Akhir-akhir ini istilah Justice Collaborator (JC) ramai diperbincangkan di media dalam perkara tewasnya Brigadir J. Dalam perkara itu E yang diduga sebagai pelaku yang mengakibatkan tewasnya J ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 338 KUHP jo Pasal 55, 56 KUHP tentang pembunuhan.
Beberapa hari setelah ditetapkan sebagai tersangka, E melalui Kuasa Hukumnya menyatakan akan mengajukan diri sebagai Justice Collaborator.
Lantas, apa itu Justice Collaborator ?
Istilah Justice Collaborator sering digunakan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi. Dalam tindak pidana umum sangat jarang dijumpai adanya permohonan sebagai JC. SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu juga tidak menyebutkan tentang tindak pidana umum, namun disebutkan tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir.Â
Artinya selain tindak pidana korupsi, narkotika, pelaku tindak pidana umum yang yang perbuatannya bersifat terorganisir, bisa juga mengajukan diri sebagai JC.
Dalam perkara korupsi, sering kali yang pertama kali dijadikan tersangka itu adalah seseorang yang perannya tidak terlalu besar dan seorang bawahan.Â
Kemungkinan dikarenakan perbuatan itu dilakukan atas pengaruh orang yang punya jabatan atau atas perintah atasannya, dan dia tidak mau menanggung sendiri akibat hukum perbuatan yang dilakukan berjamaah, maka seorang pelaku yang sudah terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka mengajukan diri sebagai JC.
Seorang Justice Collaborator berperan dalam membuat terangnya suatu perkara atas adanya keterlibatan pelaku lain dalam suatu perkara. Dalam suatu perkara pidana seorang pelaku mengajukan diri sebagai Justice Collaborator dikarenakan menurutnya dia bukan satu-satunya pelaku atau pelaku tunggal dalam suatu tindak pidana, tetapi masih ada pelaku lain yang perannya lebih besar.Â
Sebagai contoh, dalam perkara korupsi/suap Pengadaan Bansos Covid 19 di Kementerian Sosial, seorang tersangka yang menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) berinisal MJS yang saat itu didampingi oleh Penulis dan tim selaku Kuasa Hukumnya mengajukan diri sebagai Justice Collaborator.Â
Permohonan JC diajukan ke penyidik KPK dan dikabulkan oleh Jaksa KPK dalam surat tuntutan pidana. MJS dianggap memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga dapat mengungkap keterlibatan pelaku lain termasuk pelaku utama dalam perkara tersebut.Â
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat juga mengabulkan permohonan JC yang diajukan oleh MJS karena terdakwa tidak terkualifikasi sebagai pelaku utama, melainkan kepanjangan tangan dari JB (atasannya). Ia juga telah berterus terang mengakui perbuatannya. Hakim menyebut keterangan MJS sangat penting dalam mengungkap keterkaitan pihak lain yang lebih besar dalam perkara tersebut.