Sebagai analogi dari spektrum hukum pidana, seseorang mengendarai mobil lalu menabrak orang, lalu yang ditabrak itu mati. Umumnya, seseorang tidak akan memiliki niatan untuk menabrak orang, apalagi sampai mati. Dari hal ini, maka jelas perbuatan orang tersebut tidak memiliki kesejangaan (Dolus), namun orang tersebut jelas memiliki kealpaan (culpa).
Kealpaan yang terjadi tidak serta melepaskan pengendara mobil itu dari kesalahan yang dia timbulkan. Orang tersebut harus tetap bertanggung jawab atas kematian orang yang ditabraknya karena oleh ketidakwaspadaannya. Hal ini juga diatur dalam Pasal 359 KUHP yang berbunyi "Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun."
Pada KUHP Baru, pasal 474 berbunyi "Setiap Orang yang karena kealpaannya orang lain luka sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan jabatan, mata pencaharian, atau profesi selama waktu tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II."
Kecuali ketika dalam pemeriksaan pengendara mobil itu terbukti memang ingin menabrak orang tersebut, terlebih sampai mati, maka pasal yang dikenakan bukan kealpaan, melainkan pasal pembunuhan. Apapun itu, analogi sederhana tersebut memberikan gambaran bahwa perbuatan hukum tanpa kehendak dapat melahirkan akibat hukum yang tidak dikehendaki.
Adapun yang bukan perbuatan hukum, selain perbuatan itu tidak memiliki kehendak, perbuatan tersebut pada dasarnya tidak dilarang oleh hukum, atau sebaliknya, bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan melawan atau melanggar hukum. Juga, yang bukan perbuatan hukum berpengaruh dari lingkungan masyarakat menilai perbuatan itu mengganggu ketertiban umum atau tidak.
Besarnya pengaruh dari lingkungan masyarakat berangkat dari dikotomi hukum, yang meliputi hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, ditambah dengan keberlakuan yang hidup di wilayah masyarakat tertentu. Hal ini sangat mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Misal, sepasang pemuda-pemudi melakukan persenggamaan di luar nikah, dalam lingkungan yang pada umumnya memperbolehkan hal itu terjadi karena bersenggama adalah hal yang setelah sah berdasarkan surat juga akan dilakukan, maka perbuatan mereka bukan perbuatan melawan hukum.
Lain cerita apabila pemuda-pemudi tersebut kemudian melakukan persenggamaan di luar nikah pada lapisan masyarakat yang mengutuk perbuatan tersebut. Terlepas dari KUHP baru yang menyatakan hal tersebut adalah delik aduan, bila kemudian masyrakat disana terganggu dengan aktivitas mereka, maka suatu pidana adat atau pidana agama dapat dilakukan, misal dengan menstigmakan mereka tidak beretika, tidak bermoral, zalim, atau menjatuhkan hukum cambuk, dan lain sebagainya.
Demikianlah, 'Actio' merujuk pada suatu perbuatan hukum, baik dalam konteks khusus yaitu dalam pengadilan, maupun dalam konteks umum yaitu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Banyaknya terminologi serta cakupannya yang luas ke banyak bidang-bidang hukum membuktikan morfem yang merujuk pada perbuatan ini adalah hal esensial dalam keberlakuan hukum serta sistem hukum, hingga memiliki teorinya sendiri.
Referensi :
Black Law Dictionary
Corpus Juris Civilis. Vol. 1. Tit Vi Deactionibus. Hlm 33.