Kemajuan-kemajuan peradaban kuno biasanya dinilai dari kecanggihan seni terapannya, misalnya peradaban mesir kuno yang 3000 tahun lalu sebelum masehi telah mampu membuat irigasi dan meramal timbulnya gerhana.Â
Demikian perkembangan seni terapan yang tinggi juga dihasilkan oleh peradaban Cina dan India.Â
Sementara di Indonesia sendiri dibuktikan dengan puncak Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya dimana terdapat kegiatan pelayaran mengarungi samudera yang tentu menuntut pembuatan kapal dan teknologi navigasi yang tinggi pada masanya.Â
Baca juga : Aksiologi sebagai Filsafat Etika dan Estetika
Tidak hanya soal navigasi, nenek moyang bangsa kita juga memiliki mutu arsitektur tinggi dibuktikan dengan adanya candi-candi yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Hasil-hasil seni terapan inilah yang kemudian digolongkan ke dalam artefak atau benda buatan manusia sehingga menjadi topik pembicaraan mengenai estetika.Â
Kemudian, artefak dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu benda-benda yang berguna tetapi tidak indah, berguna dan indah, dan indah tetapi tidak ada kegunaan praktisnya.
Keindahan objektif menempatkan keindahan pada benda yang dilihat. Yang menjadi persoalan dalam teori ini adalah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai estetis.Â
Namun begitu, hal ini didukung oleh Sortais yang menyatakan bahwa keindahan ditentukan oleh keadaan sebagai sifat obyektif dari bentuk (l’esthetique est la science du beau).Â
Di sisi lain, keindahan subjektif terdapat pada mata yang memandangnya. Subjek membuat jarak kejiwaan antara dirinya dengan benda yang sedang diamati, melepaskan latar belakang pengetahuan subjek terhadap objek tersebut.Â
Subjek harus meniadakan kepentingan apapun yang dapat mempengaruhi penilaian yang sedang dinikmati. Maka dapat kita simpulkan bahwa persoalan indah atau tidak indah itu memiliki sifat subyektif.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!