"Ayah adalah cinta pertama semua anak perempuan"
Kalimat ini pertama kali saya dengar dari istri saya saat anak perempuan kami masih sangat kecil. Istri saya selalu menyampaikan kalimat ini untuk terus mengingatkan saya agar berusaha membangun kedekatan dengan putri kami.
Bagi istri saya, kalimat ini bukan sekedar kata-kata indah yang ia dengar dari orang lain atau dari membaca satu artikel. Tetapi kalimat ini dialaminya sendiri bersama ayahnya, yaitu bapak mertua saya.
Istri saya adalah satu-satunya anak perempuan dari 3 bersaudara. Saya pun bisa merasakan sendiri bagaimana kedekatan hubungan mereka. Bahkan, terkadang saya sering merasa cemburu, ketika istri saya masih sering "manja" dengan ayahnya.Â
Tetapi mungkin memang demikianlah kedekatan antara seorang ayah dan putrinya. Bagi seorang ayah, sampai kapan pun, anak perempuannya tetaplah putri kecil dan manis yang menjadi kesayangan dan selalu dimanja.
Ketika saya menikah, sesuai adat dan budaya orang batak, seorang ayah akan melepas putrinya yang menikah dengan seorang laki-laki pilihannya. Di akhir upacara adat itu, ayah akan memakaikan ulos kepada putri dan 'hela' (baca: menantu) sebagai bentuk ungkapan kasih dengan harapan keduanya dipersatukan dalam kehangatan cinta kasih.
Prosesi ini dianggap sebagai acara paling sakral dari upacara adat pernikahan orang batak. Sembari memasangkan ulos, ayah akan menyampaikan pesan-pesan kepada putri dan 'hela' nya sebagai petuah untuk menjalani biduk rumah tangga.
Tak ayal lagi, pada bagian ini, suasana akan menjadi sedemikian hikmad dan penuh haru. Tak jarang baik si putri yang menikah dan ayahnya, akan menangis terisak penuh haru. Ditambah lagi alunan lagu melankolis khas suara batak yang istimewa dari tim musik, akan membuat acara itu sangat melankolis.
Kembali soal ungkapan yang sering diungkapkan oleh istri saya tadi, rasanya kalimat itu juga telah menyulap hidup saya. Kalimat itu kini telah menjadi rema, yang selalu berbicara dalam hati bagaimana seharusnya saya membangun kedekatan dengan putri saya.
Memiliki seorang putri adalah sangat istimewa bagi semua ayah di muka bumi ini. Semua hal sangat menarik untuk dilakukan bersama. Bukan sekedar untuk mengisi waktu, tetapi kebersamaan antara ayah dan anak perempuan memang selalu terasa istimewa.
Waktu putri saya masih sangat kecil, ia senang sekali naik ke pundak saya. Ia selalu terlihat sangat senang jika dibawa jalan-jalan keliling rumah di atas pundak ayahnya.
Selain digendong di pundak, putri saya juga sangat menikmati ketika naik ke punggung ayahnya seolah-olah sedang naik kuda. Meski kadang saya sedang lelah, ia selalu merengek untuk naik kuda-kudaan ini meski hanya mutar-mutar sebentar di atas tempat tidur.
Sekarang ketika ia mengenal bermain sepeda, ia pun sangat senang ketika bersepeda bersama ayahnya. Juga berkeliling sekitar perumahan dengan sepeda motor di sore hari menjelang waktu mandi tiba.
Dan saat sudah mengenal dunia sekolah saat ini, ia sangat senang dibacakan satu buku cerita. Saya pun berusaha membacakan cerita dengan ekspresif sambil memperagakan adegan dalam cerita, lengkap dengan intonasi yang hidup. Tak jarang, putri saya tertawa terkekeh-kekeh mendengarkan saya bercerita.
Putri saya ini juga sangat antusias menunjukkan perhatiannya pada saya. Ketika saya sibuk seharian di meja kerja di masa work from home sekarang, ia kerap membawakan air minum dan makanan kecil untuk saya makan.
Ketika malam kami akan tidur, putri kecil saya yang baru melewati masa balita ini, senang memberikan pijatan kecil pada kaki ayahnya. Dan tak ketinggalan, 'memijak-mijak' punggung ayahnya dari bawah leher hingga ujung kaki. Sesuatu yang sangat saya nantikan.
Tahun lalu ketika istri saya mengerjakan proyek selama 3 bulan di Thailand dan beberapa waktu kemudian juga lanjut mengerjakan proyek 3-4 bulan di jakarta, putri saya tinggal di rumah bersama saya. Kuatir karena kami kesepian berdua di rumah, ibu saya dan ibu mertua saya secara bergantian menemani kami di rumah.
Saat mengerjakan proyek di Thailand itu, adalah masa-masa pertama putri kami terpisah lama oleh ibunya. Putri saya adalah anak ASI eksklusif hingga 2 tahun penuh. Dan perpisahan 3 bulan itu akan menjadi sangat berarti baginya.
Saat mengantarkan ibunya ke bandara menuju Bangkok transit melalui Jakarta, putri saya terlihat sangat berat untuk berpisah. Tetapi putri kecil saya itu ternyata cukup mengerti dengan perpisahan itu, dan ia tidak mengangis hebat seperti yang saya bayangkan akan terjadi.
Sepekan sebelum istri saya berangkat, mereka sudah saling bicara dari hati ke hati. Dan kelihatannya putri saya mengerti dengan kondisi yang ada. Ia pun menerima akan bersama ayahnya saja untuk sementara waktu.
Waktu itu usia putri saya baru memasuki 4 tahun. Sebenarnya saya juga kuatir, kalau-kalau ia merengek sepanjang malam karena rindu ibunya. Beberapa orang pun mengingatkan saya, bisa saja ia akan demam di awal-awal perpisahan itu.
Namun, sekali lagi, putri kecil saya ini sangat kooperatif. Tidak sekalipun ia menangis ketika akan tidur malam. Video call WhatsApp cukup membantunya untuk tetap merasakan kehadiran ibunya meski secara virtual.
Hampir setiap malam ia dapat tidur nyenyak sebagaimana biasanya. Sekali-kali saat pagi tiba dan saya akan berangkat untuk bekerja, ia merengek untuk ikut. Sempat juga beberapa kali saya turut membawanya ke kantor bersama saya jika pekerjaan tidak terlalu sibuk.
Suatu kali pernah ia demam. Suhunya waktu itu melebihi 39 derajat. Saat-saat panik mulai datang, tetapi saya berusaha untuk tetap tenang.
Tetapi, meskipun suhunya terbilang tinggi mendekati 40 derajat, putri saya tetap ceria dan bermain-main seperti biasanya. Ini jugalah yang tetap membuat saya tenang dan berpikir positif, meskipun akhirnya saya juga membawanya ke dokter untuk diperiksa lebih lanjut.
Saat-saat demam itu, ia memang lebih manja dari biasanya. Ketika tidur, ia selalu memegang tangan saya dan menempelkan badannya ke badan ayahnya. Kehadiran saya di dekatnya, memberi kenyamanan padanya dan membuat ia bisa tidur dengan baik.
Pengalaman itu menjadi pengalaman yang sangat berarti untuk saya dan anak perempuan saya itu. Menjadi modal berharga bagi kami berdua untuk bisa saling membangun bonding satu dengan yang lain sebagai ayah dan anak perempuan.
Tentu saja, komunikasi di antara kami berdua tidak selalu diwarnai gelak dan tawa. Terkadang saya juga sulit menahan emosi jika putri saya itu melakukan satu kesalahan. Ia pun tahu saat-saat saya sedang marah.
Biasanya ia akan sangat sedih kalau saya memarahinya. Namun dengan pembicaraan dari hati ke hati antara ayah dan anak perempuan, ia pun mengerti mengapa saya marah dan kemudian dengan segera ia mengucapkan janji dari bibir kecilnya, tak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Saya percaya bahwa "Father is Every Daughter's First Love". Juga bagi anak perempuan saya. Karena itu, saya selalu bertekad memberikan cinta yang besar, tulus dan tak terlupakan.
Dengan cinta yang ia terima dari ayahnya, saya berharap kelak putri saya punya standar yang baik tentang laki-laki yang akan dipilihnya sebagai pendamping hidupnya. Paling tidak, ia tidak akan mencari cinta dari sembarang laki-laki, tetapi menjadikan profil ayahnya sebagi potret dalam memilih teman hidup yang baik.
"I Love You My Beloved, Daughter!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H