Orang batak dan pasar rombeng adalah dua hal yang cukup melekat di kota Selatpanjang. Jika ada kesempatan berkunjung ke Selatpanjang, coba lah main ke pasar rombeng, maka kita akan bertemu penjual rombengan yang mayoritas adalah orang batak.
Selatpanjang adalah ibukota kabupaten Kepulauan Meranti, sebuah kota kecil di Provinsi Riau. Letaknya terpisah dari pulau Sumatera, di sebuah pulau yang di sebut Tebing Tinggi. Hanya ada jalur laut menuju kota Selatpanjang dari dan ke kota Pekanbaru.
Meskipun terletak di pulau yang terpisah, secara administrasi Selatpanjang masuk ke dalam Provinsi Riau. Kota ini merupakan kota persinggahan kapal-kapal dari Dumai menuju Pulau Batam dan sekitarnya. Â
Penduduk asli kota Selatpanjang adalah suku melayu. Meski demikian, sejak dulu telah berdiam berbagai suku disana seperti jawa, minang, bugis, batak dan etnis tionghoa.
Jika kapal yang ditumpangi telah dekat dengan menuju kota Selatpanjang, maka akan terlihat deretan ruko sepanjang tepi laut. Pusat kota kecil ini memang dipadati dengan ruko-ruko yang di bangun hampir berbatasan dengan jalan raya.
Selatpanjang dikenal dengan panganan khasnya yang berbahan sagu. Tak lengkap rasanya jika tidak mencicipi mie sagu khas Selatpanjang jika sedang berkunjung kesana.
Di salah satu sudut pasar kota Selatpanjang, ada sebuah lorong sempit dimana inang-inang dan namboru-namboru orang batak menjual pakaian bekas dari negeri jiran Singapura. Lorong itu lah yang disebut pasar rombeng.
Pasar rombeng di Selatpanjang telah ada sejak tahun 1980an. Pasar ini hanya menjual pakaian-pakaian bekas, mulai dari kemeja, celana jeans, jaket hingga pakaian dalam. Beberapa kios juga menjual tas, sepatu dan boneka-boneka bekas.
Pasar rombeng terus bertahan hingga saat ini karena pakaian bekas yang dijual adalah produk-produk asli merk luar negeri bekas pakai dari Singapura. Konon, orang Singapura hanya menggunakan pakaiannya beberapa kali lalu membuangnya ke pengumpul.
Para pengumpul barang bekas inilah yang mengirimkan barang-barang bekas tersebut hingga sampai ke penjual rombengan di Selatpanjang. Entah bagaimana prosesnya, saya kurang jelas, yang jelas para penjual rombengan ini membayar sejumlah uang untuk mendapatkan satu 'bal' goni besar berisi pakaian bekas.
Saat seorang penjual rombeng membuka 'bal' baru, bisasanya kiosnya akan dipenuhi oleh orang-orang yang tertarik dengan pakaian rombeng dari Singapura ini. Para calon pembeli akan berburu barang bagus dari bal yang baru dibuka. Jika beruntung, akan dapat pakaian yang sesuai dengan kualitas bagus.
Setelah aksi ramai-ramai buka 'bal' ini reda, penjual akan merapikan barang dagangan dengan menggantungkannya dengan hanger pada sebatang kayu. Dalam satu 'bal' bisa berisi ratusan pakaian tergantung jenisnya.
Harga jual pakaian rombeng dibandrol dengan harga beragam, tergantung ukuran dan kualitas. Celana jeans asli merk Levi's misalnya, rata-rata dihargai 50-100 ribu rupiah. T-Shirt merk Nike bisa diperoleh dengan harga 20-30 ribu rupiah.
Meski harga pakaian baru bisa didapat dengan harga yang dibandrol di pasar rombeng, namun bagi mereka yang tahu brand, membeli pakaian bekas masih menjadi pilihan. Apalagi jika dibandingkan soal kualitas, produk-produk barang bekas di pasar rombeng jauh lebih bagus dari barang-barang baru yang dijual.
Bagi penduduk Selatpanjang, mengenakan pakaian bekas dari pasar rombeng bukanlah sesuatu yang buruk. Bahkan orang-orang tertentu biasanya akan memamerkan pakaian yang dikenakan merupakan hasil perburuan dari pasar rombeng.
Inilah mengapa pasar rombeng dan pakaian bekas yang dijual masih ramai hingga saat ini. Bahkan dari usaha berjualan di pasar rombeng ini, tidak sedikit teman-teman saya yang telah menjadi sarjana karena orangtuanya berdagang pakaian bekas.
Berjualan pakaian bekas banyak dipilih orang-orang batak yang merantau ke Selatpanjang saat itu. Justru dari pakaian bekas, pintu rezeki terbuka lebar hingga mengantarkan anak-anak menjadi orang-orang berpendidikan tinggi.
Beberapa inang-inang dan namboru-namboru yang saya kenal dulu memang telah lanjut usia dan tidak berjualan lagi di sana. Namun, kios-kios pasar rombeng itu masih tetap ramai dengan digantikan para penjual lainnya yang lebih muda.
Hingga kini, para penjual pakaian bekas di pasar rombeng Selatpanjang juga masih didominasi orang batak. Hal ini yang menyebabkan orang batak dan pasar rombeng menjadi dua hal yang sering dikaitkan hingga kini.
Waktu masa-masa sekolah sebelum tahun 2001, orangtua saya juga beberapa kali membawa anak-anaknya ke pasar rombeng. Biasanya ibu mencari kain sprei dan sarung bantal bekas di pasar rombeng.
Biasanya inang-inang dan namboru-namboru yang jualan disana juga menawarkan barang jualannya kepada kami. Jika ada yang bagus, ibu saya juga bersedia membelinya untuk kebutuhan kami sekeluarga.
Biasanya, saya memilih kaos t-shirt, celana pendek atau celana panjang olahraga dari pasar rombeng. Setelah dicuci dan dirapikan di rumah, barang-barang dari pasar rombeng ini memang terlihat bagus dan enak saat dipakai.
Sejak menikah dan pindah ke Pekanbaru, saya tidak pernah lagi berkunjung ke pasar rombeng saat mengunjungi ibu di Selatpanjang. Untuk keperluan pakaian sekarang memang lebih banyak diurus oleh istri saya.
Untuk tren berpakaian, kami memang lebih memilih untuk membeli pakaian baru. Istri saya tidak pernah mempersoalkan tentang harga, ia lebih memilih pakaian dengan kualitas yang baik, namun bukan untuk tren dan gonta ganti.
Dan bagi saya, membeli pakaian baru sangat jarang dilakukan selagi masih banyak pakaian yang masih bagus untuk digunakan. Malahan, akhir-akhir ini pakaian baru yang saya punya lebih banyak saya peroleh karena pemberian orang lain.
Beberapa pakaian yang sudah tidak terpakai lagi biasanya selalu saya sisihkan untuk diberikan ke orang lain yang membutuhkan. Demikianlah isi lemari saya tidak pernah kosong, bahkan selalu saja penuh dengan pakaian-pakaian baru karena pemberian orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H