Josh Chen – Global Citizen Hiruk pikuk pemilu presiden baru usai dengan hasil Prabowo – Hatta (46.85% – 62.576.444) dan Jokowi – JK (53.15% – 70.997.833) atau selisih 8.421.389 suara. Dari artikel: Setelah Quick Qount, Prabowo Anggap Semua Proses Pilpres ‘Cacat’ dan Optimis Menang yang ditulis sehari sebelum pengumuman resmi KPU tanggal 22 Juli 2014, sudah jelas terlihat kubu Prabowo yang sangat desperate dan terlihat kalap melontarkan pernyataan-pernyataan yang terdengar semakin ngawur dan simpangsiur di berbagai media. Kemudian terbukti ‘gebrakan’ Prabowo yang quit dari pilpres karena menganggap terjadi kecurangan masif dalam seluruh proses pemilu presiden 2014. Bagaimana peta kekuatan politik setelah ini? Dari hasil pemilu legislatif, hasil lengkapnya: 1. Nasdem: 8.402.812 (6,7%) 2. PKB: 11.298.957 (9,04%) 3. PKS: 8.480.204 (6,7%) 4. PDIP: 23.681.471 (18,95%) 5. Golkar: 18.432.312 (14,75%) 6. Gerindra: 14.760.371 (11,81%) 7. Demokrat: 12.728.913 (10,19%) 8. PAN: 9.481.621 (7,59%) 9. PPP: 8.157.488 (6,53%) 10. Hanura: 6.579.498 (5,26%) 11. PBB: 1.825.750 (1,46%) 12. PKPI: 1.143.094 (0,91%) Koalisi ‘raksasa’ kubu Prabowo – Hatta: - Gerindra: 11.81% - PKS: 6.7% - Golkar: 14.75% - PAN: 7.59% - PPP: 6.53% - PBB: 1.46% - Demokrat: 10.19% Dengan total: 59.03%, namun karena PBB tidak masuk hitungan disebabkan tidak memenuhi syarat di parlemen (hanya 1.46%), peta kekuatan koalisi raksasa ini 57.57%. Koalisi Jokowi – JK: - PDIP: 18.95% - Nasdem: 6.7% - Hanura: 5.26% - PKB: 9.04% - PKPI: 0.91% Total: 40.86%, namun karena PKPI (Sutiyoso) juga tidak masuk hitungan di parlemen, peta koalisi ini adalah 39.95%. Demokrat Saat-saat terakhir Demokrat secara “resmi” merapat ke kubu Prabowo – Hatta. Tidak terlalu heboh dan hiruk pikuk seperti Golkar yang terus nempel sepenuh jiwa raga ke kubu Prabowo – Hatta. Langkah Demokrat bisa dibilang salah satu penentu kemenangan Jokowi – JK. Di saat yang sama Demokrat merapat ke kubu Prabowo – Hatta, salah satu pentolan Demokrat – Ruhut Sitompul yang dikenal sangat vokal dan ceplas-ceplos, sering ngawur juga, ternyata merapat ke kubu Jokowi – JK. Di sini SBY terbukti memang sangat luar biasa strategi politiknya. Dengan merapatnya Demokrat ke kubu Prabowo – Hatta, SBY ingin memastikan bahwa kubu Prabowo – Hatta tidak “macam-macam”. Silakan diartikan sendiri, apa saja “macam-macam” yang mungkin dilakukan kubu ini dengan segala kekuatan finansial pendukungnya serta kekuatan massa di belakangnya (termasuk kelompok-kelompok garis keras). Namun di saat bersamaan, Ruhut “dikirim” ke kubu Jokowi – JK dan dengan segenap jiwa raga mulai melontarkan tembakan balasan ke kubu Prabowo – Hatta terutama counter-attack untuk Fadli Zon. Sepertinya Ruhut Sitompul memang mendapat ‘assignment khusus’ menghadapi Fadli Zon yang sering bicara ngawur. Hal ini terbukti efektif, tembakan-tembakan Fadli Zon seperti terbungkam dan tidak seganas sebelumnya.
Pemecahan perhatian dan pembagian kekuatan antara merapatnya Demokrat “secara resmi” dan “membelotnya” Ruhut Sitompul ke kubu Jokowi – JK mengalihkan dan memecah perhatian lawan-lawan politik berbahaya untuk Demokrat dan kubu Jokowi – JK. Dukungan SBY terhadap kubu Jokowi – JK tidak perlu dideklarasikan gegap gempita. Kenyataannya apapun pernyataan politik Ruhut dan tembakannya ke kubu Prabowo – Hatta, tak satupun ditanggapi atau dikomentari para petinggi Demokrat, padahal jelas Ruhut masih menjadi anggota dan salah satu petinggi Demokrat. Dalam psikologis politik masyarakat, Demokrat sudah kehilangan segalanya dengan berbarisnya para kader kelas atas dalam tahanan karena berurusan dengan KPK. Terbukti dalam pemilu legislatif, perolehan suara Demokrat nyungsep. SBY dengan legawa menerima hasilnya dan introspeksi serta konsolidasi internal. Dengan situasi seperti ini, merapatnya Demokrat ke kubu Prabowo – Hatta, otomatis akan men’drive psikologis massa pemilih untuk mengalihkan pilihannya ke kubu Jokowi – JK. Bisa jadi dan boleh jadi analisa ini mengada-ada, tapi pengalihan suara pemilih ini mungkin banyak tidak disadari oleh massa pemilih kedua kubu.
Pilihan ini diambil SBY jelas lebih ‘halus’ hasilnya jika dibandingkan seandainya SBY merapat ke kubu Jokowi – JK. Secara psikologis massa merapatnya SBY ke Jokowi – JK akan disambut dengan sukacita masyarakat dan massa pemilih karena berarti Megawati dan SBY ‘rujuk’ setelah selama ini dikenal mereka selalu ‘jothakan’. Bisa jadi kalau ini yang terjadi, perolehan suara kubu Jokowi – JK bukan hanya 53.15%, bisa-bisa akan melesat ke kisaran 60%. Sekali lagi SBY berhitung jika ini yang terjadi, kekalapan kubu Prabowo – Hatta akan lebih menguatirkan. Di saat puncaknya, pengumuman KPU yang artinya sah sesuai undang-undang, Demokrat tak segan-segan menyelamati Jokowi – JK. Ucapan selamat pertama dari Presiden SBY, disusul para petinggi Demokrat, Ibas – Sekjen dan Syarief Hasan – Ketua Harian DPP Demokrat. Dengan ucapan selamat ini, Demokrat jelas menyatakan diri menerima hasil pilpres dan menyatakan tidak akan berseberangan dengan presiden dan wakil presiden terpilih. Jelas Demokrat menerima hasil pilpres, karena penyelenggara pemilu adalah pemerintahan Demokrat. Kalau Demokrat tidak menerima atau ikut gerbong kubu Prabowo – Hatta, artinya sama juga men’delegitimasi pemerintahannya sendiri. SBY ingin menunjukkan kepada Indonesia dan dunia, di penghujung pemerintahannya, pemilihan presiden terselenggara dengan baik dan sukses. Kemudian nanti di parlemen, sangat tidak mungkin Demokrat bergabung dengan gerbong koalisi sebagai oposisi raksasa menjegal presiden dan wakil presiden terpilih. SBY dengan Demokratnya sangat bangga dengan capaian-capaian selama sepuluh tahun pemerintahannya. Sudah jelas Jusuf Kalla adalah salah satu thinker utama di periode pertama pemerintahan SBY sebagai wakil presiden. Sekarang program-program Jokowi – JK jelas mendukung dan melanjutkan program-program sepuluh tahun SBY – kalau bisa dibilang setidaknya tidak mementahkan program-program tersebut. Jika Demokrat bergabung dengan gerbong oposisi, sama saja dengan menampar muka sendiri dan mementahkan semua pencapaian selama sepuluh tahun pemerintahannya. Demokrat sudah ‘bisa’ dan ‘boleh’ dicoret dari gerbong raksasa koalisi gemuk oposisi Jokowi – JK. PAN Sebagai partai pengusung Hatta Rajasa, cawapres pasangan Prabowo Subianto, partai ini sejak jaman Amien Rais sampai sekarang memang selalu jadi partai tanggung. Amien Rais yang dianggap sesepuh PAN melontarkan nazar/kaul dia akan jalan kaki Monas – Jogja bolak-balik jika Jokowi – JK menang. Seharusnya mencontoh anak-anaknya yang serta merta memberi selamat Jokowi – JK ketika pengumuman KPU keluar. Pada saat Prabowo dan gerbong pendukungnya mengumumkan pengunduran dirinya dari pemilu presiden di Rumah Polonia – markas besar pemenangan Prabowo – Hatta, tidak nampak Hatta Rajasa mendampingi. Sebagai calon wakil presiden, dari semua aspek, terasa dan terlihat janggal ketika Prabowo Subianto mengumumkan sikapnya, Hatta Rajasa tidak ada. Sejak beberapa hari sebelum 22 Juli 2014, Hatta Rajasa sudah mulai tidak kelihatan di rapat-rapat besar kubu Prabowo – Hatta. Simpangsiur keterangan baik dari PAN ataupun kubu Prabowo – Hatta hanya semakin menunjukkan ketidakkonsitenan dan ketidaksinkronan situasi dan kenyataan yang kelihatan ataupun tidak kelihatan. Alasan menunggui kelahiran cucu sangat lemah dan tidak masuk akal jika dibandingkan prioritas kubu Prabowo – Hatta.
Selanjutnya suara-suara pembentukan PANSUS di DPR untuk menggosok hasil pilpres, usulan dan rencana besar menjegal Jokowi – JK di tengah jalan, bahkan bila perlu impeachment dengan segala cara, tampaknya tidak akan pernah terjadi. Dengan beralihnya kekuatan ke pemerintahan terpilih, dari persentase 39.95%, ditambah Demokrat 10.19%, Golkar 14.75% dan PAN 7.59%, total menjadi: 72.48%! Tanpa heboh-heboh deklarasi ini itu, gerbong pemerintahan Jokowi – JK ‘otomatis’ menjadi solid menghadapi oposisi yang sudah ompong. Masih ditambah lagi bisa jadi ada kemungkinan PPP juga merapat, mengingat selamanya PPP tidak ada pengalaman menjadi oposisi. SBY tidak akan membawa Demokrat menjadi oposisi mengingat semua pencapaian dan apa yang sudah dihasilkan 10 tahun masa pemerintahannya. Sungguh malang Prabowo Subianto ditinggalkan para pendukung semu dengan cara seperti ini. Di penghujung kesempatan dimana seharusnya seorang Prabowo bisa diingat sebagai negarawan sejati, tapi Prabowo memilih untuk dilindas dengan strategi total-crushing tanpa sisa – hanya didampingi PKS yang memang tidak punya pilihan dan exit strategy. Bisa juga dibaca di: Peta Kekuatan Politik Pasca Pilpres 2014
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI