Jokowi menyebutkan hal ini adalah ujian yang membuka peluang bangsa ini semakin dewasa, matang dan tahan uji. Ia kemudian mengimbau agar perilaku seperti ini dihentikan, dan kuncinya adalah pada penegakan hukum. "Aparat hukum harus tegas dan tidak usah ragu-ragu," lanjut Presiden Jokowi.
Menurut Airlangga Pribadi, pengajar ilmu politik di Universitas Airlangga, persoalan yang disebut oleh Jokowi itu terkait dengan persoalan yang lebih mendasar. Menurutnya, proses demokrasi di Indonesia masih tersandera oleh persoalan-persoalan yang diwarisi sejak masa Orde Baru.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyoroti kondisi demokrasi di Indonesia saat ini. Tito mengingatkan agar warga tidak salah arah pascareformasi. Ia mengatakan bahwa sistem demokrasi saat ini sudah mengarah ke liberal. Tito punya alasan mengapa menyebut demokrasi mengarah ke liberal. Menurutnya, kebebasan berpendapat saat ini sudah terlalu luas.
"Kebebasan berpendapat di muka umum, kebebasan berekspresi, freedom, terlalu luas, terlalu lebar," sebutnya dalam simposium yang bertajuk 'Bangkit Bergerak, Pemuda Indonesia Majukan Bangsa'.
Tim riset dari The Economist menyimpulkan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi turunnya kualitas demokrasi dunia tahun 2017. Namun, ada dua hal utama yang secara umum menjadikan merosotnya kualitas demokrasi di berbagai negara. Pertama, kekecewaan masyarakat berkaitan dengan implementasi demokrasi di negara mereka tinggal. Dalam praktiknya, demokrasi tidak serta merta membuat apa yang menjadi keinginan masyarakat terpenuhi, misalnya pelayanan publik yang baik, kebebasan pers dan berpendapat. Hal tersebut yang pada akhirnya menimbulkan kekecewaan pada implementasi demokrasi. Puncaknya, kekecewaan itu dicerminkan dalam pemilihan umum.
Dalam pemeringkatan Indeks Demokrasi terbaru, Indonesia berada di peringkat 68 dari 167 negara yang diteliti. Uniknya, peringkat tersebut kalah dengan Timor Leste yang berada di peringkat 43. Bahkan penurunan kualitas demokrasi di Indonesia merupakan yang terburuk dari 167 negara. Berada pada peringkat 48 dengan skor 6,97 pada 2016, Indeks Demokrasi Indonesia turun menjadi peringkat 68 dengan skor 6,39 pada 2017. Salah satu yang menjadi sorotan atas turunnya peringkat Indeks Demokrasi Indonesia adalah proses Pemilihan Umum Kepala Daerah di DKI Jakarta yang banyak sekali dinamikanya.
Penentuan skor Indeks Demokrasi itu sendiri didasarkan pada lima kategori, yaitu proses pemilihan umum dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik. Berdasarkan pada kategori tersebut, masing-masing negara kemudian diklasifikasikan sebagai salah satu dari empat jenis rezim: demokrasi penuh (full democracy), demokrasi yang cacat (flawed democracy), rezim hibrida (hybrid regime), dan rezim otoriter (authoritarian regime).
Dilihat dari klasifikasi rezim, Indonesia termasuk dalam flawed democracy. Secara umum flawed democracy dalam sebuah negara ditandai dengan adanya pemilihan umum yang bebas dan adil serta menghormati kebebasan sipil, namun memiliki kelemahan dalam pemerintahan yang signifikan, budaya politik yang belum terlalu sehat, dan rendahnya tingkat partisipasi politik. Demokrasi di Indonesia sepintas hanya fokus kepada pemenuhan hak-hak politik saja dengan diselenggarakannya pemilihan umum baik di pusat maupun di daerah. Namun hak-hak sipil dalam beberapa kasus terabaikan.
Contoh terbaru adalah revisi Undang-Undang MD3 yang disinyalir akan membatasi hak berpendapat masyarakat sipil dan menjadikan elite politik di dalam pemerintahan kebal hukum. Padahal, disahkannya peraturan yang sangat banyak dan detail mengenai hate-speech atau pencemaran nama baik justru berpotensi membatasi hak kebebasan berpendapat. Pembatasan kebebasan berpendapat itulah yang kemudian tercermin dalam Media Freedom Index, di mana Indonesia termasuk dalam kategori negara yang sangat tidak bebas (largely unfree).
Memang banyak ahli yang berpendapat bahwa di alam demokrasi, terlalu banyak aturan menjadikan negara sebagai sebuah tirani. Namun tidak adanya peraturan yang mengatur dan membatasi tingkah laku masyarakatnya justru menjadikan kekacauan masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan kejelian para elite di Indonesia dalam menumbuhkan iklim demokratis. Sangat disayangkan jika Indonesia semakin terpuruk dalam berdemokrasi mengingat semangat berdemokrasi itulah yang menjadi pelecut runtuhnya rezim Orde Baru menuju era Reformasi.