Ketika diajak oleh seorang sahabat lama untuk mengikut ziarah wisata ke Puh Sarang, saya tidak berpikir dua kali dan langsung mengiyakan. Kepergian ini unik, karena dari Jakarta berniat pergi ziarah ke Kediri namun saya harus ke Semarang dulu. Ya, saya berangkat, bergabung dengan kelompok Yakobus dari Stasi/Gereja Henricus di daerah Ngaliyan Semarang.
[caption id="attachment_281766" align="aligncenter" width="300" caption="Gereja Henricus Ngaliyan"][/caption] Apa pasal? Mereka sedang mengadakan ziarah wisata dengan harga yang “miring”. Kapan lagi dapat berkunjung ke Puh Sarang ? Karena saya penganut agama Katholik dan sama sekali belum pernah melihat tempat ziarah tersebut padahal sudah sering saya mendengar namanya, pergilah saya bergabung dengan kawan saya yang berdomisili di Semarang itu. Dengan berbohong “putih” teman saya mengakui saya sebagai adik sepupunya agar dapat turut dalam ziarah. [caption id="attachment_281754" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana Asri Ngaliyan"]
[/caption] Sudah lama menetap di Jakarta, perhitungan saya mengenai waktu dan tempat agak meleset. Tentunya saya pergi ke Semarang naik pesawat, dengan pertimbangan tepat waktu, cepat dan tidak lelah. Yang tidak masuk dalam hitungan saya adalah perjalanan dengan bis dari Semarang ke Kediri rupanya bukan dua – tiga jam seperti yang saya bayangkan, namun sekitar enam – tujuh jam!
He-he! [caption id="attachment_281755" align="aligncenter" width="300" caption="Gerbang Puh Sarang"]
[/caption] Tidak mengapa!
Mosok kalah dengan ibu-ibu yang sudah
sepuh dan masih bersemangat naik bis hingga berjam-jam menuju ke tempat ziarah Puh Sarang tersebut? Berdua dengan sahabat saya yang berasal dari Ngaliyan, kami menikmati aneka panganan, minuman dan bahkan lagu-lagu campur sari yang ditayangkan di layar monitor pesawat televisi di bis. Seru dan heboh, lahir di Jawa Tengah dan delapan belas tahun berdiam di Jakarta dengan suguhan aneka musik pop dan barat di aneka radio, mendadak telinga saya harus mejelajah kembali lagu-lagu Jawa campur sari dengan lirik – lirik yang sangat menggelitik telinga! Sekaligus mengetes apakah saya masih mengerti bahasa Jawa? Ternyata masih! Senang dan geli, terbayang lagi kehidupan di Jawa Tengah yang serba mengalun dan bersifat kekerabatan [caption id="attachment_281765" align="aligncenter" width="300" caption="dekorasi Gereja Puh Sarang"]
[/caption] Pukul dua dini hari, tibalah kami di Puh Sarang, Kediri. Gelap gulita dan tentunya dingin. Karena kami tiba kala subuh. Tapi lagi-lagi prediksi saya meleset, dinginnya Puh Sarang tak sedingin di Puncak atau di Lembang. Dinginnya masih sedang suam – suam, tidak sampai menggigit di tulang. Senanglah, pagi-pagi minum teh hangat dan makan jajanan, menyegarkan diri dan kemudian bersiap melakukan ritual jalan salib di Puh Sarang. Panitia rupanya telah menyewa sebuah rumah sebagai “markas” untuk beristirahat, melepas lelah, makan dan bahkan mandi, karena ada tersedia beberapa kamar mandi yang dapat dipergunakan. Bahkan sebenarnya ada beberapa kamar dengan tempat tidur yang dapat disewa untuk melepas lelah. Rumah-rumah penduduk rupanya difungsikan sebagai
guest house bagi peziarah. [caption id="attachment_281758" align="aligncenter" width="300" caption="altar di ceruk batu"]
[/caption] Setelah melepas lelah sejenak, mulailah kami berjalan dan berdoa bersama untuk melakukan jalan salib di Puh Sarang. Ada empat belas perhentian tempat kita berdoa dan membaca kisah sengsara. Masing – masing perhentian tentunya dilengkapi dengan diorama atau patung-patung yang menggambarkan kisah sengsara Yesus di masa lalu. Patung – patung yang berada di area ziarah terlihat sungguh hidup dan berukuran raksasa sehingga mencerminkan drama kehidupan masa lalu ketika jaman Romawi. [caption id="attachment_281759" align="aligncenter" width="300" caption="Yesus dan Tentara Romawi"]
[/caption] Saya sendiri merasakan keheningan yang khusyuk setiap kali kami berhenti untuk merenungkan satu episode kisah sengsara Tuhan. Suasana yang sejuk, tenang dan menjelang subuh sungguh menghantar jiwa pada pengertian terdalam tentang arti Tuhan di kehidupan. Bahwa dalam setiap ketergesaan dan gairah pencapaian manusia, jika tak diimbangi dengan ketenangan bathin akan menjadi sia-sia. Karena Tuhan sendiri yang akan menentukan akhir setiap kehidupan, tentunya termasuk manusia di dalamnya. [caption id="attachment_281760" align="aligncenter" width="300" caption="Batu Peresmian Santa Maria"]
[/caption] Ketika selesai melakukan jalan salib, kami kemudian berkesempatan memiliki acara bebas. Saya dan kawan saya memanfaatkannya dengan berdoa di gua Maria Puh Sarang. Pada salah satu dinding batu di Puh Sarang ada sebuah ceruk besar yang berisikan patung Maria raksasa, tak yakin berapa tingginya. Namun sepertinya lebih tinggi dan besar dari ukuran manusia biasa. Patung itu diam membisu dalam ceruk gua. Saya dan kawan saya, menyempatkan diri narsis dan berfoto didepan balai terbuka yang sepertinya dapat dimanfaatkan sebagai ruang doa atau bahkan misa. Sayang hari itu tidak ada acara apapun yang diselenggarakan disitu. [caption id="attachment_281761" align="aligncenter" width="300" caption="Maria pada ceruk batu"]
[/caption] Dalam perjalanan pulang kembali ke rumah yang kami jadikan markas, saya menyempatkan diri memotret lorong – lorong tempat dijual aneka dagangan yang berkaitan dengan kegiatan ziarah rohani. Ada aneka lilin, tempat air suci yang dapat diambil dari sendang/ pancuran di dekat gua Maria, kitab-kitab doa dan bahkan aneka jajanan setempat serta makanan kecil lainnya. Menjadi khas, jika sebuah obyek ziarah/wisata selalu dibarengi dengan inisiatif penduduk untuk menambah penghasilan. [caption id="attachment_281762" align="aligncenter" width="300" caption="dagangan penduduk"]
[/caption] Setelah mengantre kamar mandi dan berdandan rapi, akhirnya kami bersiap menuju ke gereja Santa Maria Puh Sarang, tertulis di batu peresmian bahwa gereja ini didirikan tahun 1936. Gereja ini terletak tepat didepan obyek ziarah Puh Sarang. Saya sangat menyukai gereja ini, yang begitu mungil dengan sentuhan artistik natural berbahan gerabah/ tanah liat pada langit-langit serta dekorasi altar. Tidak ada bangku yang tersedia, karena mayoritas umat diperkirakan adalah pengembara atau peziarah, maka kami semua duduk lesehan dilantai. [caption id="attachment_281763" align="aligncenter" width="300" caption="Langit langit Santa Maria Puh Sarang"]
[/caption] Misa berjalan cepat dan cukup khusyuk walau beberapa umat termasuk saya sendiri sempat kehilangan kesadaran saking mengantuknya. Bukan mengantuk karena kotbah Romo membosankan, tetapi mengantuk karena semalaman boleh dibilang tidak tidur. Terjaga selalu di bis dalam perjalanan menuju kesitu. Menjadi sebuah kenangan yang indah bahwa pertama kali saya menuju ke Puh Sarang, saya boleh dikata justru bersama banyak orang yang sama sekali tidak saya kenal sebelumnya. Itupun saya tersentak pada kenyataan bahwa saya seorang diri, sungguh – sungguh peziarah yang pergi sendiri dan disambut dengan baik oleh mereka semua. Bukankah pada akhir kehidupan nanti kita akan menjadi peziarah yang berangkat sendiri?
(Josephine Winda for : Dian Spatikeswari)Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya