Majelis hakim pertama menyatakan bahwa Francis hanya berhak mendapatkan pembayaran sebesar yang tertera di Bill of Exchange, namun tidak berhak membayarkan ganti rugi tersebut. Francis kemudian meminta pada Lord Chancellor, yang termasuk otoritas tertinggi dalam hukum Common Law untuk mempertimbangkan pembayaran tersebut.
Majelis hakim saat itu kemudian mengatakan bahwa 20 sen tersebut juga harus dibayarkan kepada penggugat, karena Francis memintakan hal tersebut, layaknya hutang yang terjadi ketika perusahaan belum pailit dan terjadi pertukaran jual beli tersebut. Hal tersebut bermuara pada bentuk pertanggungjawaban subjek hukum yang walaupun pailit tetap harus melunasi segenap perjanjiannya.
Namun, keberlakuan ab assuetis non fit injuria memiliki peran, dalam arti "subjek hukum menelantarkan haknya, dia dianggap telah meninggalkannya", terletak pada proses yang terjadi dalam kasus. Pada kasus, Francis mengalami 'kekalahan' karena di persidangan tingkat pertama tidak mengindahkan 20 sen tersebut. Keputusan tersebut berubah saat Francis mengajukan kasus ke tingkat selanjutnya.
Apabila dilihat dalam konteks keindonesiaan, maka hal yang serupa dapat dilihat dari bagaimana penggugat berusaha melakukan upaya hukum setelah melewati persidangan mula-mula. Secara sederhana, penggugat tersebut meminta keadilan dan mengajukan kasusnya mulai dari tingkat pertama hingga tingkat terakhir.
Namun yang menjadi titik tolaknya adalah, bahwa hal tersebut harus dilakukan oleh penggugat, kemudian penggugat harus mengalami kekalahan terlebih dahulu di tingkat pertama. Secara sederhana, upaya hukum yang dapat dilakukan secara mutatis mutandis dapat disamakan dengan kasasi demi kepentingan hukum.
Kasasi dan kasasi demi kepentingan hukum merupakan bentuk upaya hukum yang berbeda. Kasasi adalah upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang belum puas dengan keputusan, biasanya yang mengajukan adalah pihak tergugat. Sementara kasasi demi kepentingan hukum merupakan upaya hukum luar biasa yang hanya diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Dan sebisa yang penulis cari, rasio dari kasus yang berubah putusan ketika terjadi pengajuan kasus dari tingkat pertama hingga terakhir itu jarang terjadi. Hal ini karena sebagian besar kasus yang naik tingkat dilakukan oleh pihak yang kalah, terutama para tergugat. Dan, biasanya tergugat yang melakukan hal tersebut biasanya tidak lagi mencari keadilan, melainkan mencari kemanfaatan agar tidak dipidana. Hal ini sering terlihat dari kasus-kasus korupsi.
Terlepas dari hal itu, asas ab assuetis non fit injuria mengisyaratkan bahwa masyarakat yang benar-benar mengalami ketidakadilan berhak untuk memajukan hukum hingga tingkat terakhir. Hal ini menempatkan ab assuetis non fit injuria ada dalam ranah asas hukum umum, karena tindakan seperti ini tidak diatur secara konkret dalam undang-undang, serta menjadi pilihan mutlak bagi pihak penggunanya
Demikianlah, Ab assuetis non fit injuria merupakan bagian dari asas kepastian hukum dalam konteks konstitusional, namun merupakan asas hukum umum dalam beracara.
Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
referensi :