Mohon tunggu...
Josephine Joy
Josephine Joy Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran

our so-called modern education system sucks. opinions are cheap. hard work is overrated. luckily, I read.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menilik Aspek Aksiologis Ilmu Hubungan Internasional

8 Mei 2020   22:58 Diperbarui: 8 Mei 2020   22:55 2480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tak mustahil, bicara HI pada landasan aksiologis ini pun tiada batasnya, tanpa batas kesia-siaan, tanpa batas kegunaan." 

--Uwa (RMT Nurhasan Affandi)

Sebagaimana tersemat dalam judul di atas, maka tulisan  ini akan berusaha menjelajah lebih dalam lagi mengenai landasan-landasan dalam filsafat ilmu yang telah terbukti mampu membantu ilmu hubungan internasional bergelut dalam dunia perilmuan, terkhusus landasan aksiologisnya. 

Penulis kemudian menyadari bahwa untuk dapat mengenali ilmu secara hakiki, penting betul untuk terus bersandar pada ketiga lapisan ilmu: ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Lapisan yang mendasar sehingga ilmu memiliki aturan main yang penuh tanggung jawab dan kesungguhan.

Landasan aksiologis ilmu menuntun para ilmuwan untuk mencari tahu apa nilai guna atau manfaat dari ilmu yang dipelajarinya atau dengan satu kata dapat diwakilkan oleh kata "why" alias "kenapa". Untuk apa mempelajari sebuah ilmu. Kalau begitu, apa landasan aksiologis yang mendasari ilmu Hubungan Internasional? Pandangan Penulis terkait hal ini akan dijelaskan setelah membahas sedikit landasan ontologis dari ilmu ini.

Untuk mencari nilai guna dari Ilmu HI rasanya mempertanyakan apa saja hal-hal yang menjadi kajian HI sangatlah krusial, alias menyenggol sedikit aspek ontologisnya. 

Tidak bisa dipungkiri, kajian Ilmu Hubungan Internasional begitu luasnya sehingga terus berkembang dengan sangat cepat mengingat dunia yang kita tinggali saat ini semakin terintegrasi melampaui batas negara, jarak yang semakin kabur, hingga kemudahan manusia menerima informasi berkat kecanggihan teknologi yang sangat maju. 

Hubungan Internasional yang awalnya begitu fokus dengan isu-isu high politics seperti strategi perang, kekuatan militer, dan afiliasi politik negara kini dapat membawa diri dan membaur sehingga Ilmu ini mulai fokus pada isu-isu sosial seperti pemanasan global, gender, dan kerja sama aktor-aktor non-negara seperti Lembaga Swadaya Masyarakat atau International Non-Governmental Organizations (INGOs).

Di tengah keserakahan HI ini kemudian boleh kita bertanya dapatkah Ia mempertahankan idealismenya yang harus bebas nilai, netral, alias berpegang teguh pada positivisme? Jujun S. Suriasumantri memberi jawaban yang cukup menarik terkait hal ini. Dalam bukunya Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jujun sadar terdapat perbedaan kondisi keseluruhan dunia antara peradaban kita saat ini yang begitu modern dengan zaman di mana positivisme sangat diagung-agungkan yakni saat ilmuwan seperti Copernicus dan Galileo hidup dan memperjuangkan "Ilmu yang Bebas Nilai!". Perjuangan mereka kemudian berbuah manis setelah kurang lebih dua ratus lima puluh tahun sehingga ilmu dapat memperoleh otonomi dalam melakukan penelitiannya demi mempelajari alam sebagaimana adanya.

Secara implisit Jujun kemudian mengatakan bahwa ilmu yang bebas nilai dan netral di era Revolusi Industri 4.0 (5.0 mungkin?) sebetulnya kini hanya dapat didambakan. Tapi, apa salahnya mendambakan? Jujun melihat realita menyedihkan di mana seringkali ilmu malah digunakan untuk menghancurkan kehidupan manusia alias gejala dehumanisasi. Kita hidup di zaman di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya: manusialah akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Ilmu bukan lagi menjadi sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya.

Di sinilah kemudian ditekankan pentingnya moral dalam keilmuan yang senantiasa berkembang ini. Mau tidak mau. Kini, proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang ilmuwan. 

Dalam menegakkan kebenaran, ilmuwan harus terpanggil untuk menegakkan kewajiban sosialnya. Senjata pemusnah masal, misalnya, kini haruslah benda itu dipegang oleh tangan yang bertanggung jawab dan bermoral.

Bicara soal moral, menurut Jujun, para ilmuwan terbagi menjadi dua golongan. Yang pertama, mereka yang menginginkan bahwa ilmu harus tetap netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun aksiologis. Tugas ilmuwan hanya menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya (baik maupun buruk). 

Kedua, mereka yang berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanya terbatas pada metafisik keilmuan dan penggunaannya (bahkan dalam pemilihan objek penelitian) harus berlandaskan asas-asas moral. Penting kita ingat bahwa dalam mencari kebenaran dan mempertahankannya bagaimanapun kita pasti memerlukan moral.

Lalu, apa hubungannya semua ini dengan Ilmu Hubungan Internasional? Tentu erat sekali kaitannya dengan pembahasan di atas, apalagi jika kita membahas HI dari sejarah awal perkembangannya. Ilmu HI seperti yang kita tahu lahir setelah melihat ironi mengerikan Perang Dunia Pertama (1914-1918) yang berhasil menelan nyawa banyak orang-orang tidak bersalah. 

Oleh karena itu, Hubungan Internasional pada awalnya memiliki cita-cita mulia agar kekejian yang dahsyat akibat perang tidak lagi terulangi. Inilah mengapa dapat kita katakan bahwa bahkan sejak awal kemunculannya (paham liberalisme utopian) Hubungan Internasional sesungguhnya adalah ilmu yang tidak pernah mencapai kata "bebas nilai" dan tidak netral. 

Terbukti dengan niat baiknya yang menginginkan dunia yang bebas dari perang. Dengan begitu dapat pula kita katakan bahwasanya Hubungan Internasional memiliki aspek-aspek irasional dalam eksistensinya mempertahankan kebenaran.

Setelah mengetahui "ketidaknetralan" dan aspek moral yang menjadi titik tumpu perkembangan Ilmu Hubungan Internasional, barulah dapat kita kembangkan dan telaah apa saja kegunaan dan manfaat dari mempelajari Ilmu Hubungan Internasional. Mempelajari strategi perang bukan berarti mencintai perang. Inilah yang seharusnya terus tertanam dalam perkembangan ilmu HI. 

Bagaimana kita dapat menyadari sesungguhnya apa yang kita rasakan dan kita pikirkan. Bagaimana kita menjadi pribadi yang kritis dalam menghadapi isu-isu global. 

Tentu kita tidak ingin peristiwa Hiroshima dan Nagasaki terulang lagi bukan? Namun begitu, senetral apapun Einstein, kedua bom itu tetap dijatuhkan dan berhasil melenyapkan kota beserta isinya dalam hitungan detik.

Dalam menghadapi pandemi Covid-19, HI mengajarkan tata kelola global (global governance) dimana kita sebagai umat manusia perlu membangun (building) kerja sama di berbagai bidang seperti saling membantu alat medis antar negara-negara, cepat dan tanggap menjalankan himbauan World Health Organizations (WHO), pemulangan warga negara asing ke negara asalnya, berusaha membendung infodemi yang keliru, bahkan sekadar melihat kegiatan orang lain di belahan dunia nan jauh melalui gawai. HI di sini melihat kebenaran moral bahwa sesungguhnya kemanusiaanlah hal yang paling penting.

Belajar Hubungan Internasional memperluas pemikiran dan wawasan kita. Tidak hanya itu, kita juga dilatih untuk berpikir sistematis dan kritis. Ilmu ini terus menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman, meski seringkali manusia yang serakah menyalahgunakan ilmu ini untuk kepentingan pribadinya. 

Oleh karena itu, sebagai pembelajar ilmu harus selalu sadar akan pentingnya moralitas yang menjunjung tinggi kebenaran dibandingkan memaksakan pemikiran bahwa ilmu selalu harus bebas dari nilai dan netral. Betul adanya perkataan Uwa bahwa membahas HI pada landasan aksiologis tidak ada batasnya, tanpa batas kesia-siaan, dan tanpa batas kegunaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun