Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 7 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Asas A Communi Observantia Non Est Recedendum

3 November 2023   16:09 Diperbarui: 3 November 2023   16:18 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asas a communi observantia non est recedendum memiliki arti "One must not depart from common observance" dalam bahasa inggris, dan dalam bahasa Indonesia memiliki arti bahwa 'seseorang tidak seyogianya menyimpang dari keberlakuan hukum umum.'

A communi observantia non est recedendum merupakan asas yang menekankan keberlakuan hukum yang sudah dan masih hidup serta meresap dalam suatu lingkungan masyarakat, dan tidak terbatas hanya pada bentuk norma tak tertulis, melainkan dapat melebar kepada adat istiadat, budaya, tradisi, dan kebiasaan masyarakat sehari-hari. Arron Xavier dalam buku Guide to Latin in International Law 2 ed. menyatakan bahwa asas ini memiliki arti "a common practice must not be abandoned" dimana beliau merujuk pada suatu keberlakuan hukum adat yang telah ditetapkan memberikan obligasi untuk terus ditaati.

Berdasarkan padanan kata, asas a communi observantia non est recedendum berangkat dari bahasa latin, dan hal ini merujuk pada keberlakuannya sejak zaman romawi kuno, yang kemudian dicucurkan oleh Lord Coke kemudian mengendap pada sistem hukum Common Law yang pada awalnya berbunyi " it is commonly said."

Sedimentasi nilai tersebut kemudian dimutakirkan dalam pertimbangan para hakim sistem common law untuk memutus perkara. Salah satu kasus yang meneguhkan keberlakuan asas ini dalam hukum terekam dalam kasus O'donnel melawan Gleen terkait sengketa tambang, dan para hakim kemudian berargumentasi bahwa asas ini kemudian membungkus ide tentang ketaatan hukum, interpretasi, konstruksi nilai, dan sebuah konstruksi yudisial. Pada kasus tersebut, asas ini menjadi dasar untuk menemukan hukum dan berakhir pada pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa seruan daripada aturan harus berdiri pada fakta.

Pemaknaan a communi observantia non est recedendum ini dapat disederhanakan pada dalam bahasa Indonesia, yang secara terang beririsan dengan pepatah "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.". Pepatah tersebut secara nyaring menyatakan bahwa setiap daerah memiliki budaya, tradisi, serta hukum adat yang berlaku. Secara sederhana, hal ini langsung mengarah pada hukum adat di Indonesia. Dan makna tentang keberlakuan hukum umum yang sebaiknya ditaati itu yang menjadikan kedua pepatah ini memiliki rantai penghubung.

Similiarisasi yang bertautan antara kedua nilai yang secara faktual tumbuh di territori yang sangat berbeda, dimana asas a communi observantia non est recedendum secara pasti lahir dari benua Eropa, dan "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung," lahir dan adalah peribahasa Indonesia, menjustifikasikan bahwa ada nilai-nilai universal yang terkandung dalam setiap insan, termasuk dalam hukum.

Bahwa Indonesia ternyata juga memiliki pepatah yang berbunyi dan bermakna kuat, pada esensinya dapat dijadikan legal-maxim daripada penggunaan terma-terma latin dan asing lainnya sebagai dasar argumentasi dalam membentuk putusan adalah menurut penulis cukup menarik, terutama untuk melestarikan bahasa Indonesia serta mendekatkan hukum pada masyarakat.

Namun hal ini kemudian dikembalikan pada kekuatan sruktur kalimat, pemaknaan tajam dan dalam serta dapat diterima berdasarkan kebiasaan dan perilaku, serta kesadaran kolektif yang tumbuh dalam masyarakat untuk membingkai pepatah yang bersifat dinamis itu kedalam bentuk-bentuk positivitisme hukum.  Karena, bagaimanapun hukum memiliki bahasanya sendiri dan penggunaan diksi latin sebagai asas sudah diterima secara global.

Kembali pada topik, dalam sistem Common Law, A communi observantia non est recedendum digunakan sebagai dasar argumentasi hukum oleh hakim-hakim, dan hal ini sedikit berbeda dengan Indonesia yang mengadopsi sistem hukum Civil Law bersubtansi Pancasila.

Di Indonesia, pemaknaan asas tersebut memiliki pergeseran makna karena hukum umum di Indonesia adalah hukum positif dan bukan hukum adat, sehingga rasio-logis yang digunakan hakim dalam melakukan penemuan hukum untuk menentukan putusan akan sangat tergantung pada ketentuan yang tertulis dalam peraturan perundangan, termasuk juga asas yang sengaja dituangkan dalam peraturan perundangan sebagai panduan menggunakan.

Hal ini bermuara pada implementasi asas A Communi observantia non est recedendum bersifat spesial. Kekhususan ini tertuang pada pasal 5 ayat 1 UU 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun