Realita berbicara sudah hampir tiga bulan sejak pemerintah mengonfirmasi kasus pertama positif Covid-19 di Indonesia. Sejak saat itu pula kita mulai rapuh, dikuasai rasa cemas. Meski sebagian lainnya terlihat tidak terlalu peduli namun di dalam hatinya terselip juga kekuatiran. Angka korban yang terus meningkat hingga periode pertengahan Mei 2020 membuat banyak orang makin dilanda ketidakpastian kapan bencana ini akan berlalu.
Maka  kini tiba-tiba Ibu Pertiwi harus bersikap. Pada saat vaksin atau obat Covid-19 belum ditemukan, maka kita harus melanjutkan hidup, dan tidak bisa "mengurung diri" di kamar terus-menerus. Sikap harus memilih tatanan kehidupan baru. Sebuah tahapan menuju apa yang disebut ‘New Normal’. Selama masa transisi atau persiapan ini masyarakat mengharapkan output kebijakan-kebijakan pemerintah yang tepat sasaran. Tak heran kita menyaksikan begitu banyak pro-kontra, salah satunya terkait pembukaan kembali sekolah dan serangkaian keputusan yang akan mengikutinya.
Jiwa sosial kita meronta karena jenuh bukan kepalang yang sudah sampai ubun-ubun. Anda kasihan dengan anak Anda yang sangat rindu belajar di ruang kelas bersama teman-temannya. Tapi logika Anda juga lebih kuat daripada sekadar rasa kasihan, yaitu bahwa Anda tidak ingin anak Anda terkena Covid-19, sehingga menentang upaya mengembalikan anak ke sekolah pada masa sekarang. Sikap yang kontradiktif pada saat bersamaan. Tidak apa-apa.Â
Tulisan ini agaknya akan membuat Anda berpikir dua kali serta merevisi optimisme toksik yang mendesak kita ingin cepat-cepat keluar rumah.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengeluarkan pernyataan resmi pada 18 Mei 2020 bahwa tidak kurang dari 584 anak dinyatakan positif mengidap Covid-19 dan 14 di antaranya meninggal dunia. Sementara jumlah yang meninggal dunia dengan berstatus Pasien Dalam Pengawasan (PDP) sebanyak 129 dari 3.324 anak. Fakta mengejutkan ini tidak lain merupakan cermin tingginya kerentanan anak-anak dalam melawan pandemi, yang sebetulnya sama saja dengan orang dewasa. Mengingat beberapa bulan lalu kita merasa 'sedikit lega' setelah mendengar pernyataan bahwa gejala Covid-19 pada anak-anak "tidak fatal seperti orang dewasa". Duh.
Memang betul adanya bahwa pandemi Covid-19 selalu membawa 'new surprise' bagi kita. Belakangan muncul sebuah kejutan cukup mengerikan karena banyaknya laporan medis dari 13 negara dan 29 negara bagian Amerika Serikat yang menyatakan bahwa pasien mereka, yang sebagian besar anak-anak hingga remaja, mengidap sindrom inflamasi akut. Sindrom ini bukan main-main karena mampu merenggut nyawa alias tergolong deadly syndrome.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang dikelola Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat menetapkan kondisi baru dan langka ini sebagai Multisystem Inflamatory Syndrome in Children (MIS-C). Menurut CDC, MIS-C merupakan suatu kondisi di mana berbagai bagian tubuh dapat meradang, termasuk jantung, paru-paru, ginjal, otak, kulit, mata, atau organ pencernaan.Â
Beberapa gejala umum sindrom ini diantaranya:
- Demam
- Sakit perut
- Muntam
- Diare
- Sakit leher
- Ruam
- Mata merah
- Merasa sangat lelah
- Kesulitan bernafas
- Nyeri atau tekanan di dada yang tidak kunjung hilang
- Linglung
- Ketidakmampuan untuk bangun atau tetap terjaga
- Bibir atau wajah kebiru-biruan
- Nyeri perut parah
Awal kemunculannya, para ahli menyimpulkan sindrom ini merupakan Kawasaki disease atau Toxic-shock syndrome karena kemiripannya. Bagaimanapun ternyata terdapat banyak pasien telah memiliki antibodi terhadap coronavirus, menunjukkan bahwa mereka mungkin telah terinfeksi beberapa minggu sebelumnya dan kondisi ini mungkin merupakan respons imun yang tertunda. Meski masih dipelajari, para ahli percaya bahwa sindrom ini memang berhubungan dengan infeksi virus Covid-19.Â
MIS-C dianggap sebagai reaksi berlebihan tertunda dari sistem kekebalan tubuh terhadap Covid-19Â yang mampu menyebabkan peradangan jantung mematikan.
James Schneider, seorang dokter perawatan darurat anak di Northwell Health, menekankan bahwa penyakit ini bukanlah sesuatu yang dapat diobati di rumah. Pasien dengan sindrom tersebut membutuhkan obat tekanan darah, steroid, antikoagulan, imunoglobulin, dan terkadang ventilator. Beberapa telah mengalami henti jantung dan harus dihidupkan kembali dengan bantuan CPR.