Selamat tinggal 2019. Mungkin benar adanya bahwa sebagian besar manusia yang cukup dewasa di penghujung tahun kerap berusaha mengevaluasi dirinya dan mulai memasang target-target baru yang harus dicapai di tahun mendatang.Â
Saya jadi mengenang masa indah kala duduk di bangku sekolah dasar dimana evaluasi diri hanya diperoleh dari nasihat orang tua saat berkumpul bersama keluarga dan target tidak perlu dicatat, sudah cukup dengan menggangguk manis saat nenek bilang, "nanti harus jadi dokter ya..."Â
Tahun demi tahun berlalu, kini mengevaluasi diri bisa dilakukan sendiri bersama ahli psikologi betulan (bukan yang ditangkep itu ya!) yang sudah memiliki kanal Youtube dan bila anda memasang target seperti berat badan turun 10 kg, yoga setiap pagi, tembus tes CPNS, percayalah, hampir semua hal---dari yang biasa hingga aneh pun---bisa anda ulik sesuka hati dari kanal Youtube atau media sosial lainnya.
Sangat memudahkan kehidupan kita bukan?
Sayangnya, kemudahan, kecanggihan, dan kepraktisan yang kita nikmati saat ini bukanlah tidak memiliki sisi gelap. Kita telah sampai pada kenyataan bahwa menyapa, mengobrol, dan berdiskusi dengan teman lebih nyaman jika dilakukan melalui grup whatsapp atau line ketimbang berjumpa secara fisik di suatu tempat. Kita tidak bisa memungkiri bahwa aplikasi tinder nyatanya sangat disukai oleh banyak orang yang mencari "jodoh". Â
Foto profil yang rupawan menjadi kunci utama apabila anda ingin orang lain tertarik, elok tidaknya wajah anda selalu merupakan syarat utama demi acara dating yang sukses. Dengan kata lain, kalau jelek ya tidak usah berharap banyak, bye.
Salah satu aplikasi lain paling digemari oleh hampir seluruh manusia yang menempati bumi saat ini adalah Instagram. Begitu terkemuka padahal justru inilah yang paling menyedihkan.Â
Dengan melihat (atau stalking) akun Instagram seseorang, kita merasa sudah mengetahui dan mengenal kehidupan orang tersebut. Dengan melihat story atau unggahan orang yang selalu berfoto di restoran mahal, rooftop, daerah elite, maka kita akan berpikiran bahwa orang tersebut memiliki gaya hidup yang mahal dan tentu orang bergelimang harta.Â
Dengan mengunggah foto pribadi dengan pakaian yang berasal dari desainer ternama seharga dua buah motor baru, maka kita akan kagum dan memberi label yang positif bahwa orang tersebut kaya dan gayanya keren. Sayangnya, hal seperti ini sudah menjadi budaya yang menelan jati diri manusia dan justru malah diinginkan oleh orang-orang.
Salah seorang filsuf postmodern, Jean Baudrillard, merangkum fenomena ini dengan kajian yang begitu menarik. Pertama, Baudrillard berpendapat bahwa mode of Production (Marxian) saat ini telah diganti dengan mode of Consumption sehingga seluruh aspek kehidupan manusia tidak lebih dari sekadar objek.Â
Kalau dulu Marx terus berpendapat bahwa siapa yang menguasai alat produksi maka dia merupakan orang kelas atas atau borjuis. Baudrillard berpendapat bahwa kini hal tersebut telah berubah.Â
Di zaman yang modern ini, konsumsilah yang menentukan kaya tidaknya seseorang. Orang yang makan tiga kali sehari di daerah Senopati, orang yang menggunakan mobil Tesla dengan auto-pilot dan memiliki iPhone 11, serta orang yang membeli baju oblong seharga sepuluh juta merupakan orang-orang yang kaya.Â
Orang yang selera musiknya dangdut akan dianggap rendah atau "kampungan" atau "orang desa" dibandingkan orang yang menyukai musik komersil dari artis barat yang terkenal, hal ini menyebabkan terjadi sebuah distingsi akibat pilihan selera.Â
Membeli mobil merk Pajero terbaru hanya untuk pergi ke mall alias keluar masuk parkiran, padahal jelas lebih berguna jika mobil tersebut digunakan dalam pekerjaan proyek lapangan.Â
Manfaat, fungsi, dan nilai guna sesuatu bukan lagi yang paling penting. Masyarakat lebih terpaku dengan mengonsumsi simbol ketimbang nilai gunanya. Orientasi konsumsi yang semula "kebutuhan hidup" beralih ke "gaya hidup". Maka sebenarnya Baudrillard mengatakan: Anda mau menjadi kaya? Gampang, cukup konsumsi saja barang-barang yang harganya selangit dan jangan lupa pamerkan.
Kedua, apakah kita semua tertelan simulakra? Baudrillard menyatakan bahwa Simulakra adalah konstruksi pikiran imajiner terhadap sebuah realitas, tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial. Simulakra bisa mengubah sesuatu yang abstrak menjadi konkret dan yang konkret menjadi abstrak.Â
Simulakra dimaksudkan untuk mengontrol manusia dengan cara menjebak manusia untuk percaya bahwa simulasi itu nyata dan membuat manusia tergantung sehingga tidak lagi bisa hidup tanpanya.
Bisakah kita bahagia tanpa ada simulasi yang diberi oleh gadget, televisi, dan internet? Oleh karena itu, tantangan kita yang hidup di zaman ini adalah mengedukasi diri untuk tidak tertelan dalam simulakra.
Ketiga, simulakra memiliki ciri yakni hiperealitas. Hiperealitas bersifat melampaui kenyataan dan disebut Braudillard sebagai "kebohongan" yang dibawa oleh simulakra.Â
Hiperealitas biasanya menjadi jurus perusahaan yang ingin mengiklankan produknya. Dengan meminum susu kental manis rutin, anak pasti bisa tumbuh tinggi dan memiliki tulang yang kuat.Â
Kita dengan mudah mempercayainya tanpa melihat bahan baku pembuatan produk tersebut. Iklan rokok selalu menyuguhkan gambaran pria yang kuat dan tangguh, seakan-akan dengan merokok, pria akan terlihat seperti itu. Sayangnya, begitu banyak pria yang percaya dengan iklan dan kemudian menyakitkan kesehatan diri sendiri.Â
Selain itu, ada satu hal yang menjadi rumah bagi hiperealitas, yakni media sosial. Kini, siapapun bisa pergi ke restoran mahal untuk sekadar untuk mengambil foto makanan sehingga dapat diupload di Instagram. Dengan begitu, orang-orang akan menganggapnya sebagai orang kelas "atas", padahal realitanya berbeda.
Ruang publik tidak lagi menjadi tontonan dan ruang privat tidak lagi menjadi rahasia. Kehidupan yang paling intim kini merupakan penopang hidup media virtual. Ketika kita lebih memilih untuk tidak bertemu orang lain dan hanya berkomunikasi dengan media sosial, lalu dimana kehidupan sosial kita? Apakah kita bukan lagi makhluk sosial?Â
Begitu pentingnya kesadaran kita untuk menjaga diri supaya kritis menghadapi hiperealitas dan tidak tertelan dalam simulakra. Di tahun yang baru hendaknya kita menjadi manusia pintar yang mampu merangkul era ini dengan terus mengingat perkataan sang filsuf,
We live in a world where there is more and more information and less and less meaning.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H