Di sinilah kemudian ditekankan pentingnya moral dalam keilmuan yang senantiasa berkembang ini. Mau tidak mau. Kini, proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang ilmuwan.Â
Dalam menegakkan kebenaran, ilmuwan harus terpanggil untuk menegakkan kewajiban sosialnya. Senjata pemusnah masal, misalnya, kini haruslah benda itu dipegang oleh tangan yang bertanggung jawab dan bermoral.
Bicara soal moral, menurut Jujun, para ilmuwan terbagi menjadi dua golongan. Yang pertama, mereka yang menginginkan bahwa ilmu harus tetap netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun aksiologis. Tugas ilmuwan hanya menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya (baik maupun buruk).Â
Kedua, mereka yang berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanya terbatas pada metafisik keilmuan dan penggunaannya (bahkan dalam pemilihan objek penelitian) harus berlandaskan asas-asas moral. Penting kita ingat bahwa dalam mencari kebenaran dan mempertahankannya bagaimanapun kita pasti memerlukan moral.
Lalu, apa hubungannya semua ini dengan Ilmu Hubungan Internasional? Tentu erat sekali kaitannya dengan pembahasan di atas, apalagi jika kita membahas HI dari sejarah awal perkembangannya. Ilmu HI seperti yang kita tahu lahir setelah melihat ironi mengerikan Perang Dunia Pertama (1914-1918) yang berhasil menelan nyawa banyak orang-orang tidak bersalah.Â
Oleh karena itu, Hubungan Internasional pada awalnya memiliki cita-cita mulia agar kekejian yang dahsyat akibat perang tidak lagi terulangi. Inilah mengapa dapat kita katakan bahwa bahkan sejak awal kemunculannya (paham liberalisme utopian) Hubungan Internasional sesungguhnya adalah ilmu yang tidak pernah mencapai kata "bebas nilai" dan tidak netral.Â
Terbukti dengan niat baiknya yang menginginkan dunia yang bebas dari perang. Dengan begitu dapat pula kita katakan bahwasanya Hubungan Internasional memiliki aspek-aspek irasional dalam eksistensinya mempertahankan kebenaran.
Setelah mengetahui "ketidaknetralan" dan aspek moral yang menjadi titik tumpu perkembangan Ilmu Hubungan Internasional, barulah dapat kita kembangkan dan telaah apa saja kegunaan dan manfaat dari mempelajari Ilmu Hubungan Internasional. Mempelajari strategi perang bukan berarti mencintai perang. Inilah yang seharusnya terus tertanam dalam perkembangan ilmu HI.Â
Bagaimana kita dapat menyadari sesungguhnya apa yang kita rasakan dan kita pikirkan. Bagaimana kita menjadi pribadi yang kritis dalam menghadapi isu-isu global.Â
Tentu kita tidak ingin peristiwa Hiroshima dan Nagasaki terulang lagi bukan? Namun begitu, senetral apapun Einstein, kedua bom itu tetap dijatuhkan dan berhasil melenyapkan kota beserta isinya dalam hitungan detik.
Dalam menghadapi pandemi Covid-19, HI mengajarkan tata kelola global (global governance) dimana kita sebagai umat manusia perlu membangun (building) kerja sama di berbagai bidang seperti saling membantu alat medis antar negara-negara, cepat dan tanggap menjalankan himbauan World Health Organizations (WHO), pemulangan warga negara asing ke negara asalnya, berusaha membendung infodemi yang keliru, bahkan sekadar melihat kegiatan orang lain di belahan dunia nan jauh melalui gawai. HI di sini melihat kebenaran moral bahwa sesungguhnya kemanusiaanlah hal yang paling penting.