Mohon tunggu...
josep panjaitan
josep panjaitan Mohon Tunggu... Pengacara - pengacara

menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Permohonan sebagai Justice Collaborator

12 Agustus 2022   14:20 Diperbarui: 12 Agustus 2022   14:41 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini istilah Justice Collaborator (JC) ramai diperbincangkan di media dalam perkara tewasnya Brigadir J. Dalam perkara itu E yang diduga sebagai pelaku yang mengakibatkan tewasnya J ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 338 KUHP jo Pasal 55, 56 KUHP tentang pembunuhan.

Beberapa hari setelah ditetapkan sebagai tersangka, E melalui Kuasa Hukumnya menyatakan akan mengajukan diri sebagai Justice Collaborator.

Lantas, apa itu Justice Collaborator ?

Istilah Justice Collaborator sering digunakan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi. Dalam tindak pidana umum sangat jarang dijumpai adanya permohonan sebagai JC. SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu juga tidak menyebutkan tentang tindak pidana umum, namun disebutkan tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir. 

Artinya selain tindak pidana korupsi, narkotika, pelaku tindak pidana umum yang yang perbuatannya bersifat terorganisir, bisa juga mengajukan diri sebagai JC.

Dalam perkara korupsi, sering kali yang pertama kali dijadikan tersangka itu adalah seseorang yang perannya tidak terlalu besar dan seorang bawahan. 

Kemungkinan dikarenakan perbuatan itu dilakukan atas pengaruh orang yang punya jabatan atau atas perintah atasannya, dan dia tidak mau menanggung sendiri akibat hukum perbuatan yang dilakukan berjamaah, maka seorang pelaku yang sudah terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka mengajukan diri sebagai JC.

Seorang Justice Collaborator berperan dalam membuat terangnya suatu perkara atas adanya keterlibatan pelaku lain dalam suatu perkara. Dalam suatu perkara pidana seorang pelaku mengajukan diri sebagai Justice Collaborator dikarenakan menurutnya dia bukan satu-satunya pelaku atau pelaku tunggal dalam suatu tindak pidana, tetapi masih ada pelaku lain yang perannya lebih besar. 

Sebagai contoh, dalam perkara korupsi/suap Pengadaan Bansos Covid 19 di Kementerian Sosial, seorang tersangka yang menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) berinisal MJS yang saat itu didampingi oleh Penulis dan tim selaku Kuasa Hukumnya mengajukan diri sebagai Justice Collaborator. 

Permohonan JC diajukan ke penyidik KPK dan dikabulkan oleh Jaksa KPK dalam surat tuntutan pidana. MJS dianggap memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga dapat mengungkap keterlibatan pelaku lain termasuk pelaku utama dalam perkara tersebut. 

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat juga mengabulkan permohonan JC yang diajukan oleh MJS karena terdakwa tidak terkualifikasi sebagai pelaku utama, melainkan kepanjangan tangan dari JB (atasannya). Ia juga telah berterus terang mengakui perbuatannya. Hakim menyebut keterangan MJS sangat penting dalam mengungkap keterkaitan pihak lain yang lebih besar dalam perkara tersebut.

Adanya permohonan Justice Collaborator berarti seorang tersangka disangkakan atas suatu pasal pidana di KUHP dan/atau diluar KUHP dan dikaitkan (juncto) dengan Pasal Penyertaan atau adanya orang yang turut serta melakukan suatu tindak pidana (Pasal 55 KUHP) yang mana pelakunya tidak sendirian, tapi ada pelaku lain yang juga ikut berperan lebih besar.

Justice Collaborator adalah istilah yang diperoleh dari United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi PBB Anti Korupsi tahun 2003 dalam Pasal 37, yang juga telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.

Menurut Pasal 37 Konvensi PBB Anti Korupsi tahun 2003, justice collaborator adalah orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana. Pelaku yang bersedia menjadi justice collaborator nantinya akan berstatus sebagai saksi sekaligus pelaku (saksi pelaku).

Lilik Mulyadi, dalam buku Perlindungan Hukum Whisteblower dan Justice Collaborator, menyebutkan, justice collaborator merupakan seseorang yang juga berperan sebagai pelaku tindak pidana, atau secara meyakinkan merupakan bagian dari tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama atau kejahatan yang terorganisir dalam segala bentuknya, tetapi yang bersangkutan bersedia untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan kesaksian mengenai berbagai bentuk tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan terorganisir maupun kejahatan serius.

JC itu merupakan seorang pelaku tindak pidana, tetapi bukan pelaku utama yang bersedia memberikan keterangan sebagai saksi dalam rangka membantu penyidik dan/atau penuntut umum untuk membongkar suatu tindak pidana.

Di Indonesia, dasar hukum Justice Collaborator telah diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain sebagai berikut:

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011

Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK
LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Dalam UU No 31 Tahun 2014 disebutkan bahwa Justice Collaborator adalah Saksi Pelaku yang juga memiliki kontribusi besar untuk mengungkapkan tindak pidana tertentu.

Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, justice collaborator disebutkan sebagai salah satu pelaku tindak pidana tertentu, bukan pelaku utama kejahatan, yang mengakui kejahatan yang dilakukannya, serta memberikan keterangannya sebagai saksi dalam proses peradilan. 

Tindak pidana tertentu yang dimaksud SEMA yaitu tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, dan perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir. Sehingga, menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.

Dalam Pasal 10  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan UU No. 31 Tahun 2014 Justice Collaborator disebut sebagai saksi pelaku.

Pasal 10 Ayat 1 UU berbunyi, "Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik." 

Sementara Ayat 2 berbunyi, "Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap."

Saksi pelaku yang bersedia menjadi justice collaborator harus diberikan perlindungan hukum, karena perannya sangat penting dalam membantu penegak hukum dalam mengungkap suatu perkara sehingga sangat rentan mendapat atau mengalami ancaman keselamatan jiwanya dari pihak-pihak yang merasa keterlibatannya dalam suatu tindak pidana dibongkar.

Atas perlunya penanganan khusus dan perlindungan terhadap saksi pelaku (justice collaborator) dalam proses pemeriksaan, undang-undang telah menyediakan mekanisme untuk itu yang dimuat dalam Pasal 10A UU Nomor 31 Tahun, penanganan khusus yang akan diberikan berupa:

  • pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara saksi pelaku dengan tersangka, terdakwa atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;
  • pemisahan pemberkasan dalam proses penyidikan/penuntutan antara saksi pelaku dengan tersangka/terdakwa yang diungkapkannya; memberikan kesaksian di persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

Selain itu, saksi pelaku juga akan diberikan penghargaan. Penghargaan atas kesaksiannya berupa keringanan penjatuhan pidana atau pembebasan bersyarat, pemberian remisi tambahan dan hak narapidana lain sesuai peraturan yang berlaku. Dalam pemberian penghargaan ini, hakim dwajibkan untuk tetap mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Pedoman untuk menemukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama atau justice collaborator adalah sebagai berikut

Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengemba!ikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.

Semoga Bermanfaat

Sekian & Terimakasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun