Kali ini saya akan membahas tentang pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Sebelum itu, tentu kita harus tahu seluk-beluk demokrasi terlebih dahulu. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yang diambil dari kata Demokratia yang berarti kekuasaan rakyat. Demokratia sendiri terdiri dari dua kata, yakni demos yang mempunyai arti rakyat serta kratos yang mempunyai arti kekuasaan atau kekuatan. Indonesia adalah sebuah negara yang menganut pemerintahan demokrasi. Kata demokrasi lebih merujuk kepada kehidupan masyarakat yang turut berpartisipasi dalam pemerintahan. Demokrasi memiliki 2 asas, yaitu menjamin HAM dan adanya pemilu.
Demokrasi mencakup kondisi budaya, ekonomi, dan sosial dalam terjadinya praktik kebebasan politik, baik secara bebas ataupun setara. Dalam demokrasi, warga negara diizinkan untuk berpartisipasi aktif secara langsung atau melalui perwakilan dalam melakukan perumusan, pengembangan, serta pembuatan hukum.
Demokrasi sendiri dapat dibagi menjadi 2 berdasarkan penyaluran kehendak rakyat, yaitu:
- Demokrasi langsung (direct democracy) adalah demokrasi yang secara langsung melibatkan rakyat untuk pengambilan keputusan terhadap suatu negara. Contohnya seperti pemilu.
- Demokrasi tidak langsung (indirect democracy) adalah demokrasi yang tidak secara langsung melibatkan seluruh rakyat suatu negara dalam pengambilan suatu keputusan. Contohnya seperti suatu keputusan yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD).
Pelaksanaan demokrasi memiliki banyak kelebihan, di antaranya ialah:
- Kesetaraan hak membuat setiap masyarakat dapat ikut serta dalam sistem politik .
- Pemegang kekuasaan dipilih menurut suara dan keinginan rakyat.
- Mencegah terjadinya monopoli kekuasaan.
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia dari masa ke masa tidaklah sama, mengingat undang-undang dasar yang berlaku pun berganti-ganti. Pergantian undang-undang dasar menyebabkan pergantian sistem pemerintahan. Indonesia telah menganut sistem demokrasi sejak merdeka sampai saat ini.Â
Dimulai dari demokrasi terpimpin pada masa jabatan Soekarno, demokrasi pancasila yang digunakan Soeharto selama puluhan tahun menjabat menjadi presiden, hingga demokrasi sesungguhnya yang mulai berjalan setelah masa jabatan Soeharto berakhir pada tahun 1998 yang ditandai oleh adanya pemilu daerah maupun presiden yang dapat diikuti oleh rakyat secara serentak dan adil.
Jika dilihat lebih dalam, ternyata pelaksanaan demokrasi di Indonesia tidak selalu berjalan mulus. Ada banyak kekurangan yang dapat kita temukan sepanjang pelaksanaannya. Dari tahun ke tahun, kualitas demokrasi di negara kita semakin menurun.Â
Pada tahun 1999, pemilu di Indonesia diapresiasi oleh dunia internasional sebagai negara pertama di era reformasi yang dapat melangsungkan demokrasi secara aman, tertib, jujur, adil, dan memenuhi standar demokrasi.Â
Tingkat partisipasi politik saat itu adalah 92,7%. Pada tahun 2004, tingkat partisipasi politik menurun, yakni 84,1% untuk pemilu legislatif dan 78,2% untuk pemilu presiden. Kemudian pemilu tahun 2009, pada pemilu legislatif  tingkat partisipasi politik hanya mencapai 10,9% dan untuk pemilu presiden 71,7%. Partisipasi politik di Indonesia yang kian menurun ini semakin memperjelas bahwa angka golput semakin meningkat. Golput menunjukkan sikap apatisme dari masyarakat, karena pemilu sejatinya adalah sarana bagi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya yang sangat berharga untuk memilih wakil-wakil yang dianggap layak untuk mewakili rakyat.
Bentuk nyata penyimpangan itu menurut Jokowi adalah politisasi SARA, yang menurutnya harus dihindari. Lebih lanjut Jokowi menyebutkan bahwa bertebarnya kebencian, kabar bohong, fitnah, saling memaki dan menghujat bisa menjurus kepada pecah belah bangsa.
Jokowi menyebutkan hal ini adalah ujian yang membuka peluang bangsa ini semakin dewasa, matang dan tahan uji. Ia kemudian mengimbau agar perilaku seperti ini dihentikan, dan kuncinya adalah pada penegakan hukum. "Aparat hukum harus tegas dan tidak usah ragu-ragu," lanjut Presiden Jokowi.
Menurut Airlangga Pribadi, pengajar ilmu politik di Universitas Airlangga, persoalan yang disebut oleh Jokowi itu terkait dengan persoalan yang lebih mendasar. Menurutnya, proses demokrasi di Indonesia masih tersandera oleh persoalan-persoalan yang diwarisi sejak masa Orde Baru.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyoroti kondisi demokrasi di Indonesia saat ini. Tito mengingatkan agar warga tidak salah arah pascareformasi. Ia mengatakan bahwa sistem demokrasi saat ini sudah mengarah ke liberal. Tito punya alasan mengapa menyebut demokrasi mengarah ke liberal. Menurutnya, kebebasan berpendapat saat ini sudah terlalu luas.
"Kebebasan berpendapat di muka umum, kebebasan berekspresi, freedom, terlalu luas, terlalu lebar," sebutnya dalam simposium yang bertajuk 'Bangkit Bergerak, Pemuda Indonesia Majukan Bangsa'.
Tim riset dari The Economist menyimpulkan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi turunnya kualitas demokrasi dunia tahun 2017. Namun, ada dua hal utama yang secara umum menjadikan merosotnya kualitas demokrasi di berbagai negara. Pertama, kekecewaan masyarakat berkaitan dengan implementasi demokrasi di negara mereka tinggal. Dalam praktiknya, demokrasi tidak serta merta membuat apa yang menjadi keinginan masyarakat terpenuhi, misalnya pelayanan publik yang baik, kebebasan pers dan berpendapat. Hal tersebut yang pada akhirnya menimbulkan kekecewaan pada implementasi demokrasi. Puncaknya, kekecewaan itu dicerminkan dalam pemilihan umum.
Dalam pemeringkatan Indeks Demokrasi terbaru, Indonesia berada di peringkat 68 dari 167 negara yang diteliti. Uniknya, peringkat tersebut kalah dengan Timor Leste yang berada di peringkat 43. Bahkan penurunan kualitas demokrasi di Indonesia merupakan yang terburuk dari 167 negara. Berada pada peringkat 48 dengan skor 6,97 pada 2016, Indeks Demokrasi Indonesia turun menjadi peringkat 68 dengan skor 6,39 pada 2017. Salah satu yang menjadi sorotan atas turunnya peringkat Indeks Demokrasi Indonesia adalah proses Pemilihan Umum Kepala Daerah di DKI Jakarta yang banyak sekali dinamikanya.
Penentuan skor Indeks Demokrasi itu sendiri didasarkan pada lima kategori, yaitu proses pemilihan umum dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik. Berdasarkan pada kategori tersebut, masing-masing negara kemudian diklasifikasikan sebagai salah satu dari empat jenis rezim: demokrasi penuh (full democracy), demokrasi yang cacat (flawed democracy), rezim hibrida (hybrid regime), dan rezim otoriter (authoritarian regime).
Dilihat dari klasifikasi rezim, Indonesia termasuk dalam flawed democracy. Secara umum flawed democracy dalam sebuah negara ditandai dengan adanya pemilihan umum yang bebas dan adil serta menghormati kebebasan sipil, namun memiliki kelemahan dalam pemerintahan yang signifikan, budaya politik yang belum terlalu sehat, dan rendahnya tingkat partisipasi politik. Demokrasi di Indonesia sepintas hanya fokus kepada pemenuhan hak-hak politik saja dengan diselenggarakannya pemilihan umum baik di pusat maupun di daerah. Namun hak-hak sipil dalam beberapa kasus terabaikan.
Contoh terbaru adalah revisi Undang-Undang MD3 yang disinyalir akan membatasi hak berpendapat masyarakat sipil dan menjadikan elite politik di dalam pemerintahan kebal hukum. Padahal, disahkannya peraturan yang sangat banyak dan detail mengenai hate-speech atau pencemaran nama baik justru berpotensi membatasi hak kebebasan berpendapat. Pembatasan kebebasan berpendapat itulah yang kemudian tercermin dalam Media Freedom Index, di mana Indonesia termasuk dalam kategori negara yang sangat tidak bebas (largely unfree).
Memang banyak ahli yang berpendapat bahwa di alam demokrasi, terlalu banyak aturan menjadikan negara sebagai sebuah tirani. Namun tidak adanya peraturan yang mengatur dan membatasi tingkah laku masyarakatnya justru menjadikan kekacauan masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan kejelian para elite di Indonesia dalam menumbuhkan iklim demokratis. Sangat disayangkan jika Indonesia semakin terpuruk dalam berdemokrasi mengingat semangat berdemokrasi itulah yang menjadi pelecut runtuhnya rezim Orde Baru menuju era Reformasi.
Di awal era Reformasi, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan perkembangan demokrasi paling pesat di dunia. Sistem yang terlalu sentralistik dan tertutup di era Orde Baru langsung diubah menjadi sistem desentralisasi dan terbuka yang pada akhirnya rakyat Indonesia berhak memilih wakilnya untuk menjadi pimpinan eksekutif dan legislatif baik di pusat maupun di daerah.
Perjalanan demokrasi di Indonesia yang begitu panjang tentu mengalami banyak cobaan. Namun kegigihan bangsa mampu melewati masalah-masalah demokrasi yang ada. Tak salah jika salah satu lembagai penelitian di Amerika bernama Freedom House mengumumkan bahwa Indonesia merupakan negara berkembang paling sukses dalam menjalankan sistem demokrasi. Semoga ke depannya demokrasi di Indonesia bisa menuju ke arah yang semakin baik lagi.
Sekian artikel tentang pelaksanaan demokrasi di Indonesia dari masa ke masa yang saya buat berdasarkan pendapat saya dan juga dari berbagai sumber. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan maupun isi. Terima kasih.
Referensi:
news.detik.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H