser if he paid at that price."
Pada intinya, ketika ada dua atau lebih subjek hukum yang menyepakati penyerahan barang disuatu tempat, namun pada implementasinya, barang itu diterima oleh penerima di tempat yang berbeda dengan yang sudah disepakati di dalam kontrak. Pada konteks tersebutlah, maka actio arbitraria dapat diberlakukan.
Latar belakang terjadinya perbuatan tersebut adalah karena setiap tempat biasanya memiliki regulasi teknis tersendiri dalam menyelenggarakan kebijakan, termasuk juga kebijakan tentang penetapan harga yang juga terkait dengan kepentingan terhadap nilai moneter dalam objek-objek tertentu yang menjadi komoditasnya.
Sebagai analogi, misal terhadap kontrak antara Pembeli, Penjual, dan Pembayar terhadap komoditas pisang. Perjanjian menuangkan Pembeli membayar seratus juta kepada Penjual yang dibayarkan oleh Pembayar lebih dahulu di Bekasi ketika barang sudah diantar. Barang diantar namun uang belum dibayarkan hingga masa tenggang waktu selesai. Pada posisi tersebut, maka Penjual dapat menggugat Pembayar walaupun tidak kota Bekasi, misal gugatan diajukan di Majalengka.
Dari hal ini, dapat diketahui bahwa actio arbitraria pada dasarnya bersifat dinamis dan dapat langsung digunakan dimana saja. Pada spektrum hukum kontrak ini, actio arbitraria juga dikenal dengan asas actio de eo quod certo loco, yang menjelaskan bahwa tempat yang pasti menjadi salah satu dasar dilaksanakannya kontrak.
Seperti yang sudah dibahas, asas perbuatan hukum actio merujuk pada perbuatan hukum dalam spektrum yudikatif. Ini artinya ada pihak ketiga, yaitu peradilan baik secara litigasi atau non-litigasi, untuk ikut hadir dalam melakukan perbuatan. Termasuk juga dalam actio arbitraria, yang merujuk pada penyelesaian sengketa di luar pengadilan itu sendiri.
Pelaksanaan actio arbitraria mengfungsikan hakim untuk memutuskan harga yang disepakati pada kontrak antara dua subjek. Penentuan harga itu dapat dinaikkan ketika penggugat kehilangan keuntungan dari perubahan tempat diterimanya komoditas tersebur. Atau sebaliknya, ketika tergugat menyetujui perubahan tempat penerimaan komoditas maka peradilan, dalam hal ini juga lembaga arbitrase, dapat memberikan akomodasi tambahan, seperti keamanan dan sebagainya.
Selain pada hukum kontrak, actio arbitraria digunakan pada formulae in factum conceptae atau dalam Bahasa Indonesia adalah perumusan gagasan untuk tindakan. Secara praktis, hakim dalam mengambil keputusan akan melihat fakta hukum secara formal yang bermuara pada ide-ide yang akan dijatuhkan pada tergugat. Ide-ide tersebut diformulasikan lebih dahulu lewat diskusi, pertimbangan, dan lain sebagainya, sebelum akhirnya dituangkan dalam bentuk putusan.
Perumusan tersebut ditujukan pada sengketa yang memberikan bingkai tindakan yang harus dilakukan oleh tergugat, dan bentuknya sangat beragam. Actio arbitraria sendiri kemudian dijadikan suatu partikel putusan dalam pertimbangan hakim, yang sifatnya dapat memberikan keringanan ketika tergugat mengakui kesalahannya.
Pada buku yang sama, ada berbunyi "the form 'unless he gives up' was said to constitute an arbitraria actio... Unless the defendant makes amends to the plaintiff at the judge's dicretion-gives up, for instance, the things, or produces it, or pays, or surrenders the slave in a case of wrong doing-he must be condemned... the action for production also depends on the judge's discretion."
Hal tersebut menjelaskan bahwa actio arbitraria dalam pertimbangan hakim merupakan hak prerogatif para hakim itu sendiri. Karena, hakim memiliki kebebasan mengambil keputusan untuk menjatuhkan putusan terhadap tergugat. Ketika tergugat mengakui kesalahan terhadap penggugat, secara otomatis hakim mempertimbangkan tindakan terhadap tergugat dapat diringankan.
Merujuk pada aktivasi actio arbitraria yang dapat dijatuhkan bebas oleh hakim sesuai diskresinya, asas ini secara umum berfungsi sebagai pertimbangan hakim dalam menilai kelayakan tergugat untuk dimandat melakukan suatu perbuatan hukum yang tertuang dalam putusan, dan dengan hakim sebagai sumbernya, maka asas ini dapat diberlakukan secara umum, dalam konteks pidana maupun perdata.
Di Indonesia, actio arbitraria dapat terlihat dalam pertimbangan hakim yang tertuang dalam bentuk-bentuk kalimat yang mungkin secara kasat mata tidaklah menjadi beban perkara. Implementasi actio arbitraria secara konkret dapat dilihat dari banyak yurisprudensi yang mempertimbangkan etika atau moral tergugat seperti halnya 'sudah berlaku sopan' dan digunakan sebagai hal yang meringankan tergugat, dimana hal ini sudah berlaku secara umum. Mirip dengan argumentum ad hominem, namun untuk hal itu akan dituang di lain waktu.
Kembali pada dikresi hakim memutus perkara, tidak semua hakim menerapkan actio arbitraria dalam setiap kasus. Karena banyak juga hakim yang tidak terlalu memperdulikan sikap dari tergugat dalam peradilan. Apapun putusan yang hakim jatuhkan untuk dilaksanakan tergugat, pada akhirnya penggunaan actio arbitraria kembali bersifat dinamis, sangat tergantung dengan siapa hakimnya dan kebijaksanaannya dalam menimbang perbuatan tergugat.
Demikianlah, actio arbitraria merupakan asas perbuatan hukum yang bermuara dari hakim kepada tergugat lewat putusan. Actio arbitraria digunakan dalam spektrum hukum perdata secara khusus, dan secara umum digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan suatu perkara hukum, baik dalam ranah perdata atau pidana.
Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Referensi :
Black Law Dictionary Fourth Edition.
Hunter. A Systematic and Historical Exposition of Roman Law.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H