Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 7 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

A Facto Ad Jus Non Datur Consequentia

17 November 2023   18:20 Diperbarui: 17 November 2023   18:24 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asas a facto ad jus non datur consequentia secara harfiah memiliki arti a fact does not necessarily contitute a right. Dalam Bahasa Indonesia bermakna 'suatu fakta tidak selalu menyatakan tentang kebenaran.'. Adapun asas a facto ad jus non datur consequentia dapat ditemukan dalam buku Dictionary of Quotation, ditulis oleh Rev. James Wood dengan pemaknaan berbunyi "Inference from the fact to the law is not legitimate." ( kesimpulan dari fakta ke hukum tidak sah. ).

Asas ini juga dapat ditemukan dalam Enciclopedia Jurdica dalam bahasa portugis juga memberikan definisi yang berbunyi : "De fato para o direito no se d conseqncia". Bila diterjemahkan dalam bahasa inggris, akan berbunyi In Fact, there is no consequence for the law. Sementara dalam bahasa Indonesia berbunyi 'di dalam fakta tidak ada konsekuensi hukum.'.

Enciclopedia Jurdica kemudian menyatakan bahwa asas a facto ad jus non datur consequential dapat ditemukan dalam CPC ( Cdigo de Processo Civil). Namun karena keterbatasan, tidak dapat ditemukan bagian III yang dimaksud dalam Enciclopedia Juridica tersebut. Adapun dalam article 282 tertuang :

1 - Quando haja lugar a cessao ou alterao da obrigao alimentar judicialmente fixada, o respetivo pedido deduzido como dependncia da causa principal, seguindo-se, com as adaptaes necessrias, os termos desta, e considerando-se renovada a instncia.

2 - O disposto no nmero anterior aplicvel aos casos anlogos, em que a deciso proferida acerca de uma obrigao duradoura possa ser alterada em funo de circunstncias supervenientes ao trnsito em julgado que caream de ser judicialmente apreciadas.

Yang pada intinya merujuk pada proses perubahan alat bukti dalam pengadilan. Perubahan yang dimaksud biasanya menambahkan bentuk isi karena perbedaan antara kesaksian dan surat, bisa juga karena kekurangan formal ( tanggal dan sebagainya, ) dan banyak lagi. Dimana perbuatan tersebut juga mendapatkan kebolehan dari persidangan suatu kasus.

Dari sini, dapat dikatakan asas ini berkatian dengan fakta dan kebenaran hukum yang dapat berbeda. Perbedaan antara fakta dan kebenaran hukum akan bermuara pada penemuan hukum yang diramu berdasarkan pembuktian dalam pengadilan. Dengan demikian, asas ini merujuk pada asas prosedural yang menekankan pada hukum pembuktian, terlepas hukum apapun yang mau dibuktikan.

Di Indonesia, Hukum pembuktian sendiri memiliki banyak sendi, banyak teori, dan ragam metode. Hukum Pidana memiliki cara membuktikan sendiri yang berbeda dengan Hukum Perdata, Hukum Konstitusi, dan lain sebagainya. Namun pada intinya, hukum pembuktian selalu bertujuan memastikan perbuatan tersebut adalah perbuatan hukum positif atau bukan.

Penulis tidak akan membahas hal teknis tentang hukum pembuktian, namun akan fokus terhadap  asas a facto ad jus non datur consequential. Dalam konteks pembuktian, asas bermakna 'suatu fakta tidak selalu menyatakan tentang kebenaran' kemudian membagi dua dimensi realita. Dimensi pertama adalah segala hal tidak dibawah naungan hukum positif, dan dimensi kedua adalah segala yang ada di bawah hukum positif.

Dalam KBBI, fakta juga dibedakan dengan kebenaran. Fakta adalah sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi, sementara kebenaran memiliki arti lebih luas. Kebenaran, selain memiliki arti yang sama dengan fakta, juga memiliki definisi : keadaan yang cocok dengan hal yang sesungguhnya, kelurusan hati, izin atau kebetulan. Hal ini menyatakan bahwa cakupan kebenaran jauh lebih luas dari cakupan fakta.

Menimbang dari teks tertera, maka jelas asas a facto ad jus non datur consequential menjadi pondasi dari asas-asas lain untuk menjalankan suatu pembuktian hukum tertentu. Asas ini bersifat umum, tanpa konsekuensi apapun apabila tidak diterapkan, kecuali diperlengkapi dengan asas-asas lain dan berfungsi memperlengkapi sistem hukum, dalam hal ini hukum pembuktian.

Hanya saja, kurangnya kajian tentang asas ini memberikan ambiguitas, setidaknya dalam dua hal. Pertama, adalah proses berfikir hukum, dan kedua, adalah hasil pemikiran hukum yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi. Atau mungkin, dapat juga dilihat sebagai keabsahan proses berfikir serta hasil pemikiran hukum itu sendiri adalah yang dimaklumi atau tidak. Bagaimanapun, penulis akan mencoba menelusurinya.

Ambiguitas pertama didasari sifat alamiah asas. Asas adalah suatu nilai yang dialirkan menjadi bentuk-bentuk hukum tertentu, secara tertulis atau tidak tertulis. Sudikno Mertokusumo pernah menyatakan bahwa asas bukan peraturan hukum konkrit tetapi pikiran dasar yang bersifat umum. Bersifat umum yang dimaksud merujuk pada konkretisasi nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Definisi itu kemudian memposisikan bahwa semakin umum suatu asas, maka adagium itu semakin berlaku. Sebaliknya, semakin tidak umum suatu asas, maka semakin tidak berlaku. Bila hal ini dikaitkan dengan adagium a facto ad jus non datur consequentia, yang sulit dicari kajiannya, maka telah terang bahwa adagium ini tidak populer.

Karena tidak terkenal, maka kemungkinan nilai ini tidak mengendap dalam hidup sehari-hari. Hal ini bermuara pada kebiasaan mempersamakan fakta sebagai kebenaran. Dan cara berfikir demikian berlaku dari jaman ke jaman, setidaknya selama 2000 tahun lalu ketika masa romawi kuno masih berjaya.  Padahal, a facto ad jus non datur consequentia merupakan asas yang bermakna 'suatu fakta tidak selalu menyatakan tentang kebenaran.'.

Seperti yang sudah tertulis, fakta dan kebenaran kemudian dipertimbangkan dalam proses pengadilan berterma Pembuktian. Pembuktian adalah tata cara menemukan kebenaran yang dilakukan dengan tujuan merumuskan keputusan. Cara tersebut dilakukan dengan mengajukan alat bukti dihadapan majelis hakim dalam persidangan, dan putusan itu menentukan hajat hidup subjek yang diadili.

Bayangkan kemudian para majelis hakim memutus perkara tanpa menggunakan asas ini. Hakim, dalam mengambil keputusan akan melihat fakta formil yang dipersiapkan pemangku kepentingan untuk diadili. Bila seluruh fakta yang diajukan tersebut adalah kebenaran, maka hakim otomatis menjatuhkan putusan tanpa perlu mempertimbangkan fakta yang diajukan merupakan fakta hukum atau bukan fakta hukum, dengan tanpa metode tersedia lain untuk membuktikan perbuatan.

Hal ini bermuara pada kerancuan kedua, yaitu hasil berfikir hukum. Hasil berfikir hukum merupakan dasar teori dan doktrin hukum itu sendiri. Dalam konteks hukum positif, hasil berfikir tersebut dibuat para majelis hakim, dikonkretisasi dalam bentuk putusan, dan dikumpulkan sebagai bahan sumber hukum bernama Yurisprudensi.

Apabila kemudian, dari proses penemuan hukum asas a facto ad jus non datur consequentia tidak digunakan, maka hasilnya adalah suatu putusan pragmatis. Putusan yang ada karena didasari kemudahan dan kecepatan menyelesaikan perkara, dengan tidak mempertimbangkan lagi kebenaran materiil. Singkat kata, tanpa pembuktian putusan ditetapkan dan menjadi kebenaran karena sudah ada kasus sebelumnya ( Similia Similibus ), namun tidak dicari lagi kekuatan dari hulu keputusan tersebut.

Sampai disini, kerancuan tersebut juga belum bisa penulis jawab. Apakah selama ini hukum di Indonesia bersifat pragmatis karena tidak ada kajian tentang asas ini serta turunannya, atau memang sudah benar bahwa fakta adalah kebenaran walaupun kebenaran memiliki banyak arti, hingga kemudian menenggelamkan keberlakuan adagium a facto ad jus non datur consequential, yang pada hakikatnya memisahkan antara fakta dan kebenaran.

Namun demikianlah, asas a facto ad jus non datur consequential memiliki makna suatu fakta tidak selalu menyatakan tentang kebenaran, merupakan asas yang membelah antara fakta dan kebenaran, yang dapat digunakan dalam hukum pembuktian, dan keberlakuannya sedikit kabur karena kajian akademisnya sulit untuk ditemukan.

Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

Referensi :

Mochtar; Zainal. Dasar-dasar Ilmu Hukum. 101-105.

Wood; James. Dictionary of Quotations. 1899.

Cdigo de Processo Civil. CPC. Dirio da Repblica.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun