Mohon tunggu...
Jose
Jose Mohon Tunggu... Guru - Saya Hose merupakan seorang guru. Saya memiliki pengalaman mengajar masih sangat mudah, kurang lebih empat tahun. Dan saya memiliki kesempatan menulis kolaborasi serta memiliki karya pribadi.

Saya Hose merupakan seorang guru. Saya memiliki pengalaman mengajar masih sangat mudah, kurang lebih empat tahun. Dan saya memiliki kesempatan menulis kolaborasi serta memiliki karya pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bukan Mendewakan Guru, tetapi Kebajikan

12 Maret 2024   18:37 Diperbarui: 12 Maret 2024   18:46 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen penulis (12/03/2024) Komunitas Guru Belajar Nusantara

Menjadi guru bukanlah impian semua orang. Memilih menjadi guru adalah keberanian untuk menerima resiko yang terjadi hari ini, besok, dan yang akan datang. Apa pun bentuk pekerjaan memiliki resiko. Resiko akan datang bila keberanian yang dimiliki tidak dibarengi dengan sikap mawas diri. Sikap mawas diri akan mejadi berresiko bila permasalahan seperti menimpah seorang  guru di Lembata, Flores, NTT.

Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Patrisia Menge, S.Pd, ketua KGBN Lembata (12/03/2024), bahwa salah satu sekolah SMA Negeri 1 Lembata sedang menangani kasus pemukulan guru oleh keluarga siswa secara sepihak di dalam kelas Bapak Damianus Dolu (19/02/2024).

Beragam upaya yang dilakukan, seperti korban secara langsung melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian, para guru melakukan rapat darurat, serta menghadirkan siswa untuk mengumumgkan masalah darurat yang dialami sekolah saat itu.

Menurut pengakuan Ibu Karlin Lewar, sampai saat ini belum ada tidakan hukum yang diterima oleh pelaku. Sepertinya suam-suam kukuh (12/03/2024). Pemanggilan korban di pihak kepolisian akan terjadi pada Rabu, 13 Maret 2024.

Menyikapi hal tersebut, apa yang harus dilakukan? “Kejadian serupa kerapkali terjadi di NTT, dan kejadian seperti ini sebaiknya diselesaikan di sekolah, tidak perlu dibawah keluar”, ungkap Bapak Wilfridus Kado, ketua KGBN Ende.

Tindakan kekerasan di lingkungan sekolah manjadi berita populer di media sosial. Disrupsi informasi memicu percepatan mengkonsumsi informasi oleh publik dalam hitungan detik. Nah, bagaimana menanggapi peristiwa serupa?

Tindakan kekerasan di lingkungan sekolah manjadi berita populer di media sosial. Disrupsi informasi memicu percepatan mengkonsumsi informasi oleh publik dalam hitungan detik. Nah, bagaimana menanggapi peristiwa serupa?

Profesi menjadi guru miris diterkam masa. Perubahan perilaku, adab, telah menjadi krisis kemanusiaan di dunia pendidikan dan masyarakat pada umumnya. Siapakah yag bertanggung jawab? Segelintir orang yang memiliki kepedulian besar, akan bersuara. Mereka akan mencari cara untuk mengembalikan martabat guru dan marwa sekolah.

Sekolah merupakan tempat guru mengajar. Bila terjadi kekerasan di lingkungan sekolah, siapa yang berhak menutup mata? Orang-orang yang memiliki kepentingan musiman akan menutup mata. Mereka akan hadir ketika ada tawaran cuan atau hal lain. Menerima sesuatu yang instan lebih mudah untuk dilakukan daripada menjadi problem slover.

 Zona nyaman telah merenggut karya kreativitas sehingga upaya melakukan pemecahan masalah mengalami tawar-menawar, maju-mundur. Realisasi bahkan nihil. Apa yang dicari dari dunia ini, bila sisa hidup kita merupakan bagian dari ekosistem sekolah?

Sungguh, ironis, keyakinan membenarkan zona nyaman untuk membudidayakan sikap pragmatis: “itu masalahmu, bukan masalahku” di lingkungan pendidikan maupun masyarakat umum. Apa yang akan terjadi, bila orang-orang memiliki sikap demikian?

Egosntris mejadi dasar ketidak berpihakan pada masalah yang sedang terjadi. Sikap ini dapat memicu gerakan sikap apatis di belakang layar. Persoalan yang terjadi dapat diakui secara konsensus lokal sebagai masalah biasa.

Dimanakah nilai sopan santun, tata krama, budaya yang telah sekian lama diwariskan oleh nenek moyang, sebagai nilai luhur yang harus dijaga dari zaman ke zaman?

Perilaku adalah hasil dari pembentukan local wisdom.  Local wisdom merupakan nilai luhur yang menunjang keberadaan sesorang sebagai pribadi yang harus dihargai, diharmoti, bukan dilucuti pakiannya, dipukul, bertindak tidak senonoh.

Globalisasi telah merengut roh local wisdom pada generasi Z. Sikap cepat ambil keputusan salah-tidak secara matang, akan menimbulkan kesalahan fatal. Kecemasan, tidak ada tujuan hidup yang jelas, hasrat juang rendah, sehingga menciptakan generasi stroberi.

Sesuatu yang dilakukan guru di kelas sebenarnya suatu didikan, tetapi dianggap sebagai pelanggaran, atau bahkan mengekang identitasnya sebagai siswa. Alhasil, yang dilakukan adalah mengambil tindakan dengan cara melaporkan kejadian di sekolah kepada orang tua atau keluarga.

Baik, bila orang tua menanggapi dengan positif. Artinya orang tua melihat ada sisi lain yang dilakukan guru, seperti menanmkan nilai tanggung jawab, kerja keras, kepedulian terhadap diri sendiri. Apa yang dilakukan guru, pada dasarnya adalah mendidik, bukan menciptakan tindakan kekerasan terhadap siswa. Ini adalah tanggapan yang membangun budaya berpikir positif. 

Budaya berpikir orang tua demikian, sungguh mengalami dampak terhadap proses bagaimana anak menyadari bahwa apa yang dilakukan adalah sikap yang kurang baik. Dan pada saat itulah, anak belajar memecahkan masalah. Namun, ketika orang tua menerima laporan dari siswa, tanpa berpikir panjang, melakukan aksi kekerasan, saat itulah orang tua mendukung, bahkan memberi ruang zona nyaman kepada anaknya.

Kebajikan menanggapi setiap masalah adalah keutamaan. Harus diakui bahwa guru di era sakarang tidak luput dari kesalahan. Sikap bijak adalah kemerosotan nilai moral yang merenggut karakter  generasi Z. Siapa yang beratnggung jawab, terhadap masalah tersebut?

Bila guru dipandang sebagai orang tua kedua dari siswa, maka proses pembentukan karakter dapat dilakukan oleh guru melalui proses pembinaan, pendampingan, pembiasaan. 

Tanggung jawab guru bukan sekadar mengajar, mentransfer ilmu. Lebih dari sekadar mengajar, guru memikirkan apa usaha yang dilakukan untuk siswanya demi menumbuhkan budaya positif, seperti student well being, melakukan perbaikan terhadap sikap yang tidak pantas, menciptakan suasana belajar yang nayaman, kehadiran guru dapat diterima oleh siswanya.

Kompleksitas ini merupakan rahasia terselubung, tidak diketahui banyak orang, dan ia berjuang mengupayakan nilai-nilai ini demi kelangsungan hidup siswanya. Namun, bila kemerdekaan guru di dalam kelas dirampas secara sepihak dengan melakukan aksi kekerasan, maka tujuan mulia guru dalam mengimpelementasikan harapan kepada murid menjadi berkarakter, memiliki ethos kerja telah mengalami kehilangan tujuan yang jelas.

Upaya pembentukan nilai-nilai di atas, tidak diarahkan secara terarah pada murid tersebut. Namun, guru akan melakukan relasi secara berjarak, karena terekam oleh masalah yang dihadapi sebelumnya. Nilai kepedulian guru terhadap siswa akan berjalan tidak sepenuhnya, karena arah perhatian guru tidak dialami secara utuh. 

Ketakutan tentu akan membatasi pergerakan guru terhadap siswa tersebut. Proses memulihkan guru terhadap masalah ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Bagaimana dengan kehadiran murid di sekolah yang nota bene, ia harus mengenyam pendidikan. Siapa yang akan mempedulikan secara utuh? Stereotip terhadap pribadi siswa tersebut telah membudaya pada ekosistem pendidikan setempat.

Dampaknya, siswa hadir di sekolah hanya memenuhi kewajibanya sebagai siswa. Proses pembinaan karakter di sekolah, akan menjadi pertanyaan besar, akan seperti apa yang ia terima?

Adab merpakan nilai moral untuk mendukung tindakan dalam mendapatkan peluang belajar yang lebih memadai, nyaman. Siapa pun menerapkan adab, tentu peluang menciptakan kesejateraan diri sebagai self-defense sehingga membentuk karakter tangguh, tidak mudah menyerah, tidak menjadi whistle blower.

Krisis moral adalah masalah esensial di zaman ini. Krisis moral ini dapat terjadi karena, pertama, hilangnya kebiasaan untuk peduli. Kedua, tidak menumbuh kembangkan rasa empati. Ketiga, mudah menyerah. Keempat, tidak ada arah tujuan jelas sehingga menimbulkan keraguan yang berkepanjangan. Kelima, daya juang rendah. Keenam, cepat menyerah. 

 Nah, bila terjadi demikian, siapa untuk memulihkan kemerosotan moral?   Praketk kekerasan yang menimpa Bapak Damianus Dolu, telah memberi arti bahwa krisis moral telah meraja lela di semua kalangan.

Akan tetapi, sikap optimpis penulis untuk memulihkan martabat guru dan marwa sekolah pasca kejadian yang perlu dilakukan adalah pertama, membuat opini publik secara moderat. 

Tujuan membentuk opini publik bukan menyerang kedua pihak, tetapi memberi kesadaran terhadap miss konsepsi terhadap praktik yang fatal. Kedua, membangun komunikasi positif dengan kepala sekolah untuk mengambil sikap mengutuk serta memutuskan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ketiga, membangun kerja sama bersama komite sekolah. Sekolah dapat menggali tanggapan komite terhadap masalah yang dihadapi sekolah serta menggali aspirasi dari mereka dalam membuat sebuah keputusan yang bijak.

Keempat, membangun komukasi dengan orang tua. Orang tua diberi edukasi tentang batasan tindakan yang dapat dilakukan atau tidak di lingkungan sekolah. Edukasi tersebut sebagai upaya menumbuhkan budaya kerja sama antara sekolah dan orang tua dalam menjaga harkat dan martabat guru dan institusi sekolah. Kelima, bagun optimistis guru untuk menyelesaikan masalah tersebut secara jujur, tulus, serta menghindari sentiment pribadi. Masalah yang menimpa rekan guru merupakan masalah keprofesian guru. Semua rekan harus bersama-sama menjaga martabat guru.

Keenam, menggali aspirasi serta tindaklanjut dari siswa bersama OSIS terhadap permasalahan yang di hadapi sekolah. Aspirasi siswa merupakan cara pandang mereka untuk membentuk budaya positif di lingkungan sekolah dengan cara saling menguatkan, saling kerja sama yang selektif, saling menghormati, serta saling menjagan nama baik guru dan sekolah. Ketujuh, guru yang tergabung dalam Komunitas Guru Belajar Nusantara Lembata bersama oragnisasi Guru melakukan kesepakatan serta mencari solusi serta mengecam dengan tegas terhadap tindakan tidak beradab siapa pun di lingkungan sekolah.

Alhasil, usaha yang dilakukan ini merupakan tindakan untuk mewujudkan nama baik sekolah, martabat guru, warga sekolah serta orang tua siswa untuk memahami kehadiran sekolah sebagai lembaga pendidikan yang bertujuan untuk membina manusia agar semakin menyadari perannya sebagai manusia bagi dirinya, keluarga, sekolah dan masyarakat.



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun