Mohon tunggu...
Josephine Winda
Josephine Winda Mohon Tunggu... wiraswasta -

membaca itu candybar dan menulis itu lollypop, yummy !.... googling me windascriptease ;)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Narsisme Para Penulis

16 Januari 2014   18:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:46 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="foto : eccotpsycho.blogspot"][/caption]

Seringkali ada suara – suara dalam diri penulis. Suara itu kemudian muncul dan terus berdengung minta ditampilkan dalam bentuk tulisan. Itulah yang saya anggap nyawa sesungguhnya dari para penulis. Ketika seorang penulis menuliskan sesuatu yang bukan dirinya, kadang terasa bahwa tulisan itu dibaca kurang ‘maknyus’ karena nyawanya kurang menjelma dan barangkali racikan bumbunya kurang tepat. Mungkin banyak yang mampu menulis dengan tehnik baik, namun rasanya lebih sedikit yang mampu menulis dengan ‘nyawa’nya.

Ketika pertama kali tergabung menjadi crew majalah komunitas lokal. Saya mulai belajar menulis yang sesungguhnya. Otodidak, karena ternyata menulis adalah sesuatu yang tersembunyi dalam jiwa saya. Kurang disadari hingga saya sungguh telah dewasa, bahkan mungkin sedikit terlambat. Tapi menurut saya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Pertama kali menulis, tugas saya adalah menulis fiksi anak – anak dengan muatan teladan agama. Rasanya mudah sekali bukan? Kisah pipit kecil atau kisah kelinci yang penurut, whatever yang sekiranya menarik dan mudah dicerna bagi anak – anak. Menulisnya mudah dan dibaca lebih mudah, seperti nasi blender.

Dalam crew majalah komunitas tersebut ada seorang wanita, yang adalah mantan editor majalah wanita terdepan di Indonesia. Majalah wanita ini tayangnya sudah lama, popularitasnya sudah mencengkram dan boleh dikata papan atas. Sebagai penulis pemula saya menulis dan saya kirim untuk kemudian diperiksa oleh sang editor senior yang berpamor, karena beliau adalah mantan crew majalah papan atas Indonesia tersebut. Apa yang terjadi? Tulisan saya dirombak dan diubah TOTAL sehingga jalan ceritanya berubah, gaya penuturannya berubah dan menjadi sesuatu yang bukan ‘karya saya’, tetapi seolah menjadi karya sang editor. SAYA MARAH! Si pemula ini ngamuk!

Dapat Anda bayangkan, saya penulis yang sangat pemula, hanya menuliskan cerita anak, kemudian dikoreksi seseorang yang adalah pensiunan dari majalah papan atas dan saya dengan gagah - berani marah kepada beliau?? Jika diingat kembali sungguh kemarahan yang benar – benar disulut oleh emosi narsisme penulis. Marah karena nyawanya ‘dirobek’, karena ide saya terasa dicaplok dan diubah menjadi karya beliau, sekalipun nantinya nama yang terpampang adalah nama saya. Padahal mungkin maksud editing tersebut barangkali hanya agar saya juga tidak malu jika tulisan yang masih acak-acakan itu terpampang disebuah majalah. Sekalipun majalah komunitas lokal yang sama sekali tidak ada gaung keluar.

Mengenang masa lalu itu saya yang awalnya tidak mengerti, kini sangat menyadari. Bahwa menulis memang ada dua hal, yaitu secara tehnik dan yang kedua adalah panggilan hati untuk menuliskan suara – suara yang ada dalam pemikiran kita. Dengan kemarahan itu tanpa sadar, saya menemukan nyawa saya yang sangat tersembunyi yaitu, nyawa seorang penulis. Bagi saya menuliskan apa saja menjadi sesuatu yang enak dibaca, menjadi tantangan, agar mampu menuliskan sesuatu itu dengan baik, unik dan menarik. Dengan kemarahan narsisme penulis pemula, saya yakin bahwa penulis sejati memang akan sedikit kesal atau bahkan sangat kesal jika karyanya diubah, dicaplok atau diplagiat. Apapun namanya, karena itu artinya mencabik nyawa sang penulis.

Narsisme penulis barangkali jika digambarkan seperti pelukis, sesungguhnya tidak jauh berbeda. Bayangkan jika Anda pelukis kemudian karya lukisan Anda di’koreksi’ oleh orang lain. Dan orang tersebut akan mengatakan, “oh tambahkan bulatan mata, ..tangannya dibuat jemari, …gaunnya diwarna hijau…” Lama – lama Anda akan kesal bukan? Kenapa orang tersebut tidak melukis saja sendiri? Nah, itulah narsisme para penulis. Hal mengenai unsur subyektif karya penulis, saya kembalikan pada masyarakat luas dan kaum pembaca. Jika banyak disuka artinya ‘nyawa’ tulisannya sewarna dengan mayoritas nyawa orang – orang lain atau mayoritas pembaca. Jika pembacanya minim pun sesungguhnya tetap ada ‘pasar khusus’ yang menyukai tulisan tersebut. Jadi,… menjadi penulis memang harus narsis!

Saya sendiri sejujurnya tidak menyukai semua karya penulis lain. Tentu ada yang saya suka dan ada pula yang saya kurang suka. Tetapi melawan narsisme penulis, saya ingin terus belajar, sehingga kadang saya paksakan juga membaca buku atau tulisan yang tidak terlalu saya sukai, sehingga saya tahu. Apa trend yang ada atau bagaimana tehnik menulis terbaru. Kelemahan pembaca adalah jatuh cinta, nah ini biasanya akan menjadikan suatu loyalitas pada penulis tertentu yang sudah ditunggu – tunggu. Sementara kekuatan penulis adalah narsisme pada gaya tulisan khusus yang merupakan ‘nyawa’nya sendiri itu. Sehingga gayung bersambut. Sebut saja J.K. Rowlings dan JRR Tolkien. Saya sendiri masih menempa diri saya, memaksa agar membaca yang lebih ‘sastra’ seperti buku Istambul dan Kite Runner. Tentang nyawa kepenulisan saya? Sejujurnya saat ini masih abstrak! Masih terus berpola dan mencari.

Mungkinkah harus lebih narsis lagi didalam menulis sehingga tulisan itu sungguh – sungguh bernyawa? 

8-)
8-)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun