Menurut Black Law Dictionary Fourth Edition, ab assuetis non fit injuria bermakna "from things to which one is accustomed (or in which there has been long acquiescene) no legal injury or wrong arises. If a person neglect to insist on his right, he is deemed to have abandoned it". Bila dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, maka setidaknya berarti "dari hal yang sudah menjadi kebiasaan (atau dimana telah diterima secara umum), tidak ada luka atau kesalahan hukum yang bangun. Bila subjek hukum menelantarkan haknya, dia dianggap telah meninggalkannya".
Penggunaan asas ini dapat dilihat pada buku Eight Centuries of Reports oleh Jenkins, yang pada bagian Judgements of The Sages of The Law Against Innovations tertuang dengan bunyi : "Ab assuentis non fit injuria. Nil temere novandum. Fiat quod prius fieri consuevit. novatio non tam utilitate prodest, quam novitiate perturbat.".Â
Arti daripada kalimat latin tersebut kurang lebih, "apa yang sudah menjadi kebiasaan tidak menimbulkan penyakit hukum. Tiada perubahan yang cepat. Biarkan kebiasaan terus terjadi. inovasi tidak menguntungkan kegunaan, kecuali gangguan baru". Secara kontekstual, kalimat tegas tersebut bicara tentang kepastian hukum Common Law yang mendasarkan diri pada adat kebiasaan.
Adanya asas ini menjadi bagian kecil dari konsep kepastian hukum, dapat dilihat dari peletakannya di dalam bab yang dari judulnya sudah menentang perubahan itu sendiri. Apabila bab tersebut dibaca, akan terlihat penolakan terhadap inovasi pada hukum dari masa ke masa, karena inovasi dapat membuat orang-orang kehilangan 'iman' terhadap hukum itu sendiri.
Selain itu, dari nada yang menekankan tradisi serta kebiasaan, asas ab assuetis non fit injuria juga dapat digunakan terhadap budaya hukum, yang biasa tidak tertulis. Kegiatan tersebut dapat bermuara pada praktik yang dilakukan masyarakat dan dianggap sudah lumrah, kendati bisa disimpulkan melanggar hukum itu sendiri. Misalnya, uang terima kasih.
Uang terima kasih dapat dinilai sebagai tindakan suap atau gratifikasi selaras dengan konteks yang berlaku dalam suatu perbuatan hukum. Namun tidak bisa dipungkiri, hal ini merupakan bagian dari budaya yang terjadi di Indonesia, dan bukan terjadi dalam ranah birokrasi saja, melainkan masyarakat sendiri sudah secara tidak langsung menyetujui adanya perbuatan seperti itu, karena ada nilai balas jasa yang dapat dikenang saat hal tersebut bermuara pada hasil yang tepat.
Sebaliknya, apabila balas jasa tersebut tidak dilakukan, kesenjangan dapat terjadi, walaupun balas jasa tersebut tidak dilakukan atas kepatuhan terhadap produk hukum tertentu. Relasi yang dibangun dapat merenggang, dan pada muaranya dapat menyebabkan inefisiensi bila suatu tujuan wajib dilakukan bersama-sama.Â
Kembali pada asas ab assuetis non fit injuria, asas yang berbunyi "apa yang sudah menjadi kebiasaan tidak menimbulkan penyakit hukum" menekankan bahwa tradisi budaya hukum menjadi salah satu faktor hukum dapat berjalan dengan stabil, terlepas kebiasaan apa yang terbentuk. Hal ini meletakkan asas a quo adalah komponen dari konsep kepastian hukum.
Kemudian, asas ini juga tersirat dalam buku Ambler Reports, bagian kasus Francis against Ruckers and other. Dalam kasus tersebut, muncul pertanyaan krusial yang mendasari seseorang dapat memiliki piutang atau tidak karena ketentuan kontrak yang berlaku bagi keduanya.
Sebagai duduk perkara, kasus ini bicara tentang jual beli jagung antara penggugat dan kelompok pedagang dibawah nama Hagen dan Wolfman untuk diekspor ke area Mediterania, dimana kemudian penggugat dan tertugat menerbitkan Bill of Exchange. Setelah bisnis berjalan, tiba-tiba perusahaan Hagen dan Wolfman dinyatakan pailit.
Kebangkrutan tersebut membuat residu dalam transaksi penggugat dan tergugat. Adalah Francis, seorang yang mengaku sebagai Payee (pihak yang harus mendapatkan bayaran), kemudian menggugat Hagen dan Ruckers. Dia menuntut agar pembayaran sesuai Bill of Exchange dilakukan dengan pembayaran sebesar 20 cent per jagung sebagai uang ganti rugi.
Majelis hakim pertama menyatakan bahwa Francis hanya berhak mendapatkan pembayaran sebesar yang tertera di Bill of Exchange, namun tidak berhak membayarkan ganti rugi tersebut. Francis kemudian meminta pada Lord Chancellor, yang termasuk otoritas tertinggi dalam hukum Common Law untuk mempertimbangkan pembayaran tersebut.
Majelis hakim saat itu kemudian mengatakan bahwa 20 sen tersebut juga harus dibayarkan kepada penggugat, karena Francis memintakan hal tersebut, layaknya hutang yang terjadi ketika perusahaan belum pailit dan terjadi pertukaran jual beli tersebut. Hal tersebut bermuara pada bentuk pertanggungjawaban subjek hukum yang walaupun pailit tetap harus melunasi segenap perjanjiannya.
Namun, keberlakuan ab assuetis non fit injuria memiliki peran, dalam arti "subjek hukum menelantarkan haknya, dia dianggap telah meninggalkannya", terletak pada proses yang terjadi dalam kasus. Pada kasus, Francis mengalami 'kekalahan' karena di persidangan tingkat pertama tidak mengindahkan 20 sen tersebut. Keputusan tersebut berubah saat Francis mengajukan kasus ke tingkat selanjutnya.
Apabila dilihat dalam konteks keindonesiaan, maka hal yang serupa dapat dilihat dari bagaimana penggugat berusaha melakukan upaya hukum setelah melewati persidangan mula-mula. Secara sederhana, penggugat tersebut meminta keadilan dan mengajukan kasusnya mulai dari tingkat pertama hingga tingkat terakhir.
Namun yang menjadi titik tolaknya adalah, bahwa hal tersebut harus dilakukan oleh penggugat, kemudian penggugat harus mengalami kekalahan terlebih dahulu di tingkat pertama. Secara sederhana, upaya hukum yang dapat dilakukan secara mutatis mutandis dapat disamakan dengan kasasi demi kepentingan hukum.
Kasasi dan kasasi demi kepentingan hukum merupakan bentuk upaya hukum yang berbeda. Kasasi adalah upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang belum puas dengan keputusan, biasanya yang mengajukan adalah pihak tergugat. Sementara kasasi demi kepentingan hukum merupakan upaya hukum luar biasa yang hanya diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Dan sebisa yang penulis cari, rasio dari kasus yang berubah putusan ketika terjadi pengajuan kasus dari tingkat pertama hingga terakhir itu jarang terjadi. Hal ini karena sebagian besar kasus yang naik tingkat dilakukan oleh pihak yang kalah, terutama para tergugat. Dan, biasanya tergugat yang melakukan hal tersebut biasanya tidak lagi mencari keadilan, melainkan mencari kemanfaatan agar tidak dipidana. Hal ini sering terlihat dari kasus-kasus korupsi.
Terlepas dari hal itu, asas ab assuetis non fit injuria mengisyaratkan bahwa masyarakat yang benar-benar mengalami ketidakadilan berhak untuk memajukan hukum hingga tingkat terakhir. Hal ini menempatkan ab assuetis non fit injuria ada dalam ranah asas hukum umum, karena tindakan seperti ini tidak diatur secara konkret dalam undang-undang, serta menjadi pilihan mutlak bagi pihak penggunanya
Demikianlah, Ab assuetis non fit injuria merupakan bagian dari asas kepastian hukum dalam konteks konstitusional, namun merupakan asas hukum umum dalam beracara.
Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
referensi :
Black law dictionary fourth edition. Ab assuetis non fit injuria.
Jenkins. Eight Centuries of Reports. Introduction VI
Ambler. The report. Francis against Rucker and the other. 672-676.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H