Pandemi Covid-19 telah benar-benar mengubah wajah dunia pendidikan kita. Hampir 9 bulan sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan pemerintah pada bulan Maret lalu, hingga kini proses pembelajaran di sebagian besar daerah di tanah air masih dilaksanakan dengan model Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Di Pekanbaru, tempat dimana saya mengabdikan diri sebagai seorang guru, PJJ telah dilaksanakan sejak bulan April 2020. Masih teringat jelas, saat itu peserta didik kelas 12 sedang bersiap-siap mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).
Malam harinya, secara tiba-tiba Dinas Pendidikan Provinsi Riau menginformasikan bahwa UNBK diundur mengingat penularan virus corona mulai menyebar di kota Pekanbaru. UNBK pun gagal terlaksana hingga kelulusan siswa tahun pelajaran 2019/2020.
Tak hanya berdampak pada pelaksanaan UNBK, proses pembelajaran di sekolah pun berubah total. Penutupan sekolah telah membuat proses Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di kelas terhenti.
Siswa melaksanakan belajar dari rumah (BDR), sementara guru dan semua tenaga pendidikan melaksanakan work from home (WFH). Sontak, lingkungan sekolah sunyi sepi tanpa aktivitas apa pun.
Pandemi Covid-19 yang terjadi secara mengejutkan dan tiba-tiba, sesungguhnya tidak memberikan ruang persiapan yang cukup bagi guru dan sekolah. Pilihan yang mungkin dan realistis dilaksanakan saat itu adalah mengirimkan tugas-tugas kepada siswa melalui WhatsApp Grup (WAG) kelas.
Jadilah saat itu, WAG sebagai solusi cepat menggantikan PTM menjadi pembelajaran dalam jaringan (daring). Guru menyiapkan tugas-tugas dan sejumlah tagihan dalam bentuk soft file, lalu peserta didik mengerjakan dan mengumpulkannya sebagai bahan penilaian.
Namun, tentu saja dalam pelaksanaannya, PJJ tidak semudah yang dipikirkan. Berbagai kesulitan muncul silih berganti. Salah satu kendala yang muncul di awal adalah soal fasilitas dan perangkat digital untuk penerapan PJJ.
Tidak semua peserta didik memiliki laptop atau gawai yang dapat digunakan untuk proses pembelajaran. Hal ini menyebabkan tidak semua siswa dapat mengumpulkan tugas-tugas seperti yang diharapkan.
Beberapa siswa lainnya yang memiliki perangkat digital, harus berbagi dengan anggota keluarga lainnya. Tidak sedikit pula yang harus secara bergantian menggunakan gawai orangtuanya untuk belajar.
Belum lagi bicara soal ketersediaan paket internet, jika dalam satu rumah ada beberapa anak yang harus menggunakan gawai dan harus terhubung dengan internet, maka kebutuhan untuk menyediakan paket internet akan menjadi sangat memberatkan bagi orangtua.
Termasuk soal ketersediaan jaringan internet yang stabil. Meskipun sekolah kami berada di pusat ibukota provinsi Riau, namun siswa-siswa datang dari berbagai daerah di seluruh Riau.
Tak sedikit pula yang berasal dari daerah-daerah dengan kualitas jaringan tidak memadai. Maka PJJ dengan pemanfaatan internet menjadi sangat tidak efektif. Banyak siswa yang akhirnya tidak dapat mengikuti proses pembelajaran dengan maksimal.
Soal ketersediaan paket internet, Pemerintah akhirnya memberikan solusi. Mulai tahun ajaran baru, Pemerintah memberikan bantuan internet gratis bagi seluruh peserta didik dan guru. Bantuan ini sangat membantu, keluhan soal internet pun teratasi sehingga pembelajaran secara online sangat mungkin dilaksanakan.
Dari sisi guru, muncul masalah soal kemampuan dan keterampilan mengaplikasikan platform digital dalam pembelajaran. Guru tidak mendapat bekal apapun dan sangat minim soal pengetahuan dan keterampilan dalam penggunaan.
Namun, guru tak berpangku tangan dengan kendala ini. Sebagian besar guru secara mandiri memperlengkapi diri untuk belajar dan berlatih menguasai perangkat dan aplikasi digital.
Beberapa guru yang lebih kreatif, mampu belajar sendiri dan kemudian berbagi pengalaman dengan rekan guru lainnya. Saya termasuk yang cukup beruntung waktu itu, pemahaman awal yang saya miliki cukup baik ditambah kesempatan mengikuti pelatihan dari LPMP Riau, menambah pemahaman dan keterampilan saya dalam menggunakan perangkat digital untuk keperluan PJJ.
Untuk meningkatkan interaksi dengan siswa, saya pun membuat kelas virtual dengan Google Classroom. Seluruh modul, video pembelajaran dan tugas-tugas sebagai tagihan disampaikan di Google Classroom.
Namun, berselang beberapa lama pelaksanaan PJJ, anak-anak mulai jenuh karena tidak pernah bertatap muka secara langsung dengan guru. Akhirnya saya belajar menggunakan Google Meet atau Zoom untuk keperluan pembelajaran sinkron.
Bersyukur kemudian saya juga berkesempatan mengikuti program Guru Belajar seri Masa Pandemi Covid-19 dari Kemendikbud. Program ini telah makin menyempurnakan pemahaman saya untuk melaksanakan PJJ lebih efektif.
Dalam program Guru Belajar, saya belajar pentingnya melakukan asesmen diagnosis awal terhadap peserta didik. Diagnosis awal ini bermanfaat bagi saya sebagai guru untuk mengetahui kondisi awal peserta didik terkait kemampuan kognitif maupun non kognitif. Dengan melakukan asesmen diagnosis awal, saya bisa mempersiapkan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik.
Melalui program Guru Belajar, saya juga belajar terkait kurikulum di masa pandemi. Selama ini saya berpikiran kaku dengan tetap berusaha mengejar target capaian kurikulum. Hal ini membuat banyak siswa saya menjadi stres karena padatnya tugas-tugas yang ada dari berbagai mata pelajaran.
Bersyukur melalui program Guru Belajar, saya diingatkan bahwa tujuan PJJ utamanya menghadirkan pembelajaran yang bermakna, tidak sekedar mengejar target kurikulum.
Pembelajaran bermakna membuat siswa tidak merasa terbebani dengan proses pembelajaran. Saya pun belajar menetapkan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik.
Sedapat mungkin, materi pembelajaran yang saya sajikan dikaitkan dengan kondisi rill sehari-hari yang dihadapi oleh siswa, termasuk berbagai aktivitas yang mereka lakukan selama belajar dari rumah.
Melalui program Guru Belajar, saya juga belajar pentingnya membangun hubungan dengan siswa dan orangtua. PJJ akan sulit terlaksana dengan optimal tanpa dukungan dari orangtua.
Tidak hanya dukungan dalam menyediakan kebutuhann yang diperlukan peserta didik dalam pembelajaran daring, juga dukungan psikis yang dapat menolong anak-anak untuk tetap bersemangat belajar di tengah kondisi belajar yang tidak ideal.
Di akhir siklus pembelajaran, setelah melaksanakan tes hasil belajar, saya juga membuat kuesioner untuk menggali kondisi-kondisi non teknis yang dialami siswa. Dari kuesioner yang dikumpulkan, kemudian saya jadikan bahan evaluasi dan perbaikan untuk mendesain pembelajaran berikutnya yang lebih bermakna.
Sebagian besar siswa memberikan respon yang positif. Mereka merasa proses pembelajaran yang saya lakukan tidak menjadi beban dan mereka cukup bisa menikmati dan mengikuti pembelajaran dengan baik. Mereka pun terlihat cukup antusias jika saya membuat janji untuk pelaksanaan pembelajaran sinkron dengan aplikasi web meeting.
Namun, tentu saja, harapan terbesar kami, baik saya sebagai guru, maupun para peserta didik, pandemi Covid-19 ini segera berlalu dan sekolah bisa segera dibuka kembali. Saya selalu mengingatkan peserta didik agar terus menjaga protokol kesehatan agar tetap sehat sehingga dapat memutus rantai penularan Covid-19. Â
Semoga kita bisa segera bebas dari pandemi Covid-19 dan bisa memulai kembali pembelajaran tatap muka di kelas dengan segera.
Salam Guru Belajar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H