Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 8 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ab Assuetis Non Fit Injuria

22 Desember 2023   19:53 Diperbarui: 22 Desember 2023   19:53 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menurut Black Law Dictionary Fourth Edition, ab assuetis non fit injuria bermakna "from things to which one is accustomed (or in which there has been long acquiescene) no legal injury or wrong arises. If a person neglect to insist on his right, he is deemed to have abandoned it". Bila dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, maka setidaknya berarti "dari hal yang sudah menjadi kebiasaan (atau dimana telah diterima secara umum), tidak ada luka atau kesalahan hukum yang bangun. Bila subjek hukum menelantarkan haknya, dia dianggap telah meninggalkannya".

Penggunaan asas ini dapat dilihat pada buku Eight Centuries of Reports oleh Jenkins, yang pada bagian Judgements of The Sages of The Law Against Innovations tertuang dengan bunyi : "Ab assuentis non fit injuria. Nil temere novandum. Fiat quod prius fieri consuevit. novatio non tam utilitate prodest, quam novitiate perturbat.". 

Arti daripada kalimat latin tersebut kurang lebih, "apa yang sudah menjadi kebiasaan tidak menimbulkan penyakit hukum. Tiada perubahan yang cepat. Biarkan kebiasaan terus terjadi. inovasi tidak menguntungkan kegunaan, kecuali gangguan baru". Secara kontekstual, kalimat tegas tersebut bicara tentang kepastian hukum Common Law yang mendasarkan diri pada adat kebiasaan.

Adanya asas ini menjadi bagian kecil dari konsep kepastian hukum, dapat dilihat dari peletakannya di dalam bab yang dari judulnya sudah menentang perubahan itu sendiri. Apabila bab tersebut dibaca, akan terlihat penolakan terhadap inovasi pada hukum dari masa ke masa, karena inovasi dapat membuat orang-orang kehilangan 'iman' terhadap hukum itu sendiri.

Selain itu, dari nada yang menekankan tradisi serta kebiasaan, asas ab assuetis non fit injuria juga dapat digunakan terhadap budaya hukum, yang biasa tidak tertulis. Kegiatan tersebut dapat bermuara pada praktik yang dilakukan masyarakat dan dianggap sudah lumrah, kendati bisa disimpulkan melanggar hukum itu sendiri. Misalnya, uang terima kasih.

Uang terima kasih dapat dinilai sebagai tindakan suap atau gratifikasi selaras dengan konteks yang berlaku dalam suatu perbuatan hukum. Namun tidak bisa dipungkiri, hal ini merupakan bagian dari budaya yang terjadi di Indonesia, dan bukan terjadi dalam ranah birokrasi saja, melainkan masyarakat sendiri sudah secara tidak langsung menyetujui adanya perbuatan seperti itu, karena ada nilai balas jasa yang dapat dikenang saat hal tersebut bermuara pada hasil yang tepat.

Sebaliknya, apabila balas jasa tersebut tidak dilakukan, kesenjangan dapat terjadi, walaupun balas jasa tersebut tidak dilakukan atas kepatuhan terhadap produk hukum tertentu. Relasi yang dibangun dapat merenggang, dan pada muaranya dapat menyebabkan inefisiensi bila suatu tujuan wajib dilakukan bersama-sama. 

Kembali pada asas ab assuetis non fit injuria, asas yang berbunyi "apa yang sudah menjadi kebiasaan tidak menimbulkan penyakit hukum" menekankan bahwa tradisi budaya hukum menjadi salah satu faktor hukum dapat berjalan dengan stabil, terlepas kebiasaan apa yang terbentuk. Hal ini meletakkan asas a quo adalah komponen dari konsep kepastian hukum.

Kemudian, asas ini juga tersirat dalam buku Ambler Reports, bagian kasus Francis against Ruckers and other. Dalam kasus tersebut, muncul pertanyaan krusial yang mendasari seseorang dapat memiliki piutang atau tidak karena ketentuan kontrak yang berlaku bagi keduanya.

Sebagai duduk perkara, kasus ini bicara tentang jual beli jagung antara penggugat dan kelompok pedagang dibawah nama Hagen dan Wolfman untuk diekspor ke area Mediterania, dimana kemudian penggugat dan tertugat menerbitkan Bill of Exchange. Setelah bisnis berjalan, tiba-tiba perusahaan Hagen dan Wolfman dinyatakan pailit.

Kebangkrutan tersebut membuat residu dalam transaksi penggugat dan tergugat. Adalah Francis, seorang yang mengaku sebagai Payee (pihak yang harus mendapatkan bayaran), kemudian menggugat Hagen dan Ruckers. Dia menuntut agar pembayaran sesuai Bill of Exchange dilakukan dengan pembayaran sebesar 20 cent per jagung sebagai uang ganti rugi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun