Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Aksi Teror Sigi: Bukti Iman Itu "Merangkul Bukan Memukul"

28 November 2020   17:51 Diperbarui: 28 November 2020   21:31 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumat (27/11/2020) pagi, empat orang warga desa Lemban Tongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah dibunuh oleh sekelompok orang tak dikenal. Polisi menduga, pelaku kejadian ini adalah kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Poso.

Keempat orang yang menjadi korban pembunuhan sadis ini dikabarkan masih satu keluarga. Mereka adalah sepasang suami istri beserta anak dan menantu.

Bersamaan dengan kejadian pembantaian empat orang ini, juga terjadi pembakaran atas beberapa rumah warga juga satu rumah yang dijadikan tempat pelayanan umat tertentu. Seorang warga yang menjadi saksi mata, menyebutkan kejadian itu dilakukan oleh 6 orang.

Karena kejadian ini, warga dusun di sekitar lokasi kejadian diperkirakan sebanyak 150 Kepala Keluarga diungsikan ke lokasi dusun lain di desa Lemban Tongoa yang dianggap lebih aman.

Kelompok MIT Poso, saat ini diperkirakan berjumlah 11 orang yang hingga kini masuk Daftar Pencarian Orang (DPO). Pada operasi pemburuan 17 November 2020 lalu, dua anggota kelompok ini ditembak mati di Parigi Moutong oleh satgas Operasi Tinombala.

Atas kejadian ini, kita sebenarnya dibuat terkejut. Bagaimana mungkin di negara hukum yang telah merdeka 75 tahun, pembantaian seperti ini masih saja terjadi. Sangat disesalkan, kelompok teroris masih saja leluasa melakukan aksinya pada warga sipil.

Tidak hanya warga desa Lemban Tongoa dan Kabupaten Sigi yang telah menjadi korban atas kejadian ini, tetapi kita semua warga Indonesia. Namun terkadang, kita lebih mudah berempati pada kejadian nun jauh disana, sementara hal mengkuatirkan yang terjadi di tanah air tak menuai simpati sama sekali.

Terkadang saya berpikir, bagaimana mungkin penduduk Indonesia yang mencapai 268 juta jiwa seolah tak berdaya menerima aksi teror yang dilakukan sekelompok kecil orang tersebut. Padahal jika mengingat kisah perjuangan bangsa ini merebut kemerdekaan, hanya dengan bambu runcing pun para pahlawan kita terdahulu berani menentang penjajah.

Sebagaimana diketahui bersama, Operasi Tinombala telah dilakukan sejak tahun 2016. Dan jumlah DPO juga diperkirakan sangat kecil. Sangat disayangkan, berselang 4 tahun ini misi itu tak kunjung selesai bahkan kembali menelan korban.

Saya kira, perlu evaluasi mendalam atas kinerja satgas ini. Jangan sampai muncul penilaian tak sedap dari masyarakat sipil atas keseriusan pemerintah memberantas kelompok-kelompok pembuat teror seperti kelompok MIT Poso ini.

Kita berharap, kejadian ini tidak kembali terjadi. Sesuai janji Panglima TNI yang sempat viral beberapa waktu lalu, menyikapi kelompok pengganggu NKRI, seharusnya kali ini TNI membuktikan diri dengan menghadapi DPO teroris hingga tuntas.

Lalu, bagaimana sikap kita atas kejadian ini? Pada dasarnya, tujuan aksi teroris apa pun modusnya adalah menebar ancaman dan menimbulkan ketakutan. Karena itu, menyikapi kejadian ini kita harus tetap tenang, tidak larut dalam ketakutan yang berlebihan.

Dalam hal ini, sebagai masyarakat kita harus bersatu, saling bantu dan saling jaga. Terkadang bentuk bantuan yang paling diperlukan hanyalah dukungan moral terhadap warga yang mengalami. Jangan sampai justru memberikan tanggapan yang makin menyulut persoalan baru.

Apalagi kejadian ini terjadi di saat kita masih berjuang melawan pandemi covid-19. Sikap empati dan rasa kesatuan dalam NKRI perlu terus kita jaga dengan baik.

Saya percaya, kelompok teroris apapun juga bukan lah mencerminkan ajaran agama tertentu. Setiap agama pasti mengajarkan kedamaian. Karena itu jangan sampai terprovokasi soal konflik agama dengan kejadian ini.

Jika pun secara terang-terangan ada kelompok tertentu yang membawa bendera agama saat melakukan teror, anggaplah mereka tidak mengenal ajaran agama dengan benar. Karena agama sejatinya adalah refleksi bagaimana cinta Tuhan pada semua manusia, yang tidak membedakan berkah "hujan" dan "udara" hanya pada kelompok tertentu saja.

Selanjutnya adalah tugas kita bersama terus memerangi tindakan teror yang mengatasnamakan apa pun juga. Kita tentu tidak berharap, tindakan teroris tumbuh subur dengan munculnya benih-benih baru dari generasi muda kita saat ini.

Setiap keluarga-keluarga harus menanamkan nilai anti kekerasan pada anak-anak. Setiap perbedaan bukan untuk "memukul" tetapi untuk "merangkul". Justru dengan "merangkul" ini lah, iman kita kepada Tuhan menjadi bukti aksi nyata bagi sesama seperti pesan Ketum MUI, Miftachul Akhyar baru-baru ini.

"Merangkul bukan memukul,

menyayangi bukan menyaingi,

memdidik bukan membidik,

membina bukan menghina,

mencari solusi bukan mencari simpati."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun