“Mom, nanti aku mau pergi ya sama Lita dan Lisa.”
“Okay,” Jawabku. “Asal ponsel menyala ya jadi bisa dikontek Mom kapan saja.”
Siangnya datang dua gadis lain. Lita dan Lisa. Yang satu tampak lebih “matang” ketimbang yang lain. Matang, tapi jelas bukan Manggis (minjem istilah Pakde Ganteng).
“Hai Tan,….apa kabar Tan??… Lola kami ajak jalan dulu ya…Bye Tan, kalo Oom ada di rumah salam juga ya Tan, buat Oom-nya.” Sapaannya riang, cepat dan seolah sudah biasa bergaul diantara orang - orang dewasa. Barangkali juga pernah memimpin konferensi entah apa?
Kepalaku pusing. Pengen komplen, berasa tante - tante sosialita yang melepas anak jadi manja. Padahal cuma kasih kesempatan saja. Namanya anak sudah akan tumbuh dewasa, ada wadah dan komunitasnya sendiri. Tidak bisa selalu dirantai dan dicekoki. Harus mampu menyalakan filter dalam dirinya, kalau tidak akan selalu jadi buta dan dituntun emboknya. Anak, harus menjadi adventurer dalam dirinya sendiri.
Tentu harus ada batasan, tapi tidak berarti kaku. Permainan disini sedikit rancu, pasalnya masa remajaku dan anakku tentu beda. Dulu aku tinggal di kota kecil. Ibuku kenal dengan ayah - ibu teman-temanku. Beberapa bahkan teman sekolahnya juga. Nah ini? Anakku berteman dengan anaknya siapa?
“Mom, mamahnya Lita kan ngerokok.” Aku diam dan kujawab, “Ya ngga apa, Mom kan juga temenan dengan Tante Lisye, dia kan ngrokok juga! Pasalnya Mom cuma mau pesan, nggak usah ikut ngrokok nanti batuk. Soalnya Mom pernah coba dan terbatuk - batuk.” Ujarku sedikit bohong.
Jam lima sore ia menilpon, “Mom, aku, Lita, Lisa, Edison dan Calvin pulang naik taksi yaaa..”
Dalam hati aku mengeluh lagi. Tadi bilangnya pergi dengan dua gadis? Kok sekarang nambah ada dua pemuda?? Tapi kutahan rasa hatiku yang kesal dan ingin protes.
Suaraku mulai sedikit kesal, “Boleh naik taksi tapi selalu berlima ya! Jangan ada yang di taksi sendiri! Berlima turun dirumah Lisa nanti Mom dan Dad jemput!”
Pesan pendek masuk lagi, “Iyaaa….”
Jam tujuh malam tidak ada kabar. Perasaan tadi pergi sekitar jam makan siang. Masa jelang jam tujuh malam tidak ada kabar?? Dengan kesal kupaksa ayahnya menemaniku menjemput ke rumah Lisa.
Benar saja, ia sudah ada disana dan langsung berlari keluar, masuk ke dalam mobil yang menjemput. Mulailah rekaman radio rusak disetel oleh kami.
“Tidak menghormati orang - tua! Tadi nilpon bilang jam lima sudah akan pulang?! Bisa - bisanya dua jam tidak ada kabar dan HaPe mati?? Dikasi kepercayaan kok dibengkokkan? Besok - besok tidak ada acara gaul dengan teman - teman lagih!! Tidak tahu diri, tidak tahu waktu!! Kamu tahu tidak, orang tua cemas?? Harus selalu berkirim kabar ke rumah! Lain kali kalo pergi Mom ikut!!..”
Dia diam saja duduk di pojokan dan menikmati hasil foto - foto yang tadi dijepret bersama kawan - kawannya. Lesu, tapi sudah terbiasa dengan siaran radio rusak yang menjadi makanan sehari - harinya.
“Ayo, bilang apa…” Ujarku kesal.
“Sorry Mom,….Sorry Dad!”
“Good…” ujarku puas, serasa sukses mentraining anjing pudel kecil.
Kami kemudian makan malam, aku melihat foto -foto yang dihasilkannya. Khas remaja, ramai - ramai nongkrong didepan sebuah pusat perbelanjaan, tertawa ceria. Wajah mereka berlima segar dan bahagia. Tidak ada beban apapun juga kecuali menikmati sore itu. Bahkan ada videonya. Kuteliti wajah para pemuda..(hmmm,…culun…ujarku lega dalam hati).
“Nice photosss…” komentarku.
Lalu ia dengan gembira bercerita tentang acara mereka. Makan di sebuah restoran Jepang dengan judul makanan yang aneh, lalu bermain tebak - tebakan dengan judul others no others. Yang dari ceritanya sedikit mirip permainan ‘lakukan apa yang kukatakan.’ Bagaimana mereka main game di anuzone dan Lola memenangkan dua boneka kecil. So sweet,…
“Lita juga ke ATM, ambil duit….” Katanya.
Mataku membulat dan alisku menaik, “Lita punya ATM sendiri???”
Ia menjawab, “Sebenarnya punya papanya, ia hanya pinjam…kalau butuh uang, ia mengambil.”
Ayahnya berkomentar, “Bagaimana kalau ATM itu hilang? Baru saja kalian jelang ABeGe kok sudah pada punya ATM sendiri. Kerja juga belom.”
Aku diam. Teringat dia yang sama sekali tak pernah kami kasih uang. Paling sepuluh ribu rupiah. Kalaupun ada acara baru diberikan uang lebih dengan wejangan jangan boros, hanya untuk beli makanan. Hape harus selalu menyala dan tetapkan jam pulang ke rumah, jangan pulang seenaknya!
“Mom,…sama teman kita kan tidak boleh membedakan sikap!” Ujarnya bijak.
Kuusap rambut dikepalanya, “Tentu, sama teman harus berlaku sama dan adil. Tetapi kita harus menentukan sikap sendiri, bukan karena disuruh atau dipengaruhi teman. Kapan mau pulang, kapan mau kontek Mom, apa yang mau dibeli dan yang perlu dibeli. Jangan ngawur dan ikut - ikutan. Ini,..yang kamu belum mengerti!”
“Hmmm,…You were also teenage once..” cibirnya.
“Iya,…Mom pernah juga seperti kamu. Tapi Mom tidak tinggal di kota besar!” Sejujurnya aku sedikit terkejut, rasanya masa remajaku sendiri baru kemarin. Kenapa sekarang aku sudah jadi emak - emak reseh bin resah seperti ini? Akh,…masa remaja….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H